News

Pembahasan Kebijakan Minim Pelibatan Publik Tuai Demonstrasi, DPR Harus Berbenah

Minimnya pelibatan publik dalam membahas isu-isu penting di DPR dianggap pemicu masifnya demonstrasi di Tanah Air. Artinya munculnya gelombang demonstrasi atas suatu kebijakan dipengaruhi dari kinerja legislatif. Celakanya, DPR seolah meneruskan tren ini, terbukti dari kegiatan pembahasan yang dilakukan cenderung tak transparan di setiap komisi, kecuali Komisi I. Maka DPR harus berbenah dan mempertegas posisi sebagai wakil rakyat.

Forum Masyakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menemukan sedikitnya terdapat 79 kali rapat yang dibahas terkait kebijakan pemerintah di DPR, tanpa melibatkan publik. Padahal partisipasi publik sangat penting dan harus dijadikan prioritas untuk memastikan suatu program atau kebijakan dapat dieksekusi.

“Sangat minim melibatkan partisipasi publik dalam menentukan arah kebijakan pemerintah, padahal sejatinya justru masyarakat lah yang akan menerima dampak dari kebijakan tersebut,” ujar peneliti Formappi, Taryono, dalam bertajuk “Kinerja DPR Konsisten Buruk, Arogansi Makin Merajalela” di Kantor Formappi, Jakarta Timur, pada Kamis (27/10/2022).

Ia juga menyinggung bahwa seharusnya setiap kebijakan yang diusulkan oleh pemerintah dapat dibicarakan terlebih dahulu dengan melibatkan publik melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), baru nantinya dapat diputuskan oleh DPR. Bukan sebaliknya, menyetujui suatu kebijakan yang rumusan atau dasar pertimbangannya tidak menyerap aspirasi masyarakat.

“Tidak heran jika kebijakan pemerintah yang disetujui DPR sering kali menuai penolakan dari masyarakat, melalui demonstrasi di berbagai daerah,” jelasnya.

Formappi menyimpulkan bahwa kinerja DPR belum optimal dalam menyerap dan memperjuangkan setiap aspirasi masyarakat seperti pada kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi. Dalam hal ini DPR seakan tidak mendengar protes keras yang dilayangkan oleh masyarakat.

Wacana peningkatan daya listrik kelompok rumah tangga miskin juga seolah dibiarkan menggelinding oleh DPR tanpa memberi edukasi kepada publik. Malahan DPR seperti mendukung rencana yang tidak populer itu. “Sekalipun hal sersebut masih berupa wacana, tetapi DPR yang seharusnya membela kepentingan rakyat, justru menunjukkan hal yang sebaliknya, yakni lebih membela PLN. DPR seolah justru menjadi marketing-nya PLN daripada berjuang untuk kesejahteraan rakyat,” sambung Taryono.

Isu lain termasuk konversi kompor gas 3 kg menjadi kompor listrik yang juga hampir dilaksanakan, meski pada akhirnya ditolak, juga menjadi catatan penting bagi kinerja DPR. “DPR juga sama sekali tidak bersuara. Padahal kebijakan kompor gas 3 kg ini dimaksudkan untuk memberikan subsidi kepada rakyat miskin yang seharusnya dibela oleh DPR,” tegasnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button