Kanal

Penangkapan Rektor Unila, Orang Pintar Kok Korupsi?

Minggu, 21 Agu 2022 – 16:19 WIB

Rektor Unila Korupsi

Rektor Unila Prof Karomani

Rektor Universitas Lampung (Unila) Prof Karomani ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penangkapan ini terkait dugaan korupsi suap penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri di universitas negeri tersebut. Ini kembali menjadi bukti korupsi tidak pandang bulu, juga merasuki orang-orang pandai bahkan bergelar profesor.

Prof Karomani dikabarkan menerima suap senilai sekitar Rp2 miliar. “Terkait dugaan korupsi suap penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri di universitas negeri Lampung tersebut,” kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri kepada wartawan, Sabtu (20/8/2022).

Ali menyatakan bahwa operasi tangkap tangan itu dilakukan di dua tempat, yaitu di Bandung dan Lampung. Dia menyatakan penyidik KPK menangkap tujuh orang. “Tim KPK sejauh ini mengamankan sekitar tujuh orang di Bandung dan Lampung. Termasuk Rektor dan pejabat kampus dimaksud,” kata dia.

Prof Karomani menjabat sebagai Rektor Unila sejak 2020. Dia sebelumnya menjabat sebagai Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan dan Alumni. Karomani juga tercatat sebagai Guru Besar Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Unila.

Rektor kelahiran Pandeglang, 30 Desember 1961 itu selama ini juga ikut menyuarakan antikorupsi. Ia yang juga menjabat Ketua Forum Rektor Penguat Karakter Bangsa (FRPKB). Pada Maret 2022 lalu menandatangani Nota Kesepahaman (MoU) bersama Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI Firli Bahuri dalam rangka membangun sinergis sosialisasi publik yang intensif terkait pencegahan korupsi dan membangun karakter generasi bangsa yang antikorupsi.

Pada sambutannya ketika itu, ia menyebut, saat ini Indonesia masih memiliki PR besar dalam pemberantasan korupsi. “Tentu sangat tidak bijaksana jika membebankan permasalahan ini semata-mata hanya pada KPK, karena korupsi menjadi urusan nasional. Maka harus ada gerakan nasional untuk mencegah dan memberantasnya, termasuk dari kalangan kampus melalui pendidikan antikorupsi, kampanye antikorupsi, seminar, dan bentuk lainnya,” ujar Prof Karomani saat itu.

Penangkapan para pendidik di perguruan tinggi ini bukan kali ini saja tetapi terjadi sebelumnya. Ini menjadi keprihatinan mengingat para pengajar alias dosen ini seharusnya juga memiliki tanggung jawab untuk ikut menanamkan sikap antikorupsi kepada para mahasiswanya.

Apalagi berdasarkan data Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia saat ini berada di peringkat 96 dari 180 negara dengan skor 38 yang masih jauh di bawah rata-rata IPK global, yakni 43. Sehingga menjadi tugas bersama melakukan pencegahan korupsi dan membangun karakter generasi bangsa terutama pelajar dan mahasiswa yang antikorupsi.

Orang Pintar Kok Korupsi?

Penangkapan koruptor ini kembali memunculkan pertanyaan mengapa orang pintar bahkan dosen bergelar profesor dan orang-orang kaya masih melakukan korupsi? Kalau pertanyaannya mengapa orang bodoh korupsi mungkin bisa masuk akal mengingat pengetahuan mereka tentang konsekuensi hukum dari korupsi masih kurang. Atau orang miskin melakukan korupsi mungkin bisa kita tahu penyebabnya karena memang kekurangan harta.

Ada jenis orang yang mencuri atau korupsi bukan karena dia tidak punya sesuatu atau bukan karena membutuhkan sesuatu itu. Kebutuhannya sesungguhnya telah terpenuhi. Ada juga orang yang korupsi bukan karena tidak tahu konsekuensi dari perbuatannya yang merugikan banyak orang. Malahan ia mungkin lebih tahu dari yang lain.

Orang kaya atau orang pintar yang masih mencuri dan pejabat bergaji tinggi yang melakukan korupsi itu bukan karena bodoh, kekurangan makan dan minum melainkan karena kegelisahan batinnya, kegalauannya, ketakutannya tentang masa kini dan masa depannya yang lebih besar dibandingkan dengan kebutuhannya.

Menarik mengutip pernyataan almarhum Prof KH Ahmad Imam Mawardi, ulama dan guru besar di Jawa Timur dalam sebuah tulisannya pernah menyebutkan, mereka yang korupsi itu salah duga dengan mengira bahwa bahagia itu ada pada kepemilikannya akan sesuatu. Padahal sesuatu yang dimiliknya kini pasti pada waktunya lepas dan pindah tangan entah kepada siapa.

Perutnya hanya butuh sepiring nasi, badannya hanya butuh sehelai kain, namun nafsu dan ketakutannya menjadikannya merasa membutuhkan lebih dari itu. Karena ini pulalah mereka itu juga menjadi bakhil.

“Ke alam kubur hanya membawa kain kafan saja. Mereka lupa bahwa tak dijumpai dalam sejarah ada orang yang dengan kekayaannya bisa membeli surga tanpa menggunakan kekayaannya itu di jalan yang dianjurkan oleh Allah,” katanya.

Yang pasti ada faktor psikologis, sosial, emosional, hingga religiusitas yang bisa berpengaruh kepada keputusan seseorang. Kadang kala orang lain melihat keputusan yang ia ambil tidak rasional. Seperti dalam kasus korupsi, mengapa ia masih melakukannya padahal punya jabatan mentereng, sudah kaya, bahkan dihormati banyak orang.

Ada ungkapan dari seorang teman, di Indonesia ini, sulit sekali mencari koruptor yang tidak sekolah, bukan orang kaya, tidak pernah haji atau umroh. Semua gelar pendidikan, harta maupun agama hanya pakaian penutup badan, bukan sebagai esensi pengisi hati.

Back to top button