Market

Nilai Tukar Rupiah Anjlok Terus Mendekati Era Krismon 1998


Jauh-jauh hari, ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat yang akrab disapa ANH, memprediksikan nilai tukar (kurs) rupiah bakal melemah hingga Rp17.000 per dolar AS (US$).

Saat ini gejalanya menuju ke sana karena nilai rupiah terhadap mata uang negeri Paman Sam, semakin babak belur. Bahkan mendekati angka terburuk saat krisis moneter (kismon) 1998 senilai Rp16.800/US$. 

Berdasarkan data Bloomberg Senin (17/6/2024), nilai tukar rupiah ditutup di level Rp16.412 per dolar AS. Mata uang Garuda melemah 142 poin atau minus 0,87 persen dari penutupan perdagangan sebelumnya.

Sementara Google Finance per Senin siang (17/6/2024), melaporkan, dolar AS dihargai Rp16.440 atau turun 0,29 persen. Meski demikian, dolar AS sempat berada pada level Rp16.486.

Terkait ambrolnya mata uang Garuda, ANH punya analisa tersendiri. “Indonesia punya utang luar negeri yang terus meningkat. Defisit transaksi berjalan yang membesar serta ketidakseimbangan neraca perdagangan persisten. Ketiga faktor itu, disebut faktor fundamental yang menyebabkan rupiah anjlok Rp16.200 ke Rp16.400, bahkan bisa Rp16.900 per dolar AS di akhir 2024,” kata ANH, Jakarta, Selasa (18/6/2024).

Akibatnya, lanjut  CEO Kebijakan Publik Narasi Institute ini, utang luar negeri (ULN) pemerintah Indonesia, berpotensi meroket. Per akhir 2023, total ULN Indonesia mencapai US$407,1 miliar, atau setara Rp6.597 triliun dengan asumsi kurs Rp16.200/US$.

“Peningkatan ini mencerminkan pertumbuhan ULN secara tahunan mencapai 2,7 persen ketimbang tahun sebelumnya,” kata ANH. 

Mengutip dari halaman ULN Indonesia, komposisi ULN ini, sebesar 23,7 persen berasal dari sektor kesehatan dan layanan sosial pasca pandemi COVID-19 (Rp1.563 triliun), 18,9 persen dari sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib (Rp1.246 triliun), dan 14,1 persen dari utang yang dialokasikan untuk infrastruktur (Rp930 triliun).

“Pelibatan APBN untuk proyek Infrastruktur seperti KA Cepat Jakarta-Bandung, IKN dan Proyek Strategis Nasional (PSN) lainnya, akan menambah berat beban utang luar negeri Indonesia,” paparnya.

Dia pun mengingatkan ihwal transaksi berjalan yang mengalami defisit pada 2023 sebesar 0,1 persen dari produk domestik bruto (PDB). Defisit ini terjadi karena anjloknya harga komoditas global yang memengaruhi ekspor Indonesia.

Pada 2024, lanjut Matnur, Indonesia diperkirakan mengalami defisit transaksi berjalan yang lebih tinggi. Diperkirakan defisit ini berada di kisaran 0,1 persen hingga 0,9 persen dari PDB, menandakan manajemen keuangan negara memburuk.

Pada Januari 2024, lanjutnya, neraca perdagangan Indonesia mencatat surplus $2,01 miliar. Turun dibandingkan surplus Desember 2023 sebesar $3,31 miliar.

Pada periode yang sama, surplus diperoleh terutama dari komoditas nonminyak dan gas, seperti bahan bakar mineral seperti nikel ore dan bauksit, serta minyak lemak hewan dan nabati, juga besi dan baja.
 

Back to top button