Thursday, 04 July 2024

Pemilu Islamofobia di Inggris, Cara Murahan Menindas Perempuan Muslim

Pemilu Islamofobia di Inggris, Cara Murahan Menindas Perempuan Muslim


Politik Inggris telah menempatkan kaum Muslimah sebagai ancaman yang nyata. Siapa pun yang memenangkan pemilihan umum Inggris, perempuan Muslim akan berakhir sebagai pecundang.

Jika Anda butuh pengingat bahwa Islamofobia masih hidup dan marak di Inggris, lihat saja liputan media seputar pemilihan umum yang akan digelar pada 4 Juli mendatang. Para pemilih Muslim yang berpartisipasi dalam bentuk demokrasi politik telah dituduh menunjukkan loyalitas lebih besar terhadap Timur Tengah dibandingkan daerah pemilihan mereka.

Nadeine Asbali, seorang penulis dan guru sekolah menengah yang tinggal di London mengungkapkan, segala bentuk protes yang mendukung Palestina atau menentang bantuan dan dukungan pemerintah terhadap genosida secara otomatis dicap sebagai antisemit dan Islamis.

“Bahkan sesuatu yang tidak berbahaya seperti memegang plakat yang menggambarkan perdana menteri di samping kelapa dapat membuat warga didakwa dengan pelanggaran ketertiban umum akan lebih buruk lagi jika mereka seorang Muslim dan pro-Palestina,” kata Nadeine Asbali, yang juga penulis ‘Veiled Threat: On Being Visibly Muslim in Britain’, mengutip The New Arab.

Genosida yang sedang berlangsung di Gaza, dan penentangan vokal kaum Muslim Inggris terhadap peran pemerintah dalam kejahatan perang ini, telah menyebabkan meningkatnya permusuhan terhadap kaum Muslim. Pada bulan Februari, dua wanita di London timur ditabrak mobil yang melaju kencang saat pengemudi melihat jilbab mereka. 

Pola yang sama terulang di tempat lain, di negara-negara Barat lainnya, seperti AS, di mana terdapat insiden Muslim dan Palestina menjadi sasaran kekerasan dan pelecehan. Lihat saja seorang perempuan Texas baru-baru ini dituduh mencoba menenggelamkan balita Palestina setelah memulai perkelahian dengan ibu anak itu di kolam renang. Atau Wadea Al-Fayoume, anak laki-laki Palestina yang ditikam hingga tewas di Illinois tak lama setelah 7 Oktober.

Pemilu yang Islamofobia

Namun, seiring makin dekatnya Pemilihan Umum di Inggris, tampaknya, seperti biasa, wanita Muslimlah yang menjadi sasaran utama penghinaan negara terhadap segala hal yang berbau Islam.

“Seperti yang saya bahas dalam buku saya yang baru saja terbit, Veiled Threat: On Being Visibly Muslim in Britain, perempuan Muslim yang tampak seperti saya berada di persimpangan antara Islamofobia gender dan misogini yang penuh kekerasan,” kata Nadeine Asbali.

Sikap meremehkan yang dimiliki masyarakat terhadap perempuan dalam sistem patriarki, diperparah kebencian mengakar dan sistemik terhadap umat Muslim. Kekerasan negara, supremasi kulit putih feminisme arus utama, dan mesin militer neoliberal melihat kehidupan umat Muslim di seluruh dunia sebagai kerusakan tambahan.

Menjelang pemilihan, hal ini terwujud dalam berbagai cara, salah satunya adalah gelombang gambar yang diproduksi kecerdasan buatan (AI) telah beredar daring. Gambar-gambar tersebut termasuk Keir Starmer yang digambarkan mengenakan jilbab dan abaya oleh presenter GB News Darren Grimes. 

Ada juga gambar sensasional yang banyak dibagikan di antara akun media sosial sayap kanan seperti Tommy Robinson yang menggambarkan “masa depan” Inggris fiktif di mana gadis-gadis pirang yang tampak murung dipaksa mengenakan jilbab sementara pria Muslim berkulit cokelat menonton sambil tertawa.

Menjelang hari pemungutan suara, tokoh-tokoh sayap kanan berupaya mengobarkan paranoia nasionalis di sebagian kecil warga Inggris yang meyakini bahwa negara mereka tertahan dalam rencana pengambilalihan oleh kaum Islamis. Mereka mempercayai kekeliruan Teori Penggantian Besar, yang menyatakan bahwa imigran, khususnya umat Islam, mengambil alih populasi penduduk asli kulit putih di Eropa.

Pada akhirnya, hal ini mendukung tujuan politik mereka dan menyalurkan dukungan kepada partai-partai sayap kanan ekstrem seperti Reform UK atau Britain First milik Nigel Farage. Hal ini memastikan bahwa para migran, Muslim, dan apa pun yang dianggap anti-Inggris menjadi penjahat dalam pemilu, bukan politik sayap kanan yang telah menimbulkan malapetaka bagi negara selama satu setengah dekade terakhir. 

Entah Korban atau Penjahat

Nadeine Asbali menambahkan, perhatikan bagaimana perempuan Muslim selalu menjadi sasaran lelucon yang tidak begitu lucu. Entah itu penggambaran Muslimah berhijab sebagai sosok tiran dan agresif, yang mengancam akan menundukkan gadis-gadis Inggris tidak bersalah pada ide-ide terbelakang seperti kesopanan kecuali jika Muslim diusir. Atau penggambaran perempuan sebagai korban bisu dari kebencian terhadap wanita luar biasa yang hanya ditunjukkan oleh pria Muslim, pesannya jelas.

“Umat ​​Islam adalah masalahnya dan estetika jilbab Islam — yang menandakan ekstremisme antagonistik dan korban sekaligus — digunakan untuk menakut-nakuti para pemilih agar memilih kandidat mana pun pada tanggal 4 Juli yang paling kecil kemungkinannya untuk mewujudkan citra AI ini,” jelasnya.

Komentar terbaru dari Nigel Farage, yang platformnya dibangun atas dasar rasisme, Islamofobia, dan nasionalisme, juga sesuai dengan pola ini. Berbicara kepada Presenter Sky News Trevor Phillips, ia berbicara tentang semakin banyaknya anak muda Inggris yang memiliki pandangan radikal dan anti-Inggris serta mengklaim bahwa Inggris sedang bergerak menuju “politik sektarian dengan pengecualian perempuan sepenuhnya”. Ketika ditanya apakah ia berbicara tentang Muslim, Farage membenarkan bahwa ia berbicara tentang Muslim. 

Perempuan Muslim dipaksa untuk mengarungi lautan Islamofobia dan misogini yang keruh setiap hari, dengan segala hal perlakuan seperti diawasi, dipolitisasi, dan dikriminalisasi. Namun, suasana yang memanas menjelang pemilu ini akan berdampak jangka panjang setelah 4 Juli.

Seperti yang disaksikan dalam tren politik di seantero Eropa, seiring dengan menguatnya kubu sayap kanan, kaum Muslim khususnya kaum perempuan akan semakin terdehumanisasi, disekuritisasi, dan ditundukkan.