Kanal

Mukti Mukti, Keluarga Barzakh, dan Rumah yang Terus Ia Bangun

“Kucatat semua ini ketika salju pertama

Jatuh di Sarajevo…”

Syair puisi Taufiq Ismail tentang derita rakyat Bosnia Herzegovina akibat pembantaian etnis oleh Serbia, yang dilagukan dan diberinya ‘jiwa’ dengan petikan gitarnya itu, memulai etape baru dalam hubungan saya dengan Kang Hidayat Mukti. Sekitar dua tahun sebelumnya, di saat masa pengenalan mahasiswa baru, 1990, saya memilih Gelanggang Seni Sastra, Teater dan Film (GSSTF) Unpad, alih-alih sekian ekstra kurikuler lain yang bejibun. Di GSSTF, yang markasnya –mereka tak mau menyebutnya sekretariat– pas di pintu masuk toilet besar Fakultas Sastra itu, saya pertama kali bertemu Kang Mukti. Kurus, berkaca mata, dan yang tampak jelas, bear budi tur akuan, alias sangat ramah.

Hanya sekitar tiga bulan kemudian, seiring terperosok dan jatuh cintanya saya ke dalam dunia aktivisme mahasiswa, saya pun kerap bertemu Kang Mukti. Apalagi bila yang diperjuangkan dalam demonstrasi-demonstrasi mahasiswa itu berkisar kasus-kasus pembelaan mahasiswa terhadap warga dalam sengketa agraria, yang bisa dipastikan Kang Mukti ada di dalamnya. Pada demo-demo mahasiswa Bandung untuk kasus Tanah Badega, Kasus Cimacan, Kasus Kacapiring, Kasus Petani Garut, dan lain-lain, yang mewarnai aktivisme mahasiswa Bandung di akhir 1980 ke tahun-tahun awal 1990-an, bisa dipastikan Kang Mukti hadir dengan gitar dan harmonikanya.

Manakala kerongkongan Erpan Faryadi telah kering kehilangan kata-kata, di saat Agus Jaya Siliwangi, Airiyanto, Nurkholis Gepeng, Dayat, atau Avi Taufik –para pentolan Komite Pergerakan Mahasiswa Untuk Rakyat Indonesia (KPMURI), forum gabungan berbagai komite aksi kasus-kasus tanah yang ada– kikuk antara menggerakkan massa atau bernegosiasi dengan aparat, biasanya Mukti yang bisa mencairkan. Dengan gitar dan lagu-lagu yang ia ciptakan, dibawanya suasana baru ke dalam demo yang mulai lelah itu. Suasana pun biasanya berubah santai, meski tak pernah kehilangan elan vital.

“Memahami mata yang kau pejamkan

Adalah pulau yang jauh di ufuk timur, matahari

Kita yang masih bertani

Berdiri menatap matahari

Menitip mati, melumas sepi

Esok pagi revolusi” — “Revolusi Adalah”

Musikalisasi puisi Taufiq tentang derita Muslim Bosnia oleh Kang Mukti itu benar harus saya katakan menjadi awal baru hubungan saya dengannya. Di suasana aktivisme mahasiswa 1990-an yang masih menyisakan suara-suara senior dari era lalu soal ‘kiri’ dan ‘kanan’ itu, pementasan Kang Mukti dan Keluarga Barzakh di Aula Unpad pada malam Ramadhan 1992 itu menyadarkan saya soal nisbinya urusan ‘kanan’ dan ‘kiri’. Yang lebih mutlak, pikir saya kemudian, adalah semangat untuk berjuang dan membela siapa pun yang tertindas.

Itu membuat saya kemudian tergabung ke dalam Keluarga Barzakh, yang kegiatan-kegiatannya banyak terpusat di rumah pasangan muda Miranda Risang Ayu dan Budi Suhastian, yang baru saja pindah dari kawasan sejuk Kanayakan ke Dago Pojok. Di Barzakh pula saya lebih jauh mengenal akrab Budi Godot (Budi Supriyatna, Sastra Indonesia Unpad angkatan 80-an), Mbak Miranda dan sekian banyak aktivis Masjid Salman yang saat itu tengah gandrung berkesenian.

Di antara mereka ada Ida Ayu Mustika Dewi (saat itu istri Kang Yudi Latif), Soffie (saat ini istri Mas Tubagus Furqon Sofhani), Dian Widiastuti, Buroqi Tarikh, Andri dan gengnya, Widi Heriyanto, Solahuddin, bahkan beberapa mahasiswa IKIP –kini UPI. Waktu itu, sebagai komunitas kesenian di Bandung, Barzakh lumayan eksis. Dua kali digelar festival kebudayaan Islam nasional di 1990-an itu, Festival Istiqlal, dua kali pula Barzakh diminta sebagai salah satu pengisinya.

Sementara, selain berkesenian, hampir semua warga Keluarga Barzakh memiliki kecintaan (atau setidaknya hasrat) mendalami tasawuf. Semua keinginan itu terlunasi manakala Barzakh berkenalan dan kemudian menjadikan Muhammad Zuhri, ulama asal Pati, Jawa Tengah, sebagai guru yang datang setidaknya sebulan sekali ke Bandung.

Saya pikir, bagi Kang Mukti sendiri, persinggungannya dengan Barzakh itu membawa tarikan khusus dalam hidupnya kemudian. Tidak hanya sisi relijiusitas yang kemudian membedakannya dengan arus besar yang dijalani aktivis agraria lainnya, tetapi juga langsung dalam mempengaruhi hidupnya: Dian Widiastuti, istrinya, didapatnya dari pergumulannya dalam Keluarga Barzakh.

mukti mukti
Mukti Mukti, berdemo di tahun tahun terakhir (dok: DSY)

Suatu malam, sekitar 1993, waktu saya datang ke Tanggulan, Dago, tempat tinggal Kang Mukti dan adiknya, Mufid, saat itu, saya menemukan Kang Mukti yang tak biasa. Ia memang kurus, tapi matanya tak pernah tidak memancarkan semangat hidup yang berkobar. Tidak kali itu. Ia tergeletak di bawah kursi panjang, teronggok ibarat karung pasir tersiram hujan. Melorot tanpa terlihat ada daya.

“Kunaon, Kang?” saya bertanya.

“Kabogoh uing direbut, euy (Pacarku direbut).”

“Ku saha? Oleh siapa?”

“Ku Si Dede Haris. *&#@@$$&&6$”

Alih-alih simpati dan berduka, saya justru tertawa ngakak mendengar aneka sumpah serapahnya. Lucu dan natural di telinga saya. Asli pisan! Sempat bahkan saat itu pun terbersit rasa sayang tak bisa merekam serapah yang lucu itu. Lucu, karena meskipun jelas itu sebuah serapah, kata-kata yang dipilihnya tak mengesankan kekasaran sedikit pun!

“Udah makan?” tanya saya dalam Bahasa Sunda.

“Boro-boro hayang dahar, siah!”

“Ya…kalau nggak mau sih nggak apa. Tapi kalau mau, memang sengaja saya beli buat Akang,” kata saya, membuka tas besar bekas peralatan terjun payang yang saya beli di Pasar Loak Jatayu.

Saya keluarkan dua bungkus besar nasi Padang dari Rumah Makan Kapau Jaya, di Dipati Ukur. Saya buka satu, satunya ditaruh di dekatnya. Saya baru dapat honor menulis artikel di Pikiran Rakyat, lumayan Rp75 ribu. Dibelikan dua bungkus nasi Padang, meski lauknya masing-masing dua pun, masih banyak sisanya. Saya langsung makan, bahkan lupa cuci tangan.

Hanya berselang dua suap, Kang Mukti pun segera membuka bungkus nasinya. Gesit sekali, beda dengan penampakannya saat saya baru datang tadi.

“Nyeri hate nya nyeri hate. Tapi makan kan harus jalan terus, ya Dar?” katanya, ngosom karena mulut yang penuh nasi.

“Sumuhun, Kang, leres. Indeed.”

Dede Haris yang disebut Kang Mukti itu tak lain dari seniman musik di Bandung. Kawan dekatnya juga. Saya sendiri yakin, tak ada urusan sakit hati atau dendam seiring rencana pernikahan Kang Dede dengan gadis yang diakui Kang Mukti sebagai pacarnya itu. Dan memang mereka pacaran. Saya beberapa kali melihat gadis teman baiknya itu di Tanggulan.

“Urang datang ulah nya, ka nikahanna? Saya harus datang atau tidak ke resepsi pernikahan mereka?”

“Nya datang atuh. Era mun henteu. Diajar ka sayah urusan ngahadiran mantan kawinan mah. Datanglah. Memalukan bila tidak. Belajar pada saya urusan menghadiri pernikahan mantan sih.”

Saya dengar, Kang Mukti memang kemudian hadir pada acara pernikahan tersebut. Bagaimana tidak, Dede Haris bagaimana pun adalah juga teman baiknya.

Biasanya, setiap kali bertemu di Tanggulan, apalagi bila teman-teman Barzakh yang lain, seperti Solahuddin dan teman-teman Salman ada, Kang Mukti selalu meminta saya menyanyi. Dia akan mengiringi dengan petikan gitarnya. Kadang tak kenal waktu, hingga larut malam, bahkan sampai tak ada lagi yang lain di rumah Tanggulan itu kecuali kami.

Teman-teman lain umumnya mahasiswa ‘baik-baik’ dan punya kamar kost sendiri. Sementara saya, kalau pun dianggap punya kost, itu hanya sebuah kamar di Masjid UNPAD yang tak bisa sepenuhnya dianggap hak pribadi. Alhasil, saya terbiasa tidur di mana pun. Di Sekretariat HMI di Jalan Sabang, di markas GSSTF kalau ada orang lain yang juga tidur di sana, tak jarang di kamar kost teman-teman lain.

Dari lagu-lagu Kang Mukti yang tak banyak saya hafal, paling kerap saya menyanyikan “Balada Godot” dan “Pojok Kanayakan”. Memang kadang pula “Kembang Padang Ilalang” dan “Barangkali, Inilah Cinta”, meski tak begiru kerap. Menurut saya, selain “Surat Kepada D” yang datang lebih kemudian, kedua lagu itu paling menyentuh. Mungkin karena saat itu saya tengah pada puncak-puncaknya dibius romantisme.

Apalagi setelah belakangan saya tahu raison d’etre “Balada Godot”. Bagi saya saat itu, getir sekali cinta tulus yang terpisahkan proyeksi dan ambisi orang tua. Apalagi manakala cinta kasih itu telah membuahkan generasi baru yang innocent dan tak tahu apa-apa.

“Andai masih ada hati

Kumencari sayang

Andai tak ada hati, ku duduk sendiri

Salam ‘tuk tangis kecil yang lelap di sampingmu

Ciumlah sepuas hati, ceritakan aku…”

Di luar ciptaannya sendiri, “Menjaring Matahari” dari Ebiet G Ade merupakan lagu yang sering diminta Kang Mukti untuk kami nyanyikan. Pernah, suatu malam, kami nyanyikan lebih dari sekali. Saya tak tahu pasti, mengapa lagu itu. Sementara untuk bertanya, juga tak enak. Saya yakin, banyak hal yang tak pernah bisa kita jelaskan kepada orang lain, mengapa kita memilih A, bukan C, misalnya. Dan manakala kita mencoba membuatnya menjadi rasional pun, akan terasa hambar, bahkan aneh.

Mungkin itu yang membuat saya lebih memilih menyanyikannya lagi dan lagi malam itu, dibanding nyinyir bertanya. Toh, saya pun menikmatinya, dan seiring tatapan kosong Kang Mukti menerawang keluar jendela, menembus udara Tanggulan yang saat itu masih berkabut saat dini hari, saya melihat ada keseriusan yang ganjil yang ia nikmati.

Namun, masih di Tanggulan, hanya beberapa bulan kemudian saya melihat Kang Mukti seperti penuh diliputi keriangan yang khas, lebih seperti anak baru gede yang baru saja menemukan cinta. Saya yakin, ia telah menemukan pilihan lain di hatinya.

“Saha, Kang? Siapa?” saya langsung saja bertanya.

“Moal dibeja-beja. Nggak akan saya beritahu.”

“Ah, wilayah terbang Akang terbatas. Saya akan segera tahu juga.”

“Jig teangan. Silakan cari,” katanya, lalu ia tertawa, seolah senang dengan kepenasaran saya. Padahal, saya nggak penasaran amat. Toh, nanti juga ia akan curhat sendiri pada saatnya.

Dan benar saja, hanya berselang hari, ia meminta saya mendengarkan lagu barunya, manakala saya kembali ke Tanggulan. Malam. Saya tiba pun sudah sekitar pukul 9 malam.

“Tulis, nanti saya kasih tahu judulnya.” Saya mengeluarkan pulpen dan buku tulis, dua alat yang selalu saya pastikan ada di tas, selain satu dua baju dan celana dalam.

“Aku tengah membangun sebuah rumah

kau dan aku. dengan beranda terbuka

dan sungai kecil jernih

mengalir sepanjang musim. sepanjang petakan kebun

kau dan aku.

di beranda itu, teman-teman..

hari-hari rebah..

matahari, pagi petang..

menuangkan cahayanya..

menuangkan cahayanya..

aku tengah membangun sebuah rumah

kau dan aku. jauh dari keluasan kota

seperti rindumu. di atas waktu yang senantiasa

kita reguk..”

Kang Mukti beberapa kali menyanyikan lagu itu, hingga lama-lama saya bisa mengingat nada-nadanya. Akhirnya, saya pun hafal lagunya, meski liriknya masih harus membaca catatan tadi.

Saya langsung jatuh cinta pada lagu itu. Pada romantisme yang tertulis dengan kuat. Pada optimisme dan kesederhanaan yang mencoba ditampilkan apa adanya.

“Naon judulna?”

“Surat Kepada D,” jawab Kang Mukti, dengan senyam-senyumnya yang khas. “Nyaho pasti maneh, saha D? Kau tahu pasti kan, siapa D?”

“Ya tahulah. Siapa lagi anak Barzakh yang namanya dimulai dengan ‘D’,” kata saya, sok tahu. Padahal tak terbayang siapa pun, karena buruknya saya menghafal nama-nama.

“Pinter maneh. Paslah asup ka Ekonomi. Tong beja-beja nya. Jangan bilang-bilang ya.” Saya hanya tersenyum.

Malam telah larut manakala kami kembali menyanyikan lagu itu, mungkin untuk lima-enam kali. Sampai akhirnya saya sadar, baik saya maupun Kang Mukti sudah terdiam. Saya ikut terdiam karena kemudian suara saya tak lagi diiringi denting gitar yang dipetiknya. Saya lihat Kang Mukti terkulai di tempatnya, tidur.

Saya sendiri entah mengapa, perlu beberapa jam lagi untuk tidur malam itu. Sulit, tak jelas sebabnya. Mungkinkah karena kepala saya masih mencoba meraba-raba dan menghayati syair lagu baru itu? Saat keluar rumah, udara saya rasa pengap. Kabut mulai turun, seperti biasanya di Tanggulan masa itu, menghalangi pandangan mata. Saat tengadah, separuh bulan bersembunyi di balik kumpulan awan tebal. Di bawah di arah bendungan, terdengar suara turbin kecil menyala. Jelas terdengar, karena malam itu tak ada bunyi serangga malam sedikit pun. Saya kembali masuk rumah, mencoba tidur di dekat Kang Mukti tergeletak nyenyak.

Baru ketika Kang Mukti menikahi Dian, saya pun teringat kembali kepada lagu itu. “Surat Kepada D”, kepada Dian Widiastuti, wanita yang dicintainya sampai ajal memisahkan mereka, 15 Agustus 2022 lalu.

mukti mukti
Dua sahabat, Budi Godot dan Mukti Mukti (dok: DSY)

Dari laman Facebook, beberapa hari sepeninggal Kang Mukti, saya melihat Kang Budi Godot menuliskan catatan, khas seorang penyair. Kang Godot adalah penyair cum-aktivis, yang pada 1990-an dulu mengawal tak hanya urusan Monitor-nya Arswendo, menentang isyu manakala para ibu berjilbab disebut sebagai penyebar racun, juga perjuangan melegalkan pemakaian jilbab dan penghapusan judi massal SDSB.

Bagi saya, catatan berupa puisi (atau mungkin prosa liris) itu mengingatkan saya akan syair “Balada Godot”. Syair yang ditulis almarhum, untuk Kang Godot, sahabatnya. Kali ini, giliran Kang Godot yang menjawab. Dengan kata-kata sederhana, namun pekat dengan rasa kehilangan.

Catatan Senja Terakhir

Kepada MM

Kita berdua bertukar cerita tanpa kata dalam hening menatap senja yang rekah. Langit biru lazuardi. Bunga-bunga kemboja berguguran. Mengambang menghiasi kolam. Seperti kenangan demi kenangan bertaburan harum semerbaknya di sepanjang perjalanan.

Kita berdua bertukar cerita tanpa kata dalam hening menatap senja yang perlahan semakin luruh.

: Pileuleuyan, Den… “

Saya, junior mereka berdua, menyaksikan sebagian perjalanan keduanya dengan takjub, meski juga dengan ketakutan akan kehilangan. Perlahan, terbayang di mata apa yang sempat saya tuliskan malam itu, dan menyanyikannya sama-sama. “Surat Kepada D”. Ada tafsir baru yang dating begitu mendengar Kang Mukti meninggal.

Seperti kau bilang, Kang Mukti. “Aku tengah membangun sebuah rumah. Kau dan aku.” Ya, Akang tengah membangun, dan terus membangun sebuah rumah. Berkali kau katakan itu dalam nyanyian, dan di berbagai kesempatan. Dari tahun ke tahun.

Kini saya sadari, rumah yang selalu kau bangun itu bukanlah rumah persingggahan di dunia yang sekejap lintas ini. Yang kau bangun, Kang, adalah sebuah rumah untuk tempat istirah yang kekal. Di surga. Yang kau bangun itu, di sepanjang tahun-tahun awal aktivisme hidupmu hingga berakhirnya hayat di dunia, adalah membangun amal. Sebab sejak dulu pun kau tahu, itu yang paling pasti, selain mati.

Darmawan Sepriyossa

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button