News

Papua Butuh “Trust” Dahulu Pemekaran Kemudian

Jumat, 25 Nov 2022 – 00:07 WIB

Img 20221117 104649 - inilah.com

Mungkin anda suka

Rapat paripurna DPR, Kamis (17/11/2022), mengesahkan RUU Pembentukan Provinsi Papua Barat Daya menjadi UU. (Foto: Inilah.com/Diana Rizky)

Pemekaran wilayah Papua melalui pembentukan empat daerah otonomi baru (DOB) dianggap bukan langkah tepat untuk menjawab persoalan Bumi Candrawasih. Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman menyebut, langkah membentuk empat provinsi baru Papua yakni, Papua Tengah, Papua Selatan, Papua Pegunungan dan Papua Barat Daya hanya jalan pintas dan tidak menjamin mampu meredam konflik di Papua.

Menurutnya, Papua membutuhkan rasa percaya (trust) dengan seluruh level pemerintahan hingga pada tingkat pusat. Pasalnya akar masalah Papua menurut KPPOD yaitu rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, begitu pula sebaliknya. Artinya dengan memekarkan wilayah Papua sama saja memperlebar ketidakpercayaan masyarakat terhadap birokrasi atau memperuncing kecurigaan antar-kedua belah pihak.

“Persoalan konflik Papua bukan pada alokasi dana otsus (otonomi khusus) yang misalnya sekarang, naik menjadi 2,25 persen, tetapi lebih kepada seberapa besar trust antara masyarakat Papua dengan pemerintah, atau antara pemerintah dengan masyarakat Papua. Itu yang kami lihat menjadi salah satu persoalan terkait dengan konflik di Papua,” kata Arman, kepada Inilah.com, belum lama ini.

Armand meragukan pemekaran wilayah Papua bakal meningkatkan kesejahteraan sekaligus menuntaskan konflik di Papua. Apalagi belum ada data atau evaluasi menyeluruh terhadap kinerja DOB-DOB di Indonesia selama ini. Khususnya terhadap indikator fiskal pada daerah otonom baru itu. “Dalam konteks ini pemekaran beberapa provinsi baru di Papua itu tidak memberikan jaminan bahwa dengan pemekaran itu masyarakat atau persoalan kesejahteraan di Papua bisa teratasi,” ujarnya.

Dia mengingatkan pula, sejak 2014 pemerintah menerapkan moratorium DOB. Berdasarkan data di Kemendagri sedikitnya terdapat 329 usulan DOB. Walaupun revisi UU Otsus membuka celah pemekaran, namun KPPOD menilai pemekaran wilayah Papua tidak selaras dengan moratorium karena belum ada pula data evaluasi kinerja DOB.

Dalam sisi lain, UU Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (Pemda) mengamanatkan desain besar penataan daerah melalui peraturan pemerintah (PP) yang hingga kini belum diterbitkan, sehingga publik tidak bisa memiliki gambaran atas kebijakan penataan daerah ke depan. Termasuk mengenai jumlah provinsi atau DOB. Misalnya untuk memastikan pada 2045, atau 100 tahun usia Republik, berapa jumlah provinsi Indonesia. 

Armand menyoroti pula ketentuan UU Pemda yang mengatur masa persiapan tiga tahun pembentukan daerah sebelum menjadi daerah definitif. Pembentukan empat DOB Papua tidak mengenal masa persiapan tersebut. Dalam masing-masing UU pembentukan empat provinsi Papua, setelah tiga bulan, Penjabat (Pj) Gubernur dilantik diharuskan membentuk organisasi perangkat daerah (OPD). Proses ini dikhawatirkan mengalami kendala atau menjadi tantangan bagi para Pj Gubernur.

Dengan begitu, pemerintah pusat khususnya Kemendagri dan Kemenkeu harus mampu melakukan pengawasan untuk memastikan proses perencanaan penganggaran, pembentukan kebijakan dan kelembagaan Papua. Dimulai dari pembentukan Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang), pembentukan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD), tahapan pembahasan peraturan daerah (perda), dan penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Bagian lain yang turut disoroti yakni mekanisme pengawasan publik terhadap implementasi dana otsus yang dalam UU Otsus menitikberatkan pengawasan pada pemerintah, bukan kolaboratif. Misalnya memfasilitasi warga lokal dalam proses pengawasan terkait dengan tata kelola pembangunan bukan hanya terhadap DOB, tetapi mencakup provinsi-provinsi induk (Papua dan Papua Barat).

“Sejak awal sebenarnya kami di KPPOD sedikit menentang proses pemekaran di Papua karena memang kita masih dalam proses atau masih dalam kebijakan moratorium itu,” tuturnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button