NewsMarket

Perokok Beban Negara, Benci Asapnya Rindu Cukainya

Malang nian nasib para perokok di Tanah Air. Pemerintah terus mengarahkan tudingan kepada para pengepul asap ini sebagai biang kerok yang membebani anggaran negara. Benarkah mereka menjadi beban? Bukankah para perokok selama ini diandalkan jadi penyumbang pendapatan dari sektor cukai?

Tudingan perokok menjadi beban anggaran negara itu muncul dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Alasannya, pemerintah sudah menggelontorkan dana sebesar Rp48 triliun untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang 20-30 persennya justru digunakan bagi perawatan pasien akibat rokok.

Ia merinci ongkos yang dikeluarkan pemerintah untuk mengobati penyakit yang diderita perokok, mencapai Rp17,9 triliun hingga Rp27,7 triliun per tahun. Dari jumlah itu, Rp15,6 triliun di antaranya merupakan biaya perawatan yang dikeluarkan BPJS Kesehatan.

Yang Miskin Makin Miskin

Tak hanya merugikan negara, Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini lantas mengungkapkan, warga miskin justru akan makin miskin dengan mengonsumsi rokok. Pengeluaran rumah tangga yang seharusnya dapat meningkatkan ketahanan rumah tangga miskin kemudian dibelanjakan untuk rokok yang mencapai 11 persen dari total pengeluaran keluarga miskin.

Bendahara negara ini mengungkapkan, rokok menjadi pengeluaran terbesar setelah beras, baik di kota maupun di desa. Persentase pengeluaran rumah tangga miskin di kota untuk beras sebesar 20,03 persen dan rokok mencapai 11,9 persen. Sementara di desa, pengeluaran rumah tangga miskin untuk beras mencapai 24 persen, diikuti rokok sebesar 11,24 persen.

Selain itu, dampak merokok juga mengakibatkan timbulnya biaya ekonomi dari kehilangan tahun produktif. Pasalnya, penyakit yang disebabkan oleh merokok menyebabkan perokok tidak produktif. Hal itu diketahui dari survei yang dilakukan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan pada 2017 lalu.

Biaya ekonomi dari kehilangan tahun produktif juga dalam hal ini sangat tinggi. Penyakit yang disebabkan oleh merokok tadi menyebabkan mereka tidak produktif. Bahkan Kemenkeu mengestimasi konsekuensinya Rp374 triliun pada 2015.

Alasan-alasan ini yang kemudian menjadi pembenaran terhadap keputusan pemerintah untuk menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) alias cukai rokok rata-rata naik 12 persen. Di samping tentunya alasan kesehatan.

Pengaruh terhadap Konsumsi Rokok

Lalu apakah peningkatan tarif cukai ini berkontribusi bagi pengurangan konsumsi? Artinya makin mahal harga rokok makin menyurutkan niat untuk merokok? Bisa jadi iya, tapi biasanya konsumsi rokok pasca kenaikan tarif cukai ini masih cenderung inelastis terhadap kenaikan harga.

Hal ini mengingat setiap tahun pemerintah selalu menaikan tarif cukai rokok tapi jumlah perokok tak juga berkurang signifikan. Hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat rokok masih menjadi komoditas kedua yang menyumbang inflasi nasional setelah beras. Artinya belanja rokok tetap menjadi prioritas setiap tahunnya.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai kenaikan tarif pada tahun depan tidak terlalu signifikan terhadap harga jual rokok.

“Sehingga masyarakat masih bisa membelanjakan pendapatannya untuk rokok. Jadi, dampak konsumsinya mungkin tidak besar,” ungkap Yusuf.

Kebijakan ini mungkin dapat menekan angka pertumbuhan konsumsi rokok untuk pemula tapi tidak bagi mereka yang sudah kecanduan. Perlu dipikirkan gerakan berskala nasional yang massif bertema menghentikan kebiaasan merokok bukan hanya larangan saja. Termasuk menyediakan terapi gratis di layanan kesehatan masyarakat bagi yang mereka sudah ketagihan nikotin.

Yang juga perlu mendapat perhatian, dampak dari kenaikan harga rokok ini dengan beredarnya rokok illegal. Ini karena disparitas harga yang semakin lebar dibanding dengan dengan rokok berpita cukai. Masih mudah saat ini orang menjumpai rokok murah ini terutama di daerah-daerah.

Sumbangan terhadap APBN

Lalu, sebenarnya berapa sumbangan kinerja industri hasil tembakau di Indonesia terhadap APBN. Pada tahun 2020, sumbangan industri ini sebesar 10,11 persen terhadap APBN. Penerimaan cukai sepanjang 2020 mencapai Rp205,68 triliun dengan proporsi terbesar Cukai Hasil Tembakau (CHT) sebesar Rp170,24 triliun atau naik sebesar 3,24 persen.

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan mencatat produksi rokok mengalami tren penurunan dari tahun 2016 sampai dengan 2018. Angka produksi terendah terjadi pada 2018 yaitu sebesar 332 miliar batang.

Pada periode Januari hingga September 2021, industri rokok berdasarkan jenisnya mengalami total kenaikan produksi secara tahunan sebesar 4,3 persen atau di angka 235,9 miliar batang.

Melihat masih besarnya potensi pendapatan di sektor ini, kebijakan menaikan tarif cukai menjadi ambigu. Di satu sisi mencoba menekan konsumsi rokok dengan menaikkan tarif cukai rokok, tetapi di sisi lain masih menargetkan penerimaan cukai rokok tahun 2022 yang cukup tinggi yakni sebesar Rp193 triliun. Angka ini setara 10 persen penerimaan negara sepanjang tahun depan.

Artinya negara masih butuh penerimaan dari sektor ini meskipun targetnya diturunkan. Wajar kemudian masih timbul pertanyaan ingin menekan si pembeban anggaran kok masih dipatok target?

Keputusan pemerintah mengenakan cukai rokok juga berpotensi menggerus tenaga kerja di industri ini. Padahal, mereka merupakan industri padat karya dan konvensional. Antisipasi perlu dilakukan jangan sampai mengakibatkan PHK besar-besaran.

Tak hanya itu, petani tembakau dan cengkeh juga akan terkena dampak dari penurunan permintaan. Sampai saat ini belum terlihat kesiapan serius di sektor ini termasuk antisipasi pemerintah menghadapi makin menurunnya permintaan rokok.

Koordinator Komite Nasional Pelestarian Kretek (KNPK) Azami Mohammad menilai, kebijakan tarif cukai 2022 akan berdampak kepada pengurangan tenaga kerja hingga 990 orang dengan penurunan produksi hingga 3 persen.

“Hal ini bertentangan dengan program pemulihan ekonomi nasional (PEN) yang dicanangkan oleh pemerintah,” katanya.

Apakah pemerintah sudah memikirkan semua itu? Dari mulai mencari alternatif pendapatan dari non cukai, mengurangi dampak negatif penurunan produksi rokok, hingga nasib petani dan pekerja di sektor ini. Atau masih mempertahankan kebijakan yang tidak tegas, benci dengan asapnya, tapi, rindu dengan efeknya bagi perekonomian.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button