Kanal

Pengalaman Hidup dalam Kerangkeng [9]: Yang Berjanji Saat Barzanji

Maka, seperti goa tempat sembilan bulan wali sufi Ibrahim bin Adham beruzlah di dalamnya, penjara pun jangan pernah kita singkirkan dari kemungkinan menjadi tempat yang berkah. Kalau hanya mengenang Jumatnya, rasanya akan banyak alumnus Cipinang—kami menyebutnya LC, Lulusan Cipinang—yang merindukan setiap Jumat sore di sana.

Oleh   :  Darmawan Sepriyossa

Jika saya terkesan mengurangi citra penjara sebagai sesuatu yang menyeramkan, itu tidak berarti meremehkannya. Tidak juga bermaksud membesarkan hati Anda untuk melakukan perbuatan tercela di masyarakat, lalu menjadi penghuninya.

Namun tak mungkin saya menafikan apa yang saya alami, yang kemudian saya resapi dalam-dalam di malam-malam penjara yang sejatinya tak pernah menghadirkan hening yang lampus. Kesan seringkali melampaui realitasnya. Dalam hidup, semua tempat sejatinya hanyalah wadah. Bagaimana kita menghikmati ‘wadah’ itu yang kemudian lebih penting. Dan, akhirnya, itu membedakan kita satu sama lain.

Maka, seperti goa tempat sembilan bulan wali sufi Ibrahim bin Adham beruzlah di dalamnya, penjara pun jangan pernah kita singkirkan dari kemungkinan menjadi tempat yang berkah.

Itu hari ketiga saya menempati Cipinang. Pada Kamis malam, 10 Mei 2018 itu ada yang membuat hati saya seolah kembali dimudakan. Bada Isya itu, tidak seperti biasanya orang-orang tak segera menggelar tilam untuk tidur. Saya, Napi rookie dan penghuni baru blok, menunggu apa yang menjadi kebiasaan blok di malam Jumat itu.

Di lapak Mushala, Blok Penampungan alias Blok Masa Pengenalan Lingkungan (Mapenaling), sebagian area memang dipakai untuk shalat jamaah. Itu membuat warga lapak ini selalu siap menebar-gulung tilam kapan pun diperlukan. Kamis malam bada Isya ternyata menjadi waktu bagi warga berkumpul untuk membacakan syair-syair Barzanzi.

Saya terkejut, penuh suka cita. Terakhir saya menyenandungkan Barzanzi, yang saya ingat pada sekitar 1982. Waktu masih di SD. Di Majalengka kami menyebutnya “Debaan”. Maka syair-syair yang terlantun dan bergaung di Blok Mapenaling itu pun segera membawa saya ke masa-masa itu. Saat-saat hati begitu jernih, pikiran belum terpolusi. Belum banyak keinginan kecuali hal-hal sederhana seputar jajanan dan mainan murah yang jarang dinikmati anak desa. Belum ada hasrat aneh-aneh yang mengganggu jiwa. Kembali terlambung ulang ke masa-masa kecil, ketika diri sepenuhnya diasuh kasih sayang Aba dan Umi—saya dan adik-adik memanggil mereka Mamah dan Apa.

Mungkin karena merasa punya peluang akan adanya penyucian kembali hati, syair-syair pujian dan pernyatan cinta kepada Muhammad Sang Nabi itu terasa menggetarkan jiwa. Mata saya tak kuasa menahan air yang terus membual keluar. Dada sesak oleh rasa yang tak terlukiskan kata-kata. Ada rindu yang seolah tak tertahan; ada bangga menjadi bagian dari pengikutnya, bahkan ada syukur sempat kembali melantunkan pujian-pujian Barzanzi, sekali pun di sini, di balik jeruji yang di mata umum mungkin jadi pertanda rendahnya diri.

“Assalamualaik, Zainal Anbiya..Assalamualaik, Atqool Atqiya…”

(Salam sejahtera bagimu, Wahai Nabi yang Mulia. Salam sejahtera bagimu, pemimpin orang-orang bertakwa…)

Beberapa kali saya memergoki jamaah lain menatap lurus wajah saya. Mungkin mereka heran, kok bisa seorang Napi membiarkan diri menangis di ruang publik yang terbuka untuk ditatap sekian puluh pasang mata? Sementara di lingkungan penjara, berurai air mata mungkin saja dianggap menunjukkan cengengnya jiwa. Menunjukkan seseorang menempati rantai paling awal dari mata rantai makan-memakan di lingkungan yang keras itu.

Sekian kali saya mencoba mengusap mata. Tapi akhirnya saya menyerah setelah bendungan di mata saya pecah, ambrol tak sanggup lagi menahan air yang mengalir makin deras.

**

Jika di blok kami orang-orang berkumpul untuk melantunkan Barzanji itu setiap Kamis malam, di Masjid Jami yang menjadi pusat aktivitas keagamaan kami semua, jadwalnya Jumat siang. Bada Ashar.

Siang, bukan malam. Karena masjid itu akan tertutup untuk semua kegiatan begitu waktu berjamaah maghrib usai. Shalat Isa hanya dibolehkan untuk dihadiri warga Blok Manula, yang letaknya dekat masjid.

Berbeda dengan di blok, di Masjid Baitur-Rahman itu tak hanya ada pembacaan syair  Barzanji yang berlagu, melainkan juga pembacaan kitab perjalanan kehidupan Nabi, “Simtudduror”. Yang membedakan, Barzanji di blok hanya mengandalkan suara, laiknya acapela.  Sementara di masjid jami, tidak hanya rebana yang lengkap dari yang paling besar hingga dua rebana kecil, tapi ada pula dua ketipung serta satu buah dobel tambourine. Kalau tak bisa membayangkan karena namanya terasa asing, baiklah kita sebut saja ‘kecrek’. Jadi sebut saja, kalau para Napi kebanyakan mengecap hiburan sepekan sekali dengan menggelar dangdutan di lapangan sepakbola mini; para santri pesantren Lapas, At-Tawabin, bermusik dengan lagu-lagu Barzanji setiap Jumat siang.

Di masjid jami pesertanya jauh lebih banyak, bisa ratusan. Memang tidak semua datang untuk menyimak “Simtudduror” atau pun menyanyikan pujian buat Nabi SAW melalui “Barzanji”. Mungkin saja ada yang datang demi sebungkus mie instan dan sepotong bala-bala. Memang, setiap peserta di akhir acara akan mendapatkan pembagian keduanya. Bala-bala Lapas Cipinang menurut saya adalah gorengan bala-bala terenak yang pernah saya nikmati. Apalagi bila dicocol saos sambal.

Sebagaimana pembacaan Yasin (Yasinan) yang digelar Rabu sore, para Napi kaya—biasanya warga Tipe 3—berebutan menyokong acara dengan menyumbang mie berkardus-kardus. Seorang warga Tipe 3 yang konon dihukum karena korupsi dana Al-Quran, termasuk yang paling sering membiayai acara, baik Yasinan maupun Barzanji. ‘Imbalannya’, dengan dipandu panitia, hadlirin akan mengaminkan doa-doa kebaikan yang dipanjatkan atas namanya. Biasanya pas doa itu saya dan Setiyardi akan diam, tersenyum dan saling pandang. Rasanya segan betul mendoakan seorang yang mengorupsi dana pengadaan Al-Quran.

Lalu mie instannya? Saya embat juga. Kalau pun tidak buat saya yang jarang makan mie instan karena maag akut, mie itu bisa saya kasih siapa pun yang lebih butuh.

Setelah kami pindah dari Blok Mapenaling dan menempati sel yang lebih pasti, Jumat selalu menjadi hari yang dinanti-nanti. Hari itu menjadi waktu yang ditunggu. Oh ya, Jumat juga hari olahraga.

Jadi, di pagi hari kami akan diundang untuk ikut senam massal dengan lagu-lagu senam yang bernuansa musik dangdut. Orang biasanya tak usah diguprak-guprak petugas untuk ikut. Ada daya tarik lain bagi sebagian napi soal senam ini: instruktur senam. Jumlahnya tak pernah satu. Setidaknya tiga orang. Perempuan, dan tampaknya sengaja dipilih yang berukuran dada di atas rata-rata.  Mereka berdiri di atas tiga panggung terpisah yang dibangun dari masing-masing dua meja kayu.

Tak usah membayangkan bagaimana senam itu biasanya berlangsung dalam riuh-rendah teriakan dan suitan para pria yang tengah dipaksa bertapa itu. Hanya sepanjang delapan bulan di sana, saya merasa para Napi umumnya sangat menghargai instruktur, guru, ustadz, atau siapa pun orang luar yang datang membantu. Jadi tak pernah ada teriakan yang masuk katagori pelecehan. Para penghuni baru pun biasanya akan berhati-hati dan mempelajari kebiasaan yang berkembang. Mereka menghindari peluang mendapatkan pengalaman tak mengenakkan: bonyok hanya karena salah berperi laku.

Di Cipinang-lah saya bisa meng-up date perbendaharaan lagu-lagu dangdut saya di ingatan, sekaligus mengenal nama-nama penyanyi yang saat di luar tembok Cipinang jangankan mendengar lagunya, tahu namanya saja tidak. Nama-nama ‘baru’ seperti Cita Citata, Zaskia Gotik, Happy Asmara, beserta lagu-lagu mereka, saya kenal di sana.

Sekitar pukul 8 pagi, senam biasanya usai. Selepas mandi, saya biasanya bersegera ke masjid jami, belajar mengaji, diteruskan dengan shalat Jumat. Perasaan saya, shalat Jumat di Lapas Cipinang adalah shalat-shalat Jumat terbaik dalam hidup saya, yang saya songsong dengan takzim dan serius dengan mandi dan memaksakan diri mencari pewangi. Tenang saja, tak usah melibatkan keluarga di rumah. Kalau hanya untuk parfum—apalagi parfum Jumatan yang dihirup bersama sesama Napi, di sana pun banyak. Semangat kewirausahaan para Napi santri membuat mereka berjualan apa pun, tak kecuali parfum khas Arab untuk Jumatan.

Lalu, usai Ashar, di sore menjelang petang, adalah saat berurai air mata mengenang hidup, kasih sayang dan perjuangan Sang Maula, Nabi Muhammad SAW, dengan syair-syair Barzanzi dan uraian Simtudduror. Kalau hanya mengenang Jumatnya, rasanya akan banyak alumnus Cipinang—kami menyebutnya LC, Lulusan Cipinang—yang merindukan setiap Jumat sore di sana.

Sempat suatu Jumat, saya mengikuti Barzanji di belakang. Sengaja agak memisahkan diri. Ingin lebih khusyuk mengulang bait-bait yang dilantunkan pembaca di depan, sambil berusaha sedapat mungkin menyerap arti kata demi kata yang terlontar.

Tak sadar, pikiran saya menerawang. Bukan memimpikan datangnya saat kebebasan. Tidak. Justru mengembara ke tanah-padang gersang Arab, yang hening dan sunyi. Saya pernah semalam ikut night safari, manakala mengunjungi Uni Emirat Arab tahun 1999. Entah mengapa, safari yang biasanya diikuti banyak orang itu, kali itu pesertanya hanya saya sendiri. Alhasil, penyelenggara minta maaf tak bisa menghadirkan tari perut yang tercetak di leaflet. Namun lainnya, termasuk api unggun dan barbeque, diadakan. Khusus buat saya.

Dan justru saya harus bersyukur hanya saya yang malam itu ikut. Saya menempati tenda besar untuk sepuluh orang itu sendirian. Tenda satunya diisi panitia, sekitar empat orang. Kala itulah saya menikmati heningnya padang pasir, dengan penerangan terbatas nyala unggun. Itu pun tak terlalu besar, karena saya sengaja tak membangunkan panitia yang bertugas menjaga nyalanya.

Saya benar-benar menikmati keheningan gurun, menyaksikan ribuan bintang di langit maha luas, dari zenith di atas ubun-ubun saya, hingga kaki langit yang berbatas horizon (cakrawala). Sebagaimana saat kita berada di tengah laut, berada di gurun pun akan membawa kita pada kesadaran betapa kecilnya diri dihadapkan pada bentang alam maha luas.

Di tengah-tengah Barzanji di Lapas Cipinang itu, hati saya berjanji untuk datang lagi ke tanah gurun itu, suatu ketika. Tidak hanya untuk menyungkur di tepian Kiswah, dan menangis rindu di Raudhah. Saya ingin kembali bermalam di gurun luas Tanah Arab. Bukan untuk apa-apa. Untuk kembali menyadari betapa kecilnya diri. [ ]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button