Monday, 01 July 2024

PKB: Pernyataan Kemendikbudristek Kian Menebalkan Persepsi Orang Miskin Dilarang Kuliah

PKB: Pernyataan Kemendikbudristek Kian Menebalkan Persepsi Orang Miskin Dilarang Kuliah


Anggota Komisi X DPR RI Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Syaiful Huda menyoroti pernyataan Sekretaris Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Tjitjik Srie Tjahjandarie tentang pendidikan tinggi yang dianggap sebagai pendidikan tersier. 

Menurutnya, pernyataan tersebut kian menebalkan persepsi jika pendidikan tinggi bersifat elitis dan hanya untuk kalangan tertentu saja.

“Kami prihatin dengan pernyataan pernyataan Prof Tjitjik bahwa perguruan tinggi merupakan pendidikan tersier yang bersifat opsional atau pilihan. Bagi kami pernyataan itu kian menebalkan persepsi jika orang miskin dilarang kuliah. Bahwa kampus itu elit dan hanya untuk mereka yang punya duit untuk bayar Uang Kuliah Tunggal,” kata Syaiful dalam keterangannya, Jakarta, Sabtu (18/5/2024).

Syaiful menilai pernyataan tersebut kurang tepat untuk dilontarkan ke publik. Apalagi hal ini disampaikan oleh pejabat publik yang mengurusi pendidikan tinggi dalam forum resmi temu media untuk menanggapi protes kenaikan UKT di sejumlah perguruan tinggi negeri.

“Kalau protes kenaikan UKT direspons begini ya tentu sangat menyedihkan,” ujarnya.

Syaiful menilai, lewat pernyataan pejabat tinggi Kemendikburistek ini juga, bisa dimaknai jika pemerintah lepas tangan terhadap nasib mereka yang tidak punya biaya tapi ingin kuliah. Sedangkan di sisi lain, pemerintah gembar-gembor ingin mewujudkan Indonesia Emas 2045 melalui pemanfaatkan bonus demografi agar tidak menjadi bencana demografi.

“Tapi saat ada keluhan biaya kuliah yang tinggi dari mahasiswa dan masyarakat seolah ingin lepas tangan,” ucapnya.

Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) PKB ini menyampaikan, kesempatan mengenyam pendidikan tinggi di Indonesia bagi peserta memang relatif rendah. Berdasarkan data BPS tahun 2023, angka partisipasi kasar pendidikan tinggi Indonesia itu masih 31,45 persen, angka ini tertinggal dari Malaysia 43 persen, Thailand 49 persen, dan Singapura 91 persen.

“Salah satu kendala faktor pemicu rendahnya angka partisipasi kasar pendidikan tinggi di Indonesia adalah karena persoalan biaya,” katanya.

Di sisi lain, Huda membeberkan anggaran pendidikan di Indonesia setiap tahun relatif cukup besar dengan adanya mandatory spending 20 persen dari APBN. Tahun ini saja ada alokasi APBN sebesar Rp665 triliun untuk anggaran pendidikan.

“Nah ini ada apa kok sampai ada kenaikan UKT besar-besaran dari perguruan tinggi negeri yang dikeluhkan banyak mahasiswa. Apakah memang ada salah kelola dalam pengelolaan anggaran pendidikan kita atau ada faktor lain” tuturnya.

Huda mengatakan saat ini Komisi X telah membuat Panitia Kerja (Panja) Biaya Pendidikan untuk menelusuri tata kelola anggaran pendidikan di tanah air. Ia berharap panja ini akan memunculkan rekomendasi terkait perbaikan tata kelola anggaran pendidikan baik menyangkut pola distribusi, penentuan subjek sasaran, hingga jenis program.

“Kami berharap rekomendasi Panja Biaya Pendidikan ini bisa menjadi acuan penyusunan RABPN 2025,” ujarnya.