News

Pemilu 2024 Masih Dihantui Jual Beli Suara

Pemilu 2024 yang digelar secara serentak masih dihantui praktik jual beli suara (vote buying). Praktik curang ini diyakini masih menjadi persoalan serius karena tidak pernah teratasi dalam setiap gelaran pemilu maupun pilkada.

Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Siti Zuhro menilai, Pemilu 2024 merupakan momentum tepat untuk memastikan penegakan hukum dalam gelaran pemilu berjalan optimal. Penegakan hukum harus efektif dalam memantau setiap tahapan pemilu untuk mencegah vote buying atau praktik-praktik menghalalkan segala cara untuk memenangkan pemilu.

Mungkin anda suka

“Hadirkanlah penegakan hukum dalam semua tahapan pemilu. Lalu, tentunya civil society nya (kelompok masyarakat sipil), radionya, medianya, dan sebagainya, termasuk kekuatan-kekuatan politik melalui elite aktornya itu hand in hand atau bergandengan tangan bersama (mencegah terjadinya praktik-praktik buruk dalam pemilu),” kata Siti, Kamis (21/7/2022).

Menurutnya, penyelenggara dan pengawas pemilu harus bisa memastikan penegakan hukum berjalan untuk mencegah terjadinya kecurangan. Namun dia juga mengingatkan persoalan kepemiluan melibatkan banyak pihak, tidak sebatas pada penyelenggara dan pengawasannya saja. Sebagai contoh, selama 1.500 gelaran pilkada selalu memiliki persoalan jual beli suara, politik transaksional, mahar politik, penyelewengan dan konflik.

Dengan demikian, seluruh elemen bangsa Indonesia, harus turut terlibat dalam membangun sistem kepemiluan sehingga siapa pun yang menjadi pemenang dalam pemilu akan diakui oleh seluruh masyarakat secara hormat karena mereka merasa tidak dicurangi. Siapapun yang menang pemilu memiliki legitimasi kuat.

“Jadi, ending nya nanti, kita membangun sistem. Begitu ada kompetisi pilpres, pileg, dan pilkada, kita akan menabik siapa pun yang menang. Karena apa? Karena kita tidak merasa dicurangi. Kalau pemilunya curang, batu yang datang, lalu lemparan-lemparan batu,” kata dia.

Dia juga mengingatkan pentingnya kerja sama dari seluruh elemen bangsa untuk memperbaiki kualitas demokrasi di Indonesia. Salah satu tolak ukurannya yakni, gelaran pemilu dan pilkada yang berkualitas atau substantif bukan hanya prosedural.

“Secara teori, demokrasi yang berjalan itu ada peningkatan kualitas, memang tidak ujuk-ujuk nilainya 100. Akan tetapi, kita kok lama banget proseduralnya. Tidak ada iktikad yang betul-betul gereget dan utuh untuk memperbaiki kualitas demokrasi,” ujar dia.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button