Kanal

PHK Kian Mengancam, Pahami Prosedur dan Perhitungan Pesangonnya

Ekonomi Indonesia memang sedang tidak baik-baik saja. Meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia sudah kembali ke level historisnya ke era pra-pandemi yakni sekitar 5 persen, namun belum mampu menahan laju pemutusan hubungan kerja (PHK). Bagaimana sebenarnya aturan PHK?

Ekonomi, yang katanya mulai membaik dengan pertumbuhan ekonomi yang positif juga masih belum mampu mendorong pembukaan lapangan kejar baru. Yang ada malah terjadi PHK massal di mana-mana.

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziah mengatakan, kasus PHK di Indonesia sepanjang tahun 2021 mencapai 127.085 orang, turun signifikan dibandingkan tahun 2020 yang mencapai 386.877 orang. Dan, di tahun 2019 tercatat ada 18.911 orang terkena PHK. “Sementara sepanjang Januari-September 2022, jumlah kasus PHK tercatat 10.765 orang,” kata Menaker saat rapat dengan Komisi IX DPR, Kamis (10/11/2022).

Merespons data Kemenaker itu, Ketua Umum Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan, data yang disebutkan Menaker adalah hanya untuk pekerja tetap. Sementara ada banyak pekerja bukan tetap yang menjadi korban PHK.

“10 ribu itu (data Kemenaker) PHK karyawan tetap. Banyak yang karyawan kontrak di-terminate kontraknya, ini tidak termasuk data PHK-nya Kemenaker (Kementerian Ketenagakerjaan),” kata Redma.

PHK memang tidak diharapkan baik oleh industri apalagi para pekerja. Namun dalam kasus PHK seringkali yang menjadi korban dan menderita kerugian adalah pekerja. Bahkan perusahaan biasanya sengaja tidak mau bertanggung jawab terhadap nasib pekerjanya. Atau memberikan pesangon murah dan ada juga yang menggantinya dengan buruh outsourcing berbiaya lebih murah.

Karena itu pengetahuan tentang aturan PHK penting terutama bagi kalangan pekerja agar jangan sampai menjadi korban perusahaan yang tidak bertanggung jawab. Sudah kehilangan pekerjaan juga tidak mendapat hak-hak semestinya, tentu menjadi rugi dua kali.

Aturan PHK

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah berakhirnya hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan yang disebabkan oleh hal tertentu. Mulai dari kerugian finansial yang dialami perusahaan sampai pada persoalan kinerja karyawan yang buruk. Dengan demikian, hak dan kewajiban akan berakhir di antara kedua belah pihak.

Ketentuan tentang PHK sendiri telah diatur sesuai dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU No. 13 tahun 2003 juncto UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sementara aturan pelaksananya terdapat pada pasal 36 Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.

Prosedur PHK oleh perusahaan merupakan isu yang perlu diperhatikan dalam dunia kerja. Dalam hal ini, proses PHK bukan hanya berkaitan dengan uang pesangon saja, tetapi mencakup penyelesaian perselisihan sesuai aturan ketenagakerjaan.

Dalam hal pesangon, ketika PHK terjadi, perusahaan wajib memberikan uang atau pesangon sebagai hak pekerja. Pesangon dibayarkan kepada pegawai tetap (PKWTT), bukan pegawai kontrak (PKWT). Nah, kewajiban membayar pesangon ini diatur dalam PP Nomor 35 Tahun 2021 Pasal 40 ayat (1). Dalam Pasal 40 ayat (2) juga menjelaskan berapa nominal uang pesangon yang seharusnya diterima oleh karyawan tetap.

Tentunya, lama masa kerja berpengaruh kepada besarnya nominal pesangon. Sederhananya perhitungan uang pesangon menurut Pasal 40 ayat (2) misalnya, karyawan yang memiliki masa kerja kurang dari 1 tahun, akan mendapat pesangon sebesar 1 bulan upah kerja. Sementara yang yang memiliki masa kerja 1 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 2 tahun, akan mendapat pesangon sebesar 2 bulan upah kerja.

Sedangkan karyawan yang memiliki masa kerja 3 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 4 tahun, akan mendapat pesangon sebesar 4 bulan upah kerja. Untuk yang memiliki masa kerja 4 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 5 tahun, akan mendapat pesangon sebesar 5 bulan upah kerja. Demikian seterusnya.

Berdasarkan ketentuan tersebut, karyawan dengan masa kerja 9 tahun, 10 tahun, 11 tahun, dst, akan mendapat nominal pesangon yang sama, yaitu sebesar 9 bulan upah kerja. Lama masa kerja begitu penting untuk dicermati agar tidak mendapatkan perhitungan pesangon yang keliru atau salah.

Selanjutnya, mengutip rey.id, Undang-undang Ketenagakerjaan mengatur prosedur PHK untuk dua jenis karyawan, yaitu PKWT dan karyawan tetap PKWTT. Untuk prosedur PHK karyawan kontrak (PKWT), perusahaan menyiapkan berkas serta data pendukung sebagai dasar PHK. Kemudian menginformasikan berita PHK kepada karyawan yang bersangkutan, melakukan musyawarah untuk mencari kesepakatan dua belah pihak, melakuan mediasi hukum, serta mempersiapkan kompensasi PHK.

Sementara prosedur melakukan PHK untuk karyawan tetap (PKWTT) lebih rumit. Perusahaan harus mencari jalan tengah di antara karyawan dengan perusahaan melalui musyawarah untuk menemukan solusi terbaik bagi kedua belah pihak. Jika musyawarah tidak mendapatkan hasil, makan akan dilakukan mediasi bersama Dinas Tenaga Kerja sebagai pihak ketiga untuk membantu mencari solusi.

Jika mediasi dengan Dinas Tenaga Kerja juga tidak berhasil mencapai jalan tengah, maka akan diadakan mediasi hukum ke pengadilan hubungan industrial lewat surat permohonan secara tertulis. Setelah persetujuan bipartit disetujui, yaitu perundingan hubungan industrial di antara pekerja dan perusahaan, maka dapat melakukan penandatanganan perjanjian bersama. Prosedur terakhir adalah pemberian uang pesangon yang wajib diberikan setelah karyawan resmi terkena PHK, sesuai aturan dalam UU Ketenagakerjaan.

Apakah PHK bisa dilakukan sepihak?

Pengakhiran hubungan kerja memiliki landasan dari UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Berdasarkan Undang-undang tersebut, perusahaan perlu mengadakan perundingan terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk melakukan PHK karyawan. Dengan demikian, semestinya perusahaan tidak boleh melakukan PHK secara sepihak.

Namun, berdasarkan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, peraturan ini dapat memberikan kemudahan bagi perusahaan dalam melakukan pemutusan hubungan kerja kepada buruh atau pekerja. Oleh karena itu, PHK bisa saja dilakukan secara sepihak oleh perusahaan, jika alasannya sesuai dengan ketentuan UU tersebut.

Dalam UU Cipta Kerja terdapat 4 mekanisme dalam PHK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pertama, pelanggaran oleh pekerja yang sifatnya mendesak dapat menjadi alasan pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan. Kedua, terjadinya PHK boleh saja tanpa melalui penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Ketiga, PHK dilakukan bukan setelah adanya perundingan bipartit. Keempat, pekerja yang menolak PHK dapat melakukan perundingan bipartit.

Namun, terlepas dari 4 poin tersebut, perusahaan perlu benar-benar mencermati landasan atau alasan yang digunakan untuk melakukan PHK. Selain itu, perlu juga untuk memerhatikan tata cara, waktu, serta kompensasi PHK.

Apakah pekerja dapat menolak PHK?

Jika mendapat surat pemberitahuan PHK, pekerja dapat mengajukan penolakan terhadap pemberitahuan tersebut. Mengutip JDIH Kemnaker, pekerja mengajukan penolakan setelah menerima laporan secara tertulis lewat surat pemberitahuan PHK. Dalam hal ini, penolakan perlu direspons dengan pemberian surat penolakan disertai alasannya.

Nah, surat tersebut dikirim paling lama 7 hari kerja setelah diterimanya surat pemberitahuan PHK. Setelah itu, barulah diadakan penyelesaian lewat perundingan bipartit di antara pekerja dan pengusaha. Namun jika tak mencapai kesepakatan, langkah selanjutnya ialah mengikuti mekanisme dari Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

Perusahaan juga diwajibkan melaporkan PHK kepada Disnaker (Dinas Tenaga Kerja) setempat untuk memperoleh hak pekerja dalam program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button