News

Pengakuan Pelanggaran HAM Berat Hanya Kosmetik, Jokowi Harus Berani Ungkap Pelaku

Kamis, 12 Jan 2023 – 20:58 WIB

Menko Polhukam sekaligus Ketua Tim PPHAM, Mahfud MD

Menko Polhukam sekaligus Ketua Tim PPHAM, Mahfud MD (kanan), menyerahkan laporan Tim PPHAM kepada Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (11/1/2023). (Foto: Antara/Gilang Galiartha)

Pengakuan adanya peristiwa pelanggaran HAM berat pada masa lalu yang dilakukan oleh Presiden Jokowi dianggap hanya sebatas kosmetik. Riasan yang menutupi wajah asli. Pasalnya Jokowi tidak menyertai pengakuan dengan membeberkan daftar pelaku.

Direktur Eksekutif Setara Institute, Ismail Hasani menyatakan, pengakuan Jokowi yang disampaikan selepas menerima laporan kerja Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) hanya sebatas aksesoris untuk memenuhi janji kampanye pada 2014. Pengakuan dan penyesalan tidak membawa dampak pada keadilan sebagaimana yang diamanatkan UU 26/2000 Tentang Pengadilan HAM.

“Tim ini hanya ditujukan untuk memberikan legitimasi tindakan bagi Presiden Jokowi membagikan kompensasi kepada para korban tanpa proses rehabilitasi yang terbuka dan tanpa mengetahui siapa sesungguhnya pelaku-pelaku kejahatan itu,” kata Ismail, di Jakarta, Kamis (12/1/2023).

Selepas menerima laporan Tim PPHAM, di Istana, Rabu (11/1/2023), Jokowi menyesali terjadiny 12 pelanggaran HAM berat yang terjadi pada masa lalu. Ke-12 peristiwa tersebut yakni peristiwa 1965-1966, peristiwa penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari di misterius 1989, peristiwa rumoh geudong dan pos sattis di Aceh 1989, peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998, dan peristiwa kerusuhan Mei 1998. 

Selanjutnya peristiwa Trisakti dan Semanggi I-II 1998-1999, peristiwa pembunuhan dukun santer 1998-1999, peristiwa simpang KKA Aceh 1999, peristiwa Wasior Papua 2001-2002, peristiwa Wamena Papua 2003, dan peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003.

Menurut Ismail, tanpa pengungkapan kebenaran dengan membeberkan sip aktor di balik 12 kasus tersebut, maka Tim PPHAM tidak melakukan kerja sesuai dengan amanat undang-undang. Malahan hanya menjadi perpanjangan tangan Kemenko Polhukam yang sejak awal orientasinya hanya untuk menyantuni dan menangani korban.

“Fakta ini adalah dampak dari ketiadaan mandat pemenuhan hak atas kebenaran (right to the truth) sebagai dasar untuk menentukan apakah suatu peristiwa bisa dibawa ke proses peradilan HAM atau direkomendasikan diselesaikan melalui jalur non yudisial. Padahal, pengungkapan kebenaran menjadi unsur yang sangat esensial dalam penuntasan pelanggaran HAM berat, sekalipun melalui mekanisme non-yudisial,” ujarnya.

Ismail menyebutkan, pemerintah melakukan lompatan logika dengan mengabaikan unsur pengungkapan kebenaran melalui jalur non-yudisial. Artinya pemerintah memilih menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu dengan impunitas.

“Sekalipun berkali-kali Menkopolhukam Mahfud MD menyampaikan bahwa jalur yudisial tetap terbuka, tetapi dengan keputusan politik presiden yang hanya menempuh jalur penyantunan pada korban, maka keputusan Presiden Jokowi akan menjadi referensi dan preseden sikap lanjutan bagi Jokowi pada dua tahun terakhir kepemimpinannya atau bagi presiden selanjutnya,” ujarnya.

Dia menilai Jokowi cerdik merespons isu politik penyelesaian pelanggaran HAM berat pada masa lalu sebagai bagian kampanye, namun penuntasannya jauh dari prinsip yang sudah diatur dalam perundang-undangan.

“Di sinilah kecerdikan Jokowi merespons isu politik penyelesaian pelanggaran HAM. Di satu sisi, berhasil memetik insentif politik sebagai pemecah kebekuan tapi di sisi lain, juga dicatat sebagai presiden yang berhasil menutup ruang bagi kerja lanjutan advokasi penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu, melalui jalur yudisial,” sesalnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button