MudikRamadan

Pelajaran Berharga dari Mudik Lebaran

Beberapa hari terakhir ini, semua media online, termasuk media sosial ramai membicarakan tentang arus mudik yang begitu luar biasa. Semua sibuk. Setiap individu mempersiapkan diri untuk pulang ke kampung hingga semua petugas dari pusat hingga ke daerah ikut memastikan tidak ada hambatan dalam proses mudik ini.

Kita lihat saja, terminal bis dipenuhi para pemudik, bandara, stasiun kereta hingga feri penyeberangan disesaki orang kota yang akan pulang ke desa. Seperti sebuah hajatan terbesar nasional yang melibatkan semua orang. Apalagi mudik pada tahun ini seperti balas dendam karena sudah dua kali Lebaran sebelumnya pemerintah mengimbau untuk tidak mudik seiring pandemi COVID-19 yang melanda seluruh negeri.

Mungkin anda suka

Seringkali orang kota atau orang yang tidak memiliki kampung halaman seperti warga asli ibu kota mempertanyakan kebiasaan mudik ini. Orang-orang kampung ini selama ini bermukim di kota, mencari nafkah di kota, dan beralih identitas sebagai orang kota tapi menghabiskan uangnya di desa.

Muncul pertanyaan unik, mengapa orang-orang itu perlu mudik ke kampung halamannya untuk meminta maaf dan bermaaf-maafan, padahal dosa yang mereka banyak lakukan adalah di kota tempat setiap harinya mereka hidup dan mengadu nasib? Mengapa mereka menghabiskan uangnya dan berpesta di kampung halaman asalnya padahal rizkinya ia peroleh di kota?

Almarhum Prof Dr KH Ahmad Imam Mawardi dalam sebuah tulisannya mengungkapkan, tradisi bagi-bagi saat mudik merupakan cara Allah membagi rizki dan kenikmatan hidup dengan cara berkeadilan. Rizki harta tak boleh hanya beredar di kota, desa harus juga mendapatkan aliran. Setiap sudut kota dan desa jika diikat dengan cinta maka kedamaian dan harmoni sosial akan lebih terasa.

“Allah menciptakan rasa rindu setiap orang akan masa lalunya, asal tanah kelahirannya, adalah sebuah anugerah yang luar biasa. Karena itulah maka mudik akan selalu terlestarikan dalam budaya manusia Indonesia,” kata kyai karismatik asal Madura ini.

Fenomena mudik mengingatkan kita ketika masih sekolah dasar (SD) dulu bahwa saat tiba waktunya pulang maka semua murid teriak girang. Mungkin Anda juga masih ingat saat SD dulu kita akan senang dan bersorak bahagia ketika diumumkan bahwa ada rapat guru dan karenanya kelas diliburkan dan murid boleh pulang lebih awal? Itulah indahnya pulang ke ‘rumah asal’.

Fenomena Kepalsuan

Saat mudik atau pulang kampung, seringkali muncul fenomena kepalsuan. Orang kota sengaja menyewa mobil mewah atau memaksakan dirinya mengkredit mobil di luar batas kemampuannya agar tampak lebih gagah dan sukses sebagai pekerja di kota besar. Sementara tampilan juga dipermak habis dari mulai pakaian yang mentereng dan bermerek hingga memoles wajah agar tampil kinclong.

Ini adalah potret yang terjadi di masyarakat. Lalu apakah orang seperti ini bisa menemukan bahagia? Dia bisa menemukan senang sesaat namun tidak mungkin menemukan bahagia yang otentik. Dia hanya menggapai kebahagiaan semu nan palsu.

Mengapa tidak tampil asli, orisinil, otentik dan tanpa kepalsuan? Mengapa tidak tampil apa adanya? Padahal yang otentik biasanya berharga jauh lebih mahal ketimbang yang palsu.

Kehidupan yang otentik adalah kehidupan yang menampilkan realitas diri apa adanya, tidak mengada-ada dan tidak memalsukan identitas serta realitas diri. Hanya orang yang jujur akan dirinya sendiri yang bisa memiliki kehidupan yang otentik ini.

Mereka yang senang membohongi dirinya akan memalsukan keadaan dirinya dengan me-make up diri sedemikian rupa sehingga bisa kelihatan lebih ‘wah’ dibandingkan aslinya. Persis dengan apa yang dilakukan oleh mereka yang ‘memoles’ foto dirinya dengan mengedit foto sehingga mengubah wajah aslinya. Lalu inikah hakiki mudik yang sebenarnya?

Mudik Hakiki

Hakikinya mudik adalah pulang. Pulang ke kampung halaman hanya salah satu saja dari mudik. Ada mudik yang sangat besar yang akan dihadapi umat manusia. Kita semua dalam perjalanan mudik atau pulang ke Sang Pencipta. Sekarang kita di persinggahan.

Untuk mudik ke kampung halaman di dunia yang sementara saja butuh bekal yang cukup banyak. Apalagi untuk mudik ke kampung asal di akhirat yang kekal baqa. Pasti membutuhkan bekal yang benar benar cukup. Karena tidak mungkin kembali ke dunia untuk mengambil atau berusaha kembali untuk menutupi kekurangan bekal yang dibawa.

Jadi mudik Lebaran ini bisa menjadi pelajaran bagi kita semua menuju mudik yang sebenarnya yakni menuju keabadian. Mudik menjadi lebih fitrah setelah ditempa satu bulan Ramadan. Untuk itu sebelum waktu mudik itu tiba, wajib memperhatikan apa saja kebutuhan yang harus dibawa. Tidak boleh ada yang kekurangan apalagi ketinggalan.

Ustadz bilang, sudah banyak ayat dan hadits memberikan peringatan tentang mudik menuju keabadiannya. Tinggal kita persiapkan sebaik-baiknya karena mudik yang hakiki tidak butuh polesan, ketidakorisinalan ataupun tipu-tipu. Pasrah saja dengan keaslian jati diri dan keimanan kita. [ikh]

Back to top button