Market

Pangan dan Papan Kian Sulit, Tak Butuh Janji Manis Tapi Aksi Cepat

Situasi ekonomi saat ini sudah membuat masyarakat sangat sulit. Warga makin kesulitan memenuhi kebutuhan dasarnya terutama pangan dan papan. Persoalan ini bisa menjadi sangat serius tanpa ada terobosan dan aksi cepat semua pemangku kepentingan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui masyarakat Indonesia masih menghadapi tantangan berat untuk memenuhi kebutuhan pokok. Pemerintah harus bekerja lebih keras agar masyarakat dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu, baik dalam kondisi krisis maupun saat normal.

Sri Mulyani menjelaskan bahwa masyarakat harus dapat memenuhi kebutuhan primer, misalnya sandang (pakaian), pangan (makan), dan papan (rumah). Namun, dari ketiganya baru sandang yang dapat terpenuhi dengan relatif mudah. Dengan globalisasi dan turunnya biaya manufaktur, harga sandang menjadi lebih terjangkau. Adanya digitalisasi pun membuat masyarakat dapat membeli pakaian dengan mudah dan murah.

Pemenuhan kebutuhan pangan kini menghadapi tantangan, karena pemanasan iklim dan konflik geopolitik mengganggu distribusi pangan. Sri Mulyani menyebut bahwa pemenuhan kebutuhan pangan menjadi isu serius, bahkan akan menjadi pembahasan dalam forum elit G20. “Pangan menjadi sumber inflasi. Berbagai negara sudah mengalami tekanan pangan yang sangat signifikan, ini sudah menjadi perhatian kita,” kata Sri Mulyani, Rabu (6/7/2022).

Sementara pemenuhan kebutuhan papan menjadi masalah yang lebih rumit lagi. Saat ini terdapat backlog hunian hingga 12,75 juta, antrean itu tidak sebanding dengan pemenuhan hunian bagi rakyat, yang pada tahun ini saja target dari pemerintah adalah 1 juta rumah.

Menkeu menyebut bahwa kondisi itu terjadi di antaranya adalah karena tidak ada titik temu antara penawaran dan permintaan (supply and demand). Di sisi supply, harga hunian terus meningkat seiring harga tanah yang hampir tidak pernah turun, dan harga bahan baku bangunan yang relatif naik.

Di sisi permintaan, daya beli masyarakat masih tertekan dan kebutuhan hunian terjangkau menjadi sangat tinggi. Banyak orang membutuhkan rumah tetapi tidak mampu menjangkaunya. Masalah itu perlu mendapatkan penyelesaian, agar papan sebagai kebutuhan primer dapat terpenuhi.

“Indonesia demografinya relatif muda, mereka akan berumah tangga, tetapi mereka can’t afford untuk mendapatkan rumah. Purchasing power dibandingkan harga rumah, lebih tinggi (harga rumahnya),” kata Sri Mulyani.

Kenaikan Harga Pangan

Para pengamat sudah mengingatkan bahwa usai pandemi bukan selesai permasalahan tapi akan muncul persoalan baru seperti gejolak harga komoditas pangan hingga energi. Hal ini diperparah dengan terjadinya perang Rusia Ukraina yang ikut melambungkan harga-harga.

Harga-harga pangan di tingkat konsumen terus merangkak naik. Aneka bahan pokok seperti gula, cabai, bawang, sayuran hingga sumber protein mengalami kenaikan signifikan sejak musim Ramadan dan Lebaran.

Kepala Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa Ann Amanta menilai tingginya harga beberapa komoditas pangan yang sudah berlangsung sejak awal tahun berdampak pada daya beli masyarakat. Menurutnya, stabilisasi harga pangan harus dilakukan demi keterjangkauan kepada masyarakat.

“Kestabilan harga bukan lagi menjadi satu-satunya yang menentukan keterjangkauan masyarakat terhadap komoditas pangan. Pemerintah perlu memperhatikan daya beli yang menurun akibat pandemi COVID-19,” kata Felippa, baru-baru ini.

Memang Badan Pusat Statistik (BPS) sempat merilis angka kemiskinan periode September 2021 mengalami perbaikan dengan adanya penurunan sebesar 9,71 persen setelah setahun sebelumnya yang mencapai 10,19 persen. Namun, pencapaian positif ini berpotensi menurun karena tingginya harga komoditas pangan pada tahun ini.

Hal ini mengingat pangan merupakan komponen bernilai signifikan dalam konsumsi rumah tangga, terlebih pada masyarakat berpenghasilan rendah, yang dapat mencapai 50 persen. Lebih parah lagi jika kenaikan harga pangan ini tidak dibarengi dengan naiknya pendapatan. Tak hanya bikin masyarakat lebih sulit tetapi juga berisiko bagi pemulihan ekonomi.

Direktur Center of Economics and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai kenaikan harga bahan pangan bisa menjadi faktor pendorong kenaikan inflasi. Bila hal tersebut terus berlanjut, maka daya beli masyarakat kelas bawah akan terguncang. “Jika inflasi yang disebabkan volatilitas pangan terus berlanjut, 40 persen kelompok pengeluaran terbawah akan tertekan daya belinya,” katanya.

Yang lebih sulit lagi, ternyata tingginya harga bahan-bahan pangan ini tidak dinikmati para petani. Petani bukannya malah untung tetapi dihadapkan pada persoalan harga pupuk dan harga-harga kebutuhan lainnya yang cukup tinggi. Selain itu, masih banyak komoditas pangan di Tanah Air yang masih tergantung pada ekspor yang harganya tentu saja ikut terkerek seiring kondisi perekonomian global.

Kondisi Sektor Papan

Di sektor properti kondisinya hampir sama. Pelemahan daya beli masyarakat dinilai cukup berdampak terhadap penyerapan jumlah hunian rumah baru, khususnya di kisaran harga menengah ke bawah. “Jadi, memang rumahnya tersedia, harga juga sesuai dengan cost-nya. Tetapi, ini diakibatkan daya beli masyarakat yang menurun pada situasi pandemi COVID-19,” kata Iwan Suprijanto, Direktur Jenderal Perumahan Kementerian PUPR, baru-baru ini.

Selain itu, juga adanya kehilangan potensi serapan hunian rumah karena banyak kegiatan masyarakat telah mengalami disrupsi saat pandemi. Masyarakat lebih memilih mempertahankan uang untuk keperluan lain serta kesehatan, sehingga untuk pembelian rumah menjadi berkurang.

Saat ini terjadi backlog perumahan menembus 12,75 juta unit rumah. Backlog perumahan adalah jumlah kekurangan rumah yang didapat dari selisih antara jumlah kebutuhan akan rumah dengan jumlah rumah yang ada. Ini belum termasuk dengan adanya pertumbuhan keluarga baru sebesar 700.000 sampai 800.000 per tahun.

Yang juga ikut terpengaruh dari penurunan daya beli di sektor properti ini adalah puluhan juta tenaga kerja khususnya perumahan. Belum lagi dampaknya bagi 170 sektor properti lainnya mulai dari semen, batu, pasir, keramik, genteng, meja, kursi, elekronika, lampu, dan lain-lain yang juga banyak menyerap jutaan lagi tenaga kerja.

Kondisi sulit dalam pemenuhan pangan dan papan ini bukan bualan tapi sudah di depan mata. Karena itu ajakan Menkeu Sri Mulyani agar semua pihak bekerja lebih keras agar masyarakat dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu bukan hanya janji dan ungkapan manis di mulut.

Perlu aksi cepat dan serius mendorong daya beli pangan dan papan dengan harga murah dan fasilitas mudah serta mendorong peningkatan pendapatan masyarakat.

Back to top button