Market

Normalkan Harga Sawit, LPEM UI Dorong Pemerintah Hapus DMO dan DPO

Ketua Tim Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat  (LPEM) UI, Eugenia Mardanugraha menyebut pembatasan ekspor berdampak tangki pabrik kelapa sawit (PKS) over kapasitas. Alhasil, TBS tak terserap, harga pun anjlok.

“Situasi ini membuat harga TBS jatuh, dan membawa penderitaan kepada petani sawit, khususnya petani sawit swadaya. Pembatasan ekspor CPO, meskipun sementara dalam waktu singkat mendistorsi kegiatan perdagangan kelapa sawit dari hulu hingga hilir. Dampak negatif terbesar dirasakan oleh petani sawit swadaya karena harga TBS tidak kunjung menyesuaikan dengan harga internasional,” ujar Eugenia dalam sebuah diskusi, Jakarta, Rabu (3/8/2022).

Kata Eugenia, hambatan ekspor sawit harus dikurangi atau bahkan dihapuskan. Lantaran, regulasi dan perpajakan ekspor sawit saat ini, terlalu banyak. Yakni, bea keluar, pungutan ekspor, domestic market obligation (DMO), domestic price obligation (DPO), persetujuan ekspor, dan flush out.

“Seluruh hambatan ekspor sebaiknya dikurangi bahkan dihapuskan. pungutan ekspor tidak diberlakukan dan bea keluar perlu disederhanakan. Untuk memperlancar ekspor sampai harga TBS mencapai tingkat yang sesuai harapan petani swadaya,” jelas Eugenia.

Eugenia menyebutkan, upaya meningkatkan harga tandan buah segar (TBS) sawit petani, membutuhkan dukungan peningkatan ekspor crude palm oil (CPO) dalam jumlah yang besar. Merujuk hasil kajian bahwa setiap peningkatan ekspor CPO satu persen mampu mengerek harga TBS rerata 0,33 persen. Itu sebabnya, sangat dibutuhkan banyak volume ekspor untuk mengembalikan keekonomian harga TBS petani.

“Dibutuhkan peningkatan ekspor sebesar 1.740 persen atau 17 kali lipat supaya harga TBS petani dapat meningkat dari 861 rupiah per kilogram (asumsi harga petani swadaya per 9 Juli 2022) menjadi 2.250 rupiah per kilogram,” urai Eugenia.

Peningkatan ekspor tersebut sangat memungkinkan karena Indonesia pernah mencapai pertumbuhan ekspor CPO sebesar 211 persen. Walaupun dibutuhkan waktu tujuh tahun, yakni pada April 2014 ekspor CPO Indonesia mencapai 1,37 juta ton menjadi 4,27 juta ton pada Agustus 2021.

“Kalau kita memulai dari harga awal TBS 1.380 rupiah per kg, maka dengan meningkatkan ekspor 200 persen atau sekitar dua kali lipat kita bisa mencapai harga TBS yang sesuai dengan harapan petani,” ujarnya.

Dalam hal ini, LPEM UI mendorong penghapusan sejumlah kebijakan seperti DMO dan DPO seperti yang pernah disampaikan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan. Selanjutnya, pemerintah bisa menjadikan pungutan ekspor dan bea keluar bisa dijadikan instrumen untuk mengatur volume ekspor.

“Apabila suplai CPO di dalam negeri dianggap berkurang, maka pemerintah dapat meningkatkan tarif. Sebaliknya apabila ekspor ingin diperbesar, maka tarif diturunkan. Apabila instrumen tarif dapat berfungsi dengan baik sebagai pengendali ekspor,” ujar Eugenia.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Joko Suriyono sepakat dengan hasil kajian LPEM UI, bahwa hambatan ekspor sawit harus dikurangi. Sebagai penghasil sawit terbesar di dunia, Indonesia harus bisa mendapat manfaat maksimal dari ekspor minyak sawit mentah atau crude pal oil (CPO) di pasar dunia.

“Saya setuju apabila ekspor sawit dikurangi hambatannya Kebijakan ekspor sawit harus dikurangi menjadi dua saja bea keluar dan pungutan ekspor,” ujarnya.

Joko mengusulkan, pemerintah cukup memastikan pasokan sebanyak 2,5 juta ton minyak goreng untuk masyarakat kelompok tertentu. Namun, pemerintah jangan pula mengorbankan volume ekspor sawit yang mencapai 35 juta ton per tahun.

“Sedangkan di bulan Juli, ekspor baru 1,2 juta ton memasuki minggu ketiga. Akibatnya, stok nasional diperkirakan 6,7 juta ton pada Juni. Padahal, stok normalnya sebesar 4 juta sampai 4,5 juta ton. Ekspor CPO dan RBD dikatakan normal jika volume ekspor bulanan telah mencapai 3 juta ton,” urai lulusan Fakultas Pertanian UGM ini.

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (Gimni), Sahat Sinaga bilang, bisnis sawit porsi untuk pasar domestik hanya 35 persen. Sisanya yang 65 persen bisa diekspor. “Jadi ada yang terganggu dengan pasokan ekspor, maka selesai semua dan ekspor itu no barrier. DMO dan DPO hapus,” ujar Sahat.

Sedangkan Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Manurung bilang, terhambatnya ekspor sawit berdampak kepada kehidupan petani. Kini, pendapatan petani sawit anjlok menjadi Rp200.000 per hektare (ha), sebelumnya Rp2,5 juta per ha. Berdasarkan data Apkasindo per 30 Juli 2022, harga TBS di level petani swadaya, rerata di kisaran Rp1.448 per kilogram (kg). Sementara harga TBS petani plasma sebesar Rp1.775 per kg.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button