News

Pemenuhan Hak Bagi Para Pengungsi Luar Negeri

Indonesia masih menjadi negara transit bagi para pengungsi luar negeri seperti Afghanistan, Myanmar, Irak, dan lainnya. Padahal, Indonesia belum meratifikasi Konvensi International Tahun 1951 tentang Pengungsi.

Berdasarkan data UNHCR, sedikitnya ada 14.000 orang pengungsi dari luar negeri yang teregistrasi berada di Indonesia. Apabila termasuk yang belum teregistrasi, maka angka tersebut tentulah menjadi lebih banyak. Para pengungsi tersebar di beberapa titik seluruh Indonesia, khususnya di Rumah Detensi Imgrasi (Rudemim) atau akomodasi oleh IOM.

Mungkin anda suka

Beberapa faktor utama yang mendorong para pengungsi meninggalkan negaranya adalah perang, persekusi terhadap etnis tertentu, dan konflik horizontal. Tujuan utama para pengungsi untuk meninggalkan negara asalnya adalah untuk mencari keselamatan, keamanan, perlindungan, dan kehidupan yang layak, khususnya bagi kelompok rentan seperti perempuan dan anak-anak.

Namun, berada di Indonesia masih ‘Jauh Panggang dari Api’. Beberapa hak-hak dasar seperti mendapatkan pendidikan, mengakses kesehatan, dan bekerja masih belum mereka dapat. Lebih jauh lagi, para pengungsi tidak boleh meninggalkan tempat penampungan. Padahal sejatinya itu merupakan hak untuk mobilitas (freedom of movement). Kondisi ini bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan justru menimbulkan masalah kemanusiaan baru.

Koordinator Kemanusiaan of Yayasan Geutanyoe, Nasruddin menjelaskan, untuk membantu para pengusi tersebut berbagai upaya bantuan kemanusiaan yang telah pihaknya lakukan selama ini.

“Termasuk kerja sama dengan berbagai pihak untuk proses pendaratan pengungsi yang membutuhkan waktu cukup lama, kerentanan para pengungsi, serta ancaman yang para pejuang kemanusiaan hadapi dalam upaya tersebut,” kata Nasruddin sebagai Koordinator Kemanusiaan dari Yayasan Geutanyoe di Jakarta, Jumat, (3/6/2022).

Sisi Kemanuasiaan Pengungsi Luar Negeri

Sebagai negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, pemerintah Indonesia harus melihat masalah pengungsi ini dalam kerangka kemanusiaan, alih-alih menggunakan kaca mata hukum formal.

“Pertama, pengungsi yang datang sering kali dalam kondisi yang buruk dan memprihatinkan. Bagi pengungsi Rohingya, untuk berhasil keluar dengan selamat dari negara asalnya sudah menjadi sebuah pencapaian,” papar Affan Ramli sebagai Riset Koordinator of Yayasan Geutanyoe.

Masih menurut Affan, memperoleh dokumen keimigrasian yang lengkap merupakan hal yang tidak mungkin terpenuhi. Dengan sendirinya mereka menjadi undocumented immigrant. Kedua, para pengungsi membutuhkan akses terhadap Kesehatan dan Pendidikan yang layak, khususnya bagi perempuan dan anak-anak.

“Hal tersebut sangat sulit karena keterbatasan dokumen yang dimiliki pengungsi, di satu sisi, ini merupakan kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi. Ketiga, sebagai manusia, para pengungsi perlu untuk mendapatkan penghasilan untuk membiayai kehidupan sehari-hari, serta pekerjaan merupakan perwujudan eksistensi yang mendefinisikan siapa manusia tersebut. Kerangka hukum formal belum mampu menjawab tantangan-tantangan tersebut, sebaliknya, nilai-nilai hak asasi manusia menjadi sebuah titik berangkat yang tepat untuk bisa menyelesaikan tantangan tersebut,” ungkap Affan.

Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 Tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri merupakan upaya yang baik dari Pemerintah Indonesia untuk menangani masalah pengungsi dari luar negeri. Namun, Peraturan Presiden tersebut belum menjawab tantangan secara komprehensif dan butuh penguatan nilai-nilai hak asasi manusia dalam prinsip penerapanya.

“Karenanya, kami mengajak teman-teman pers untuk duduk bersama mendiskusikan tantangan-tantangan dalam isu pengungsi luar negeri, serta memperkuat diskursus hak asasi manusia dalam pemberitaan media, khususnya dalam menjalankan peran kontrol sosial dan pendidikan kepada masyarakat,” tambah Affan. [ipe]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button