Market

Pertumbuhan Ekonomi Berkualitas, Masih Perlu Kerja Keras

Setelah tertekan selama pandemi, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan pertumbuhan ekonomi Indonesia berada dalam zona positif pada kuartal I-2022. Angkanya cukup baik, namun apakah pertumbuhan ekonomi ini berkualitas?

BPS mencatat, perekonomian pada tiga bulan pertama tahun ini tumbuh 5,01 persen secara tahunan (yoy). Peningkatan ekonomi tersebut memang menjadi pertanda yang baik, namun tetap penting untuk memastikan bahwa tidak akan terjadi penurunan kembali pada triwulan berikutnya.

Menurut catatan, secara sektoral, pertumbuhan tinggi dialami bidang-bidang yang banyak menyerap tenaga kerja, seperti sektor pertanian, transportasi, dan perdagangan, yang menandakan bahwa masyarakat sudah mulai beraktifitas kembali secara normal sehingga ekonomi mulai bergerak lagi. Hal ini pula yang menjadi alasan mengapa terjadi penyerapan tenaga kerja yang cukup tinggi di kuartal ini, seperti diungkapkan BPS.

Selain itu, ekspor juga mengalami kenaikan tajam. Penyebabnya tentu saja kenaikan tajam harga-harga komoditas ekspor utama Indonesia di pasar internasional, terutama harga CPO, batubara, dan nikel, yang memang sangat menanjak sejak awal tahun.

Konsumsi untuk sektor transportasi dan perdagangan terkerek cukup tinggi. Tak lupa juga, kenaikan konsumsi tersebut juga didorong oleh inflasi yang cukup tinggi untuk barang kebutuhan pokok, terutama minyak goreng, yang menyedot sebagian pendapatan (disposable income) rumah tangga.

Menarik mencermati pendapat dari analis Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR), Gede Sandra, yang menyoroti bahwa ekonomi Indonesia pada kuartal pertama tahun 2022 tumbuh 5,01 persen, bila dibandingkan dengan kuartal I-2021. “Tetapi bila pertumbuhan ekonomi kuartal pertama 2022 dibandingkan dengan kuartal IV-2021, hasilnya ekonomi Indonesia justru mengalami kontraksi sebesar negatif 0,96 persen,” ungkapnya.

Berdasarkan lapangan usahanya, industri pengolahan atau manufaktur hanya berkontribusi 19,19 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2022. Nilai ini sebenarnya kecil untuk ukuran Indonesia. Sialnya lagi lebih kecil dari kontribusi pada 2021 sebesar 19,25 persen.

Bila dibandingkan dengan rata-rata kontribusi industri pengolahan terhadap PDB sepanjang 1968-2004 yang mencapai 28,1 persen, menurut Gede, jelas capaian tahun ini tidak ada apa-apanya. Atau jangan dibandingkan dengan angka kontribusi sektor pengolahan terhadap PDB negara-negara tetangga saat ini: China 30 persen, Thailand 34 persen, Vietnam 26 persen, dan Malaysia 25 persen.

Artinya, Indonesia mengalami deindustrialisasi. Ini terkonfirmasi dari data BPS tentang tingkat pengangguran. Data BPS menunjukkan terjadi penurunan persentase penduduk bekerja yang berstatus sebagai buruh/ karyawan/ pegawai dari 37,02 persen pada Februari 2021, menjadi 36,72 persen pada Februari 2022.

Pencapaian pertumbuhan juga belum sepenuhnya memberikan jaminan keamanan bagi perekonomian Indonesia. Banyak faktor yang bisa menimbulkan risiko melambatnya pertumbuhan. Seperti masih dipenuhi aliran modal asing yang bisa keluar masuk sesaat atau biasa disebut hot money. Harus terus diupayakan agar dana asing bisa betah dengan membuat ekonomi Indonesia menjanjikan keuntungan jangka panjang.

Iklim Investasi

Langkah yang bisa dilakukan adalah terus memperbaiki iklim investasi. Investasi merupakan salah satu indikator yang penting bagi pertumbuhan ekonomi. Melalui investasi akan berdampak positif pada proses produksi dalam bisnis yang semakin giat, kemudian juga akan berimbas pada meningkatnya konsumsi rumah tangga.

Investasi juga dapat membantu menumbuhkan iklim bisnis. Semakin banyak penanaman modal, maka semakin banyak pula bisnis baru yang bermunculan. Hal ini akan berdampak kepada ketersediaannya lapangan pekerjaan serta penyerapan tenaga kerja, akan mendukung pertumbuhan daya beli, sehingga dapat membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dan mencegah terjadinya penurunan pada triwulan berikutnya.

Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat realisasi investasi pada Triwulan I (periode Januari-Maret) untuk 2022 yakni Rp282,4 triliun, lebih tinggi 28,5 persen dibandingkan periode yang sama 2021. Capaian Triwulan I Tahun 2022 juga meningkat 16,9 persen dibandingkan Triwulan IV Tahun 2021. Capaian Triwulan I Tahun 2022 berkontribusi sebesar 23,5 persen dari target realisasi yang dicanangkan sebesar Rp1.200 Triliun.

Pertumbuhan investasi PMDN pada Triwulan I Tahun 2022 meningkat sebesar 25,1 persen, dari Rp108,0 triliun di Triwulan I Tahun 2021 menjadi Rp 135,2 triliun. Sedangkan investasi PMA pada Triwulan I Tahun 2022 meningkat 31,8 persen dibanding Triwulan I Tahun 2021 dari Rp111,7 triliun menjadi Rp 147,2 triliun.

Inflasi Masih Tinggi

Faktor lain yang harus menjadi perhatian dari perekonomian adalah angka inflasi yang masih tinggi. Inflasi April 2022 tercatat 0,95 persen dan menjadi yang tertinggi sejak Januari 2017. Penyumbang terbesar dari inflasi di bulan April 2022 adalah komoditas minyak goreng, bensin, daging ayam ras, tarif angkutan udara, serta ikan segar.

Sedangkan jika dilihat secara tahunan, inflasi April ini yang sebesar 3,47 persen merupakan angka tertinggi sejak Agustus 2019, dimana saat itu terjadi inflasi sebesar 3,49 persen.

Faktor lainnya yang juga mempengaruhi kualitas pertumbuhan ekonomi adalah hingga saat ini Indonesia masih dibebani banyak utang. Baik itu utang luar negeri maupun dalam negeri. Dengan pondasi yang begitu rapuh, ada kekhawatiran Indonesia tidak mampu mengatasi pembalikan modal asing secara besar-besaran (sudden reversal).

Bank Indonesia (BI) mencatat, posisi Utang Luar Negeri (ULN) ULN Indonesia pada akhir Februari 2022 sebesar US$416,3 miliar, atau naik dari posisi bulan sebelumnya yang sebesar US$413,6 miliar. Dengan posisi tersebut, ULN Februari 2022, mengalami kontraksi sebesar 1,5 persen year on year (yoy), melanjutkan kontraksi pada bulan sebelumnya yang sebesar 1,6 persen (yoy).

Pengumuman BPS

Sebelumnya, Kepala BPS Margo Yuwono mengatakan, Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia atas dasar harga berlaku (ADHB) sebesar Rp4.513 triliun. Kemudian, bila dilihat atas dasar harga konstan (ADHK) tercatat Rp 2.808,6 triliun.

“Tingginya angka pertumbuhan pada kuartal I-2022 ini karena ada pemulihan ekonomi masyarakat,” tegas Margo dalam paparan terkait Pertumbuhan Ekonomi kuartal I-2022, Senin pekan lalu (9/5/2022)
Namun, selain karena ada pemulihan ekonomi, Margo juga mengakui bahwa pertumbuhan yang tinggi ini tak lepas dari basis rendah pada tahun lalu (low based effect). Sekedar mengingatkan, pada kuartal I-2021, ekonomi Indonesia masih kontraksi 0,74 persen yoy.

Lebih lanjut, meski tumbuh secara tahunan, pertumbuhan ekonomi di periode Januari-Maret 2022 ini mengalami kontraksi tipis jika dibandingkan kuartal sebelumnya. BPS mencatat, ekonomi Indonesia turun 0,96% dibanding kuartal IV-2021 (qtq).

Masih banyak tantangan yang harus dihadapi terkait pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Ini yang harus dijawab pemerintah dengan tindakan dan kebijakan yang tepat dan cepat. Mau tidak mau pemerintah harus kerja keras menuju pertumbuhan berkualitas. [ikh]

Back to top button