Kanal

Nilai-nilai Kepahlawanan Mana yang Masih Kita Perlukan?

Kita tampaknya tak perlu lagi seorang hero laiknya Muhammad Toha yang meledakkan gudang mesiu Belanda. Kita hanya perlu hal-hal sederhana, kisah-kisah altruisme yang membahagiakan sesama. Mungkin sesekali perlu para jagoan yang menang, entah di sebuah festival seni, atau permainan bola tingkat dunia. Meski kita tahu, sorak-sorai kita di sana hanya semu, yang manakala layar tv kita tutup pun, segera luruh.

Oleh   : Darmawan Sepriyossa

Siapa sih yang masih peduli dengan nilai-nilai kepahlawanan? Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) mungkin salah satu di antara sedikit institusi yang masih menyoal urusan ini. Tetapi, bahkan polling terakhir mereka untuk hal itu digelar sudah enam tahun lalu.

Seringkali kepedulian soal nilai-nilai kepahlawanan ini hanya muncul setahun sekali, seiring ritual peringatan Hari Pahlawan 10 November. Hari ini. Pembahasannya nyaris basi, dengan persoalan yang dari tahun ke tahun seolah tak pernah menemukan solusi: lunturnya nilai-nilai kepahlawanan dari generasi (paling) muda. Seolah nilai kepahlawanan adalah warna yang bisa direkatkan kepada jiwa warga negara Indonesia dengan cara mencelepnya. Jika demikian, tentu saja seseorang, entah sukarela atau pun terpaksa, harus secara rutin mencelep nilai-nilai kepahlawanan itu, agar kalau pun nilai itu terlanjur luntur ditelan pragmatisme hidup dan waktu, bisa direkondisi jadi seolah baru lagi.

Lunturnya nilai-nilai kepahlawanan itu bahkan sudah dikeluhkan budayawan alm Radhar Panca Dahana, di awal dekade lalu. “Nilai-nilai kepahlawanan di Indonesia telah luntur,”kata Radhar kepada harian cetak Kompas, pada 2011. Radhar kelima dari sekian banyak kakak beradik dengan nama Radhar itu  kemudian panjang lebar melanjutkan,“Peringatan Hari Pahlawan pun kian menjadi simbol saja. Orientasi materi lebih diutamakan, bahkan oleh sosok yang dianggap pahlawan.”

Ia sendiri berteori bahwa degradasi nilai-nilai kepahlawanan itu disebabkan banyak hal. Yang pertama, ‘pahlawan’ yang masih hidup tidak mampu memberikan contoh. Misalnya, kaum guru yang dikatakan pahlawan tanpa tanda jasa, tercatat selalu saja menuntut kesejahteraan, padahal secara penghasilan mereka telah cukup tinggi.

Yang kedua, kurangnya penghormatan kepada para pahlawan. Nilai-nilai kepahlawanan pun kian luntur karena orang berpikir pragmatis. “Kita tidak mampu mengenggam nilai luhur kepahlawanan. Asal dia berbuat baik, kontan mereka merasa sebagai pahlawan,  tapi belum tentu punya integritas membela kebenaran, membela yang lemah, dan berbuat baik kepada public,” kata Radhar.

Sinyalemen Radhar kemudian mendapatkan bukti otentik, paling tidak dari data yang didapat sebagai hasil polling Lemhanas pada 2016 itu. Hasilnya antara lain menyatakan adanya penurunan nilai-nilai kepahlawanan dalam masyarakat, selain melorotnya kepercayaan publik terhadap elite politik dan elite pemerintahan dalam menjiwai arti nilai-nilai kepahlawanan tersebut.

Variabel pokok yang diukur dalam polling tersebut adalah sifat dan nilai kepahlawanan yang berkembang dalam masyarakat, mencakup patriotisme, nasionalisme, rela berkorban, berani membela kebenaran, dan sebagainya.  Secara umum hasil jajak pendapat yang dilakukan mendapatkan fakta, bahwa nilai-nilai kepahlawanan pada elit politik masih lemah, sebanyak 46,2 persen dari 437 responden di 12 provinsi yang disampling, mengungkapkan bahwa nilai-nilai kepahlawanan dalam profesi tokoh politik, terutama anggota DPR, masih lemah.

Angka yang lebih buruk terjadi pada profesi aparat penegak hukum. Dari hasil pengolahan data, sebanyak 50,1 persen responden menilai bahwa nilai-nilai kepahlawanan dalam profesi aparat penegak hukum masih rendah. Entah bagaimana hasilnya kalau polling itu digelar saat ini, di mana persoalan kedegilan aparat penegak hukum tidak hanya diwakili pekatnya kasus Irjen Sambo yang tengah digelar pengadilan, melainkan banyak varian lain yang muncul setiap hari di pemberitaan. Sehari sebelum Hari Pahlawan ini, warga dengan mudah membaca kasus penyerangan sebuah RS di Medan oleh sekawanan oknum polisi, serta oknum polisi yang dicopot tanpa hormat karena menyelingkuhi istri seorang tentara.

Akhirnya hasil polling tersebut menyimpulkan perlu hadirnya peran negara yang lebih intensif dalam menanamkan nilai-nilai kepahlawanan kepada  segenap elemen bangsa melalui metode yang perlu dicari kesesuaiannya dengan kemajuan zaman.

Data yang diperoleh lebih kemudian pun sudah tak lagi bisa dibilang data segar. Tiga tahun lalu (2019) Lembaga Survey Indonesia (LSI) Denny JA merilis hasil survey berkaitan dengan rasa nasionalisme di kalangan masyarakat Indonesia. Dasar pemikiran digelarnya survey konon karena adanya ancaman kedaulatan bangsa di sisi ideologi, khususnya pasca-1998, seperti bermunculannya ideologi yang berseberangan dengan ideologi negara, terorisme, radikalisme, serta konflik sosial berbasis suku, ras dan agama.

Hasil survey tersebut wajar membuat kita merenung. Survey itu menunjukkan bahwa sejak 2005-2018, jumlah warga yang pro-Pancasila semakin berkurang setidak-tidaknya 10 persen. Di level pendidikan formal, khususnya kelompok anak muda, jumlah kalangan pro-Pancasila juga menurun.

Untungnya, ada angin segar dari survey LSI Denny JA di  2019 itu. Dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, angka nasionalisme masyarakat disebitkan mengalami (sedikit) kenaikan. Paling tidak, ada 66,4 persen warga yang masih mengidentifikasi diri sebagai bagian dari bangsa Indonesia; 19,1 persen warga mengidentifikasi diri sebagai kelompok penganut agama tertentu; dan 11,9 persen warga mengidentifikasi diri sebagai bagian dari suku tertentu. Namun tentu saja, kita tidak boleh lupa bahwa 33,6 persen warga yang tidak mengutamakan nasionalisme. Dan itu bukanlah angka yang kecil.

LSI sendiri saat itu menyimpulkan, memudarnya nasionalisme yang terjadi sejak dua dekade lalu itu dapat disoroti dari maraknya konflik sosial berbasis ras seperti kasus Poso, Ambon, Aceh, Papua, serta lepasnya Timor Timur dari Indonesia. Belum lagi bermunculan dengan maraknya ormas-ormas yang menegaskan identitas kultural, serta banyaknya ideologi alternatif yang kerap bertentangan dengan ideologi bangsa.

Alasan itu diperkuat pula dengan maraknya berbagai narasi primordialisme dan sentimen berbasis isu SARA yang berkembang di masyarakat pada saat pilpres dua periode terakhir, yang seolah membuat sekat-sekat kultural menjadi lebih kuat dan tidak terhindarkan.

Berangkat dari kenyataan itu, kata LSI, negara perlu menyuarakan kembali nasionalisme untuk menjaga kedaulatan bangsa, serta membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. “Karena jika tidak, persatuan dan kesatuan akan terancam, dan generasi mendatang akan bersikap apatis terhadap negerinya sendiri,”tulis LSI.

Nasionalisme kaum muda

Secara sederhana, saya meyakini bahwa nasionalisme dan jiwa kepahlawanan sejatinya altruistik dan berhubungan erat dengan rasa memiliki. Itu sejalan dengan gagasan yang diadopsi Soekarno dari Ernest Renan tentang nasionalisme, manakala bersama para founding fathers lainnya mendirikan Indonesia.

Nasionalisme yang diacu Soekarno dari Renan saat itu merujuk pada kesepakatan politik untuk mencapai cita-cita masa depan bersama sebagai bangsa yang senasib sepenanggungan, dan kesediaan berkorban untuk menjaga semangat kebangsaan. Artinya, nasionalisme yang diacu adalah nasionalisme yang bersepakat untuk mencapai tujuan ideal sebagai sebuah cita-cita bersama. Tujuan itu, kita tahu, kemudian dirangkum dalam Pembukaan UUD 1945.

Dengan menyadari hal itu, otomatis sebenarnya kita sendiri akan memaklumi mengapa jiwa kepahlawanan dan nasionalisme kian mengecil dan luntur seiring waktu. Jadi, tak perlu mempertanyakan nasionalisme kaum muda, karena kadang kita sendiri tak pernah sadar adakah keterkaitan mereka dengan itu? Perlukah mereka semua itu?

Seiring waktu, kita melihat konsistensi kita untuk menggapai tujuan bersama tersebut kadang terganggu. Sebagian kita, para elit terutama, mungkin cenderung mengambil upaya yang meski tetap berada di jalur menuju tujuan, cenderung mengambil jalan yang menguntungkan diri atau mungkin kelompoknya. Belum lagi adanya mereka yang bahkan sama sekali tidak melihat yang lain kecuali kepentingan dirinya.

Wajar bila kian berganti generasi, ikatan bersama untuk menuju tujuan bersama itu semakin longgar, kurang mengikat, bahkan mungkin kadang tidak lagi menarik. Apalagi apabila kemudian ada sebagian unsur yang dulu rela untuk mengikat diri itu melihat ada unsur lain yang dominan membagi kebaikan yang tumbuh hanya buat diri mereka sendiri.

Wajar bila lambat-laun berkembanglah ketidakpercayaan, distrust, yang bukan tak mungkin mengarah kepada keinginan untuk lepas dari ikatan. Timbullah keinginan untuk anarkis, seiring merasa bahwa ikatan dan aturan yang ada hanya menyerimpung pihaknya.

Saya kira, para elit harus sesekali berpikir dari kacamata mereka, para marjinal yang selama ini kurang mendapatkan bagian. Dengan itu, barangkali akan mudah dipahami mengapa nasionalisme kurang menarik minat mereka. Juga kepahlawanan.

Sebagian mereka, boleh jadi memahami kepahlawanan lebih secara etimologi. Ada frasa ‘lawan’, dalam kata pahlawan, yang terasa heroik, di sana. Dan ‘lawan’ seringkali mencerminkan sesuatu yang paradoksal. Di satu sisi kegemilangan, di sisi lain kegetiran.

Itulah sebabnya, ada yang membedakan pahlawan dengan jagoan. Yang pertama adalah manusia yang menggugah hati. Yang kedua, kadang hanya makhluk yang tak jarang membosankan. Dalam film-film Hollywood, fungsinya justru terbatas, sebagai alat untuk membuat seru suasana.

Yang jelas, dalam kepahlawanan selalu ada makna keberanian. Sementara keberanian menjadi heroisme yang semu ketika lepas dari pedihnya pengorbanan. Seperti kisah Achiles dalam roman tua “Illiad”-nya Homer: ia turun ke gelanggang peperangan untuk membalas kematian orang yang ia cintai,  sementara tahu dengan sadar bahwa di sana takdirnya adalah mati. Mungkin pula seperti kisah Sayidina Ali yang mau membayar harga persatuan ummat dengan kematian dirinya sendiri.  Atau dalam contoh Indonesia, beberapa tahun lalu kita ingat cerita Yati, pemulung yang mengorbankan konsumsinya sehari-hari untuk bisa berkurban di Idhul Adha dan mengecap nikmatnya berbagi.

Kita tampaknya tak perlu lagi seorang hero laiknya Muhammad Toha yang meledakkan gudang mesiu Belanda. Kita hanya perlu hal-hal sederhana, kisah-kisah altruisme yang membahagiakan sesama. Mungkin sesekali perlu para jagoan yang menang, entah di sebuah festival seni, atau permainan bola tingkat dunia. Meski kita tahu, sorak-sorai kita di sana hanya semu, yang manakala layar tv kita tutup, ia segera luruh. [  ]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button