Market

Perppu Cipta Kerja Perjelas Aspek Ketenagakerjaan dan Ekonomi

Kabag Hukum dan Kerja Sama Luar Negeri Kementerian Ketenagakerjaan, Agatha Widianawati menyebut dua poin besar urgensi dikeluarkannya Perppu Cipta Kerja. Yakni, aspek ketenagakerjaan dan aspek ekonomi.

“Dari aspek ketenagakerjaan bahwa di sini Indonesia masih membutuhkan penciptaan kerja yang berkualitas. Kedua terkait masalah ekonomi, perlu penguatan fundamental ekonomi nasional untuk menjaga daya saing,” jelas Agatha dalam diskusi bertajuk ‘Kupas Tuntas Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Ciptaker (Klaster Ketenagakerjaan)’ di Yogyakarta, Kamis (2/3/2023).

Saat ini memang di Indonesia, pertumbuhan ekonomi masih baik-baik saja tidak seperti di dunia internasional. Hanya saja Agatha berpendapat bahwa sebagai bagian dari dunia Internasional, maka Indonesia bisa saja terdampak nantinya.

“Jangan seperti negara-negara besar di Amerika dan Eropa, apa yang terjadi, disana goyang, disini goyang. Saya mau sebut disini seperti industri padat karya, ternyata mereka terutama yang orientasi ekspor itu tidak main-main, mereka itu gara-gara disana disetop,” terangnya.

“Di sini terdampak, ya pasti mau tidak mau akan berdampak juga pada masalah tenaga kerjanya. Mulai ini ada pengurangan-pengurangan, diawali dengan pengurangan jam kerja, misalnya seperti itu pasti berdampak pada upah,” lanjutnya.

Oleh karena itu, ia mengajak seluruh elemen mulai dari pemerintah, pengusaha, hingga tenaga kerja dapat menjaga momentum perekonomian Indonesia yang masih terbilang cukup baik ini.

“Mumpung ini posisi kita baik, mari kita jaga, ambil momentum ini kita bersaing di luar sana itu kita punya kekuatan lebih daripada negara-negara lain,” imbuh dia.

Selain itu, ia juga memaparkan bahwa dalam Perppu Ciptaker ini ada empat UU yang disebut sebagai UU Eksisting yang dirubah. “Pertama UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang sistem jaminan nasional, dan UU BPJS, keduanya membawa program baru untuk memberikan perlindungan kepada teman-teman pekerja yang mengalami PHK, yaitu program jaminan kehilangan pekerjaan,” tandas Agatha.

Lalu ada pula UU Nomor 8 Tahun 2017 mengenai perlindungan bagi pekerja migran Indonesia (PMI), dalam hal ini pembahasannya lebih pada perizinan.

“Supaya tidak orang (yang merasa) mau bekerja saja kok susah, maka perizinannya dibuat sedemikian rupa, tanpa meninggalkan aspek perlindungannya kepada teman-teman pekerja yang mengadu nasib ke luar negeri sebagai PMI,” ujarnya.

Tumpang Tindih

Para Satgas Perppu Ciptaker dan Kementerian Ketenagakerjaan dalam menyusun dan mencocokkan beberapa UU yang fungsinya saling tumpang tindih, menemukan dua hal besar yakni terkait upah minimum dan alih daya. “Terkait alih daya ini bahwa pemerintah akan menetapkan jenis pekerjaan-pekerjaan yang dapat dilakukan oleh alih daya, apakah pekerjaan itu, itu akan dituangkan dalam peraturan pemerintah,” imbuh dia.

Tentu konsekuensinya PP Nomor 35 Tahun 2021 harus direvisi, dan ia menyebut masih dalam proses penyusunan yang nantinya juga akan melibatkan para pekerja dan pengusaha. “Bagaimana caranya dengan sistem alih daya, ini perusahaan biar tetap bisa mengembangkan. Karena kan alih daya itu digunakan supaya perusahaan itu bagus pada bisnis utamanya,” jelasnya.

“Sehingga dia bisa mengembangkan lagi, yang tidak menjadi penunjangnya itu bisa diserahkan ke perusahaan lain untuk mengerjakan. Kalau dia berkembang-berkembang terus, dia akan menyerap tenaga kerja terus, itu yang diharapkan,” sambung Agatha.

Dia menyatakan, terkait upah minimum ada upah minimum kabupaten/kota yang ditetapkan oleh gubernur. “Apabila bapak ibu di daerah kabupaten/kota itu pertumbuhan ekonominya bagus, inflasinya juga dia bagus, artinya apa, semua perusahaan atau semua usaha itu bisa memenuhi untuk pembayaran upah,” tuturnya.

“Tapi poin penting yang ingin saya sampaikan disini, upah minimum itu jaring pengaman ya. Jadi memang sejak dulu itu harus itu digunakan untuk tenaga kerja yang baru masuk, dia mempunyai masa kerja di bawah satu tahun,” terangnya.

Agatha menyebutkan, sisi lain dari Perppu Cipta Kerja ini, nantinya mengatur mekanisme PHK, harus berdasarkan kesepakatan. “Kita tahu bahwa yang namanya hubungan antar pengusaha pekerja itu didasarkan pada perjanjian kerja kan, pada kesepakatan, ya kalau diakhiri ya akhirilah dengan kesepakatan. Itu logika gampangnya,” tegasnya.

Jika tidak terjadi kesepakatan, maka nantinya ada mekanisme bahwa pengusaha harus memberitahukan terlebih dahulu alasan mengapa dilakukannya PHK tersebut. “Kemudian setelah diberitahukan, pekerja ini berhak diberikan hak oleh UU ini, untuk menyampaikan dia menerima atau menolak. Kalau dia menerima ya selesai,” imbuh dia.

“Tapi kalau pekerja bilang dia menanggapi ga ah perusahaan itu masih bisa jalan, misalnya seperti itu, atau masalah besaran pesangon yang tidak sesuai yang ada di dalam PP PKB. Kalau itu tidak dipenuhi pasti berontak kan, artinya masuk dalam konteks hubungan perselisihan industrial,” pungkasnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button