Kanal

Muslim Uighur Iri Terhadap Warga Ukraina

Hingga hari ini masih banyak warga dunia bersimpati bahkan memberikan bantuan kepada warga Ukraina yang harus menghadapi perang dengan musuh yang sangat kuat yakni Rusia. Tetapi, ada orang yang berada di belahan dunia lain yang iri karena hingga kini nasibnya tidak kunjung mendapatkan perhatian dunia.

Siapakah orang-orang ini? Mereka adalah warga Muslim Uighur yang berada di Xinjiang, China, dulu dikenal dengan wilayah Turkestan Timur, telah menghadapi genosida, seperti tudingan pengamat Hak Asasi Manusia (HAM) dunia selama bertahun-tahun.

Ada beberapa alasan mengapa Muslim Uighur iri kepada penduduk Ukraina. Misalnya saja, hingga saat ini Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy, masih setia kepada rakyatnya. Ia dengan berani melawan keganasan pasukan Vladimir Putin dan melakukan diplomasi dan meminta bantuan kepada para pemimpin blok NATO yang dipimpin Amerika Serikat.

Bagaimana dengan pemimpin Uighur? Mengutip Globalvoices.org, tahun lalu, para pemimpin Uyghur, Shirzat Bawdun dan Sattar Sawut, yang dituduh melakukan kegiatan ‘separatis’ secara terbuka turun ke media dan menangis. “Saya telah bertobat, saya telah melakukan kesalahan.”

Perbedaan antara para pemimpinnya ini bukanlah karena tingkat patriotisme atau kepribadian, tetapi status politik (takdir) yang mereka miliki. Satu wilayah telah diinvasi, sementara yang lain saat ini sedang mengalami invasi. Yang satu berbicara di bawah ancaman tank, yang lain menderita siksaan.

Warga Ukraina dengan lantang menyatakan posisi mereka yakni menentang pendudukan, menembaki musuh, mengekspresikan kebencian mereka, menunjukkan kemarahan, dan menyembuhkan jiwa mereka yang terluka.

Di Xinjiang, bagaimanapun, Uighur dipaksa untuk berterima kasih kepada China, yang telah menduduki tanah air dan yang pemerintahnya telah melanggar hak-hak mereka serta menjarah kekayaannya. Mereka yang tidak menunjukkan rasa terima kasih kepada China dipenjara karena dicurigai melakukan separatisme, terorisme, dan ekstremisme.

Di sisi lainnya, jutaan orang warga telah melarikan diri dari Ukraina untuk menyelamatkan hidup mereka dan mencari bantuan dari negara-negara tetangga. Sementara Muslim Uighur dilarang berpindah dari satu lingkungan ke lingkungan lain tanpa izin.

Selama 10 tahun terakhir, warga Uighur yang mencoba melanggar larangan –melarikan diri tanpa paspor atau dengan paspor palsu– dan melintasi perbatasan ke Kamboja, Vietnam, Mesir, Tajikistan, Kazakhstan, Dubai, Arab Saudi, dan negara-negara lain, telah dideportasi ke China oleh negara-negara ini.

Masih menurut catatan Globalvoices, lebih dari tiga juta orang Uighur telah meninggal secara perlahan di penjara dan kamp selama lima tahun. Erkin Sidick, ilmuwan dan presiden Yayasan Proyek Uighur sempat bertanya, setelah menarik kesimpulan dari data resmi, “Ke mana perginya 8,3 juta orang Uighur dalam 2-3 tahun?”

Menurut aktivis Uighur, lebih dari 500 mayat dikirim ke rumah mereka setiap hari dari kamp, tetapi hanya Tuhan dan pejabat China yang tahu jumlah sebenarnya yang tewas sejauh ini. Juga tidak ada yang tahu kapan ‘proses’ genosida akan selesai.

Yang juga membuat iri adalah, orang Ukraina masih bisa memilih atau menentukan siapa dan kapan mereka akan menikah, sementara Muslimah Uighur dipaksa untuk menikah dengan orang China Han yang menduduki negara, dan anak-anak mereka (sekitar 500.000) dibawa ke panti asuhan di pedalaman China yang jauh dari tanah air mereka.

Perhatian dunia

Bagi warga Muslim Uighur, yang menarik dari situasi Ukraina adalah perhatian internasional. Jika warga Ukraina kehilangan nyawanya akibat perang, media beramai-ramai melaporkannya. Sementara situasi mengerikan Uighur hanya menarik sedikit perhatian dunia. Misalnya, ketika 150 orang tewas di salah satu dari 380 kamp di wilayah Uighur, tidak seorang pun kecuali layanan RFA Uighur di AS yang melaporkannya.

Dalam kasus perang Ukraina, negara-negara lain di dunia begitu cepat memberikan simpati dan dukungan. Bahkan beramai-ramai memberikan sanksi kepada Rusia. Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pun langsung bereaksi. Sekretaris Jenderal PBB António Guterres mengutuk Rusia pada hari kedua perang dan menyerukan diakhirinya invasi.

Tetapi hal berbeda terjadi pada nasib Uighur. Meskipun telah memakan waktu lima tahun sejak terungkapnya genosida, belum ada upaya serius menangani masalah ini. Padahal sebuah laporan PBB yang dirilis pada Agustus lalu sempat merinci pelanggaran termasuk penyiksaan dan kerja paksa dan penahanan sewenang-wenang ‘skala besar’ terhadap apa yang disebut Beijing sebagai pusat pelatihan kejuruan.

Upaya untuk membahas persoalan ini di level Dewan HAM PBB juga kandas. Pada Kamis (6/10/2022), Dewan HAM PBB menolak mosi untuk menggelar debat mengenai dugaan pelanggaran HAM di wilayah Xinjiang, China. Dalam mosi tersebut, 19 suara menentang, 17 mendukung dan 11 absen. Indonesia termasuk negara yang menolak debat isu Muslim di Dewan HAM PBB itu.

Lobi dan peran penting geopolitik dan ekonomi China membuat masalah Uighur ini tak pernah mendapat sentuhan serius dari dunia. Dunia sepertinya tidak memiliki rencana nyata untuk menghentikan genosida yang sedang berlangsung di China.

Beberapa orang Uighur mulai menganggap dunia hanya berbasa-basi serta berada pada titik di mana mereka harus menerima kenyataan pahit itu dan tidak bisa berharap terus menerus. “Kami memiliki ilusi bahwa dunia akan melakukan yang terbaik untuk menghentikan China dari genosida ini,” kata Tahir Imin, seorang akademisi Uighur, mengutip Vox.

Rushan Abbas, seorang aktivis Uighur di AS yang saudara perempuannya telah ditahan di Xinjiang selama empat tahun, mengungkapkan hal senada. “Dunia sepertinya tidak memiliki rencana untuk menghentikannya karena dunia mendapat manfaat darinya,” kata Abbas.

China adalah pasar yang sangat besar. Kemampuannya untuk memproduksi produk dengan murah dan banyaknya tenaga kerja murah membuatnya sangat berharga bagi bisnis internasional. Ini semua adalah hal yang membuat pemerintah di seluruh dunia mendapat keuntungan dari China.

Tak heran dunia sebenarnya bisa menghentikannya, tetapi mereka tidak mau menghentikannya. Mereka tidak punya cukup nyali atau kemauan politik untuk melakukan itu. Tidak mau pula perekonomian mereka terpengaruh mengingat terlalu banyak ketergantungan dunia terhadap China.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button