Kanal

Penundaan Pemilu: Berpolitiklah dengan Kepala Dingin!

“Politik adalah seni dari segala kemungkinan;
Kreativitas adalah seni dari segala kemustahilan.”

— Ben Okri, penulis Afrika terkemuka.

Tahun 2014, menjelang pemilihan presiden, saya menerbitkan Tabloid Obor Rakyat. Isinya dianggap menyerang Calon Presiden Joko Widodo. Dan ternyata Jokowi memenangi pilpres. Saya pun dicopot dari posisi komisaris BUMN, juga beberapa posisi lainnya.

Saya dan Darmawan Sepriyossa menjalani pemeriksaan panjang sebagai tersangka di Mabes Polri. Pun menjalani sidang yang melelahkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Majelis hakim menyatakan saya bersalah melanggar pasal 310 dan 311 KUHP, mencemarkan nama baik Jokowi melalui tulisan. Di tingkat kasasi, Mahkamah Agung memvonis saya satu tahun penjara.

Saya baru dieksekusi 2018. Pada tengah malam dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. Foto saya dengan tangan diborgol disebar jaksa ke pelbagai media. Sejak itu saya menjalani hari-hari panjang di balik jeruji penjara yang penuh sesak. Di malam pertama, saya cukup ‘bergidik’ dengan kondisi Blok Mapenaling (masa pengenalan lingkungan). Sel itu berisi 430 narapidana, hingga sangat sesak. Banyak yang terpaksa tidur sambil berdiri di dekat WC karena tak mendapat tempat sekadar untuk menidurkan badan. Kami tidur berhimpit-himpitan satu dengan lainnya.

Selama di penjara saya belajar banyak. Tentang kesabaran, kesetiaan, pertemanan, juga tentang politik yang begitu cepat berubah arah. Boleh dibilang hanya beberapa teman dekat, dan tentu saja keluarga, yang rutin mengunjungi. Puluhan teman yang dulu kerap bersama, tak pernah menampakan batang hidung. Seorang sahabat yang diangkat menjadi menteri oleh Presiden Jokowi memblokir WhatsApp. Beberapa teman di pemerintahan dan BUMN idem ditto. Bahkan, beberapa wartawan yang terlibat di Obor Rakyat, yang namanya tak pernah saya sebut dalam pemeriksaan polisi, tak datang ke penjara. Juga beberapa tokoh Nasional yang terkait dengan penerbitan Obor Rakyat pun menghilang ditelan Bumi. Mereka semua sibuk menyelamatkan diri masing-masing.

Saya tak kecewa. Saya mulai memahami begitulah politik. Dalam politik tak ada teman, atau musuh, abadi. Yang ada hanyalah kepentingan yang abadi. Tapi saya tetap dengan sikap awal untuk berjarak dengan Pemerintahan Jokowi.

Setelah keluar dari penjara pada 2019, tiga pembantu dekat Presiden Jokowi menemui saya dalam waktu berbeda –seorang Menteri Koordinator, seorang Menteri, dan seorang Jenderal. Semua tawarannya sama: berkolaborasi untuk mendukung Presiden Jokowi. Saya saat itu masih idealis, atau mungkin juga naif, sehingga menampik tawaran yang diberikan. Saya justru menyiapkan penerbitan Tabloid Obor Rakyat Reborn, untuk dijual menjelang Pilpres 2019. Cover-nya memuat foto Habib Rizieq Shihab, yang berhasil diwawancarai wartawan Obor Rakyat di Kota Suci Mekkah.

Sehari sebelum peluncuran Tabloid Obor Rakyat Reborn di Gedung Djoeang ’45, Saya kembali dijebloskan ke Penjara Cipinang. Saya dinyatakan melanggar aturan pembebasan bersyarat karena rencana pelucuran Obor Rakyat itu dianggap meresahkan masyarakat. Tapi syukurlah tak langsung masuk sel. Saya masih diajak ‘berdialog’ di ruang transit KPLP di Penjara Cipinang dengan beberapa pejabat.

Saya sepakat untuk membatalkan peluncuran Tabloid Obor Rakyat Reborn. Pukul sebelas malam saya, yang masih ditemani istri, akhirnya diantar pulang ke rumah oleh tim yang mengaku dari Pejaten. Belakangan saya sadar bahwa keputusan itu pilihan tepat. Itu saya sadari setelah Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno, dua pasangan capres yang saya pilih dalam Pilpres 2019, akhirnya menerima tawaran posisi menteri di Pemerintahan Jokowi. Itulah politik.

Apakah kini saya berubah? Tidak. Saya tetap seperti yang dulu. Hanya saja saat ini lebih berpihak pada akal sehat saja. Berpolitik dengan kepala dingin. Saya tak lagi membela tokoh tertentu. Bahkan saya pun tidak membabi-buta dalam mengkritisi Pemerintahan Jokowi.

Sukses Pemerintahan Jokowi dalam menyelenggarakan Asian Games, misalnya, saya acungi jempol. Saya juga memuji langkah pemerintah dalam menangani pandemi COVID-19. Tentu saya tetap kritis pada beberapa isu –seperti soal penanganan kasus Habib Rizieq, proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung, dan kekerasan di Wadas, Purworejo.

* * * * *

Tahun 2022 rupanya mesin politik mulai berderu lagi. Pemilihan umum sudah (dianggap) hampir tiba. Waktu dua tahun memang teramat singkat untuk kerja politik yang besar. Pada Januari lalu, Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menggaungkan gagasan penundaan Pemilu 2024 dan perpanjangan masa jabatan presiden. Bahlil mengaku menyampaikan aspirasi para pengusaha yang menginginkan situasi perbaikan ekonomi pasca-pandemi COVID-19 dilanjutkan Presiden Jokowi. Pekan lalu wacana ini kembali dikemukakan para tokoh politik. Tak tangung-tanggung, kali ini tiga Ketua Umum Partai Politik –Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Golkar, dan Partai Amanat Nasional.

Diskursus tentang penundaan Pemilu 20024 dan perpanjangan masa jabatan Presiden Jokowi langsung memenuhi ruang publik. Mayoritas partai langsung bersuara keras menolak gagasan itu. Beberapa ahli hukum tatanegara pun menentangnya. Tapi, sekali lagi, politik itu adalah seni dari segala kemungkinan. Gagasan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden bisa saja terjadi jika UUD 1945 berhasil diamandemen. Tak mudah, tapi bukan sesuatu yang mustahil.

Ada yang menarik dari pendapat Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti. Meskipun menolak perpanjangan masa jabatan presiden, tapi Bivitri mengakui jika konstitusi dipandang sebagai teks, tak sulit mengubah UUD 1945. Lebih jauh Bivitri menulis di Majalah Tempo edisi 7 Maret 2022:

“Pasal 37 yang mengatur perubahan konstitusi mensyaratkan dukungan sepertiga dari total jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang terdiri atas 575 anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan 136 anggota Dewan Perwakilan Daerah. Rapat menjadi sah jika dihadiri minimal dua pertiga anggota MPR dan keputusan valid jika mendapat persetujuan lebih dari setengah jumlah anggota yang hadir. Ketentuan ini bahkan lebih longgar daripada proses pembuatan undang-undang, yang mensyaratkan adanya partisipasi dan keterbukaan.”

“Apalagi lebih dari 80 persen anggota DPR berada dalam satu koalisi besar bersama pemerintah. Gagasan menunda pemilihan umum juga mudah saja. Anggota MPR/DPR hanya perlu mengubah satu pasal, yakni pasal 22E, yang menyatakan pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Jika presiden ingin menambah kekuasaan, ia juga tinggal meminta koalisi partainya mengubah pasal 7, yang mengatur masa jabatan presiden selama lima tahun dan hanya bisa dipilih satu kali lagi.”

Dan perubahan (amandemen) terhadap UUD 1945 bukan isapan jempol. Kita telah empat kali melakukan perubahan dalam kurun tahun 1999-2002. Berikut empat amandemen UUD 1945:

Amandemen I

Amandemen yang pertama dilakukan pada Sidang Umum MPR pada 14-21 Oktober 1999. Pada amandemen pertama menyempurnakan sembilan pasal, yakni pasal 5, pasal 7, pasal 9, pasal 13. Kemudian pasal 13, pasal 15, pasal 17, pasal 20, dan pasal 21. Ada dua perubahan fundamental yang dilakukan, yaitu pergeseran kekuasaan membentuk undang-undang dari Presiden ke DPR, dan pembatasan masa jabatan presiden selama 5 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

Amandemen II

Amandemen kedua terjadi pada Sidang Tahunan MPR pada 7-18 Agustus 2010. Pada amandemen tersebut ada 15 pasal perubahan atau tambahan/tambahan dan perubahan 6 bab. Perubahan yang penting itu ada delapan hal, yakni: Otonomi daerah/desentralisasi, Pengakuan serta penghormatan terhadap satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa dan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya, Penegasan fungsi dan hak DPR, Penegasan NKRI sebagai sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang, Perluasan jaminan konstitusional hak asasi manusia, Sistem pertahanan dan keamanan negara, Pemisahan struktur dan fungsi TNI dengan Polri, serta Pengaturan bendera, bahasa, lambang negara, dan lagu kebangsaan.

Amandemen III

Amandeman ketiga berlangsung pada Sidang Umum MPR, 1-9 September 2001. Ada 23 pasal perubahan/tambahan dan tiga bab tambahan. Perubahan mendasar meliputi 10 hal, yakni: Penegasan Indonesia sebagai negara demokratis berdasar hukum berbasis konstitusionalisme, Perubahan struktur dan kewenangan MPR, Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden langsung oleh rakyat, Mekanisme pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden, Kelembagaan Dewan Perwakilan Daerah, Pemilihan umum, Pembaharuan kelembagaan Badan Pemeriksa Keuangan, Perubahan kewenangan dan proses pemilihan dan penetapan hakim agung, Pembentukan Mahkamah Konstitusi, serta Pembentukan Komisi Yudisial.

Amandemen IV

Amandemen keempat berlangsung pada Sidang Umum MPR, 1-9 Agustus 2002. Ada 13 pasal, tiga pasal aturan peralihan, dua pasal tambahan, dan perubahan dua bab.

Dalam empat kali amandemen UUD 1945 tersebut relatif singkat. Bahkan selama pembahasannya tidak banyak menemui kendala meski pada Sidang MPR berlangsung alot dan penuh argumentasi.

* * * * *

Saya percaya bahwa upaya amandemen UUD 1945, meskipun diperbolehkan oleh konstitusi kita, bukanlah langkah mudah. Sejauh ini kubu pendukung amandemen belum menguasai mayoritas di kursi MPR. Beberapa partai sudah menyuarakan penolakan, yakni: PDI Perjuangan, Gerindra, Partai Demokrat, Partai Nasdem, Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Keadilan Sejahtera. Tapi tak ada yang pasti dalam politik. Bisa saja perubahan konstelasi terjadi secara cepat di saat-saat injury time.

Bagi kita, sudah saatnya menjalani politik dengan kepala dingin. Politik Indonesia bukanlah Perang Salib yang berkobar di Eropa, Asia Tengah, dan Palestina pada kurun waktu tahun 1095-1291 yang memakan ratusan ribu nyawa dari pihak Islam dan Nasrani. Kompetisi politik juga bukanlah Perang Badar, antara 313 sahabat Nabi Muhamad SAW melawan 3.000-an pasukan kafir Quraisy. Politik Indonesia saat ini adalah pertarungan dan adu strategi antar kelompok/elite untuk meraih posisi yang tersedia. Pertarungan itu diakomodir dalam sistem demokrasi yang kita sepakati bersama. Gagasan politik tentu layak diperjuangkan, tapi ini bukanlah soal hidup atau mati.

Barangkali kita perlu merenungkan pemikiran Adolphe Thiers (1797-1877). Politikus dan Sejarawan kawakan dari Prancis itu dengan enteng berujar, “Dalam politik, kita tak perlu menganggap apa pun secara tragis dan serius.”

* Setiyardi Budiono
Pemred Obor Rakyat, pernah mendekam di LP Cipinang

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button