Market

Pesta Pora Perusahaan Migas di Tengah Kesengsaraan Akibat Perang Ukraina

Sabtu, 06 Agu 2022 – 13:11 WIB

Perusahaan Migas

Mungkin anda suka

(foto: chevron.com)

Invasi Rusia ke negara tetangganya Ukraina tak hanya membuat perekonomian kedua negara morat-marit tetapi juga hampir seluruh dunia merasakan dampaknya. Namun, ada pihak lain yang menangguk untung besar yakni perusahaan migas.

Dengan kenaikan harga minyak dan gas, BP, ExxonMobil, Chevron, dan Shell juga melaporkan keuntungan yang sangat besar pada kuartal kedua. Keuntungan gabungan dari perusahaan energi terbesar pada kuartal pertama tahun ini sangat luar biasa mencapai hampir US$100 miliar, menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Shell melaporkan laba kuartal kedua 2022 sebesar 9 miliar poundsterling pekan lalu, setelah menuai keuntungan dari harga gas dan minyak yang lebih tinggi. Pesaingnya, BP, juga telah melaporkan laba kuartalan terbesarnya selama 14 tahun, dengan laba dasar sebesar 6,9 miliar poundsterling.

Shell akan memberi pekerjanya bonus satu kali sebesar 8 persen setelah perusahaan energi terkemuka itu melaporkan rekor keuntungan dari kenaikan harga minyak dan gas yang tinggi. Sebagian besar dari 82.000 staf yang dipekerjakannya di seluruh dunia akan mendapatkan kenaikan gaji. Meski begitu, pekerja yang berada di posisi puncak seperti eksekutif akan dikecualikan dari kenaikan gaji.

Sementara dua perusahaan minyak terbesar Amerika Serikat, yakni Exxon Mobil Corp, dan Chevron Corp yang berbasis di Inggris serta perusahaan TotalEnergies Prancis berhasil meraup keuntungan senilai USD$51 miliar atau sekitar Rp765 triliun (kurs Rp15.000).

Sementara perusahaan migas asal negara tetangga Petronas di semester I-2022 ini mencatatkan keuntungan RM48,6 miliar atau jika dikonversi ke mata uang Indonesia, jumlahnya setara dengan Rp161,78 triliun. Petronas mendapat laba tinggi karena memproduksi sendiri bahan bakar minyaknya berbeda dengan BUMN PT Pertamina yang masih mengimpor BBM.

Kenaikan laba dari perusahaan ini sebagian besar diperoleh dari penjualan minyak dan gasnya. Lonjakan laba ini mulai terjadi setelah pasokan minyak dan gas di pasar global mengalami pengetatan produksi, hingga beberapa perusahaan migas mengerek naik harga komoditasnya ke level tertinggi. Seperti di AS harga bensin kini dipatok seharga US$5 per barel, imbas dari memanasnya perang Rusia dan Ukraina. Situasi inilah yang membuat para produsen migas kenaikan pendapatan.

Tidak Bermoral

Lonjakan laba perusahaan migas dunia ini memang miris terjadi di tengah situasi dunia yang mengalami krisis terimbas perang Rusia dan Ukraina. Harga energi dan komoditas dunia tak hanya meroket tetapi juga mengalami kelangkaan di beberapa daerah. Tidak cuma negara miskin yang terdampak parah dari krisis ini, tetapi juga banyak negara-negara di Eropa, bahkan Amerika Serikat.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menuduh perusahaan minyak dan gas mencetak keuntungan ‘berlebihan’ dari krisis energi yang dipicu oleh perang di Ukraina. Bahkan menyebut perolehan keuntungan di perusahaan migas ini tidak bermoral.

“Tidak bermoral bagi perusahaan minyak dan gas untuk membuat rekor keuntungan dari krisis energi ini. Padahal di belakang ini, ada orang-orang dan komunitas termiskin dan dengan biaya besar bagi iklim,” kata Sekjen PBB asal Portugal itu.

Guterres, merilis laporan PBB tentang konsekuensi invasi Rusia ke Ukraina, mendesak pemerintah untuk mengenakan pajak atas pendapatan perusahaan.

“Saya mendesak semua pemerintah untuk mengenakan pajak atas keuntungan yang berlebihan ini dan menggunakan dana tersebut untuk mendukung orang-orang yang paling rentan melalui masa-masa sulit ini,” kata Guterres.

Ia mengirimkan pesan yang tegas kepada pelaku industri bahan bakar fosil dan pemodal bahwa keserakahan yang mengerikan telah menyebabkan kesengsaraan bagi orang-orang yang paling miskin dan paling rentan.

“Sambil menghancurkan satu-satunya rumah kita bersama, planet ini,” katanya.

PBB menyebut hingga akhir tahun ini, ada sekitar 345 juta orang akan mengalami rawan pangan yang sangat dalam atau beresiko tinggi rawan pangan di 82 negara. Angka ini meningkat 47 juta karena dampak dari perang di Ukraina.

Tak hanya itu, banyak negara berkembang tenggelam dalam utang, tanpa akses ke keuangan, dan berjuang untuk pulih dari pandemi COVID-19. Saat ini sudah banyak negara yang menunjukkan tanda-tanda kesulitan ekonomi, sosial dan politik yang parah. Bahkan negara seperti Sri Lanka mengalami kebangkrutan.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button