News

Mudarat Gas Air Mata Polisi Disorot Dunia, TGIPF Didesak Transparan Usut Tuntas Tragedi Kanjuruhan

Polisi menembakkan gas air mata untuk menghalau suporter yang masuk ke lapangan usai pertandingan BRI Liga 1 Arema vs Persebaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur, Sabtu malam, (1/10/2022) (Foto: Antara)

Gas air mata yang dilepaskan Polisi menjadi sumber petaka pada laga Arema FC versus Persebaya Surabaya, Sabtu (1/10/2022) malam, di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur. Penggunaannya untuk membubarkan suporter Arema yang ricuh di akhir pertandingan mengakibatkan ratusan orang sesak napas sehingga menyebabkan setidaknya 131 meninggal. Hal tersebut menjadi sorotan media Asing seperti Washington Post dan New York Times.

Sejumlah perempuan, anak-anak, siswa SMP, SMA dan SMK di Kota Malang turut menjadi korban dalam tragedi kerusuhan tersebut. Pemakaian gas air mata oleh kepolisian dalam pertandingan tersebut dituding sebagai pemicu jatuhnya banyak korban.

Padahal, FIFA sebagai induk sepak bola dunia melarang penggunaan gas air mata di dalam stadion. Berdasarkan pedoman ‘FIFA Stadium Safety and Security Regulation’ Pasal 19 poin B, disebutkan tidak boleh sama sekali penggunaan senjata api dan gas air mata untuk pengendalian massa.

Washington misalnya melalui headline “How police action in Indonesia led to a deadly crush in the soccer stadium” atau “Bagaimana tindakan polisi di Indonesia menyebabkan peristiwa mematikan di stadion sepak bola”.

Tinjauan investigasi yang menyimpulkan Polisi sebagai aktor utama terjadinya ratusan kematian tersebut berdasarkan pemeriksaan lebih dari 100 video dan foto, wawancara dengan 11 saksi dan analisis oleh pakar pengendalian massa dan pembela hak-hak sipil.

Menanggapi ulasan media asing tersebut, Analis kebijakan publik pada Institute for Development of Policy and Local Partnership (IDP-LP) Riko Noviantoro menyatakan siapa saja berhak punya asumsi dan kesimpulan atas perkara yg terjadi.

“Penyidikan perkara yang tentu transparan dan profesional menjadi kunci ungkap perkara secara tepat, ” ujar Riko kepada inilah.com, Kamis (6/10/2022).

Riko turut mendesak Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF), Tragedi Kanjuruhan agar transparan dan profesional serta cepat menindak kasus mematikan ke-2 di dunia sepak bola tersebut. Tim ini beranggotakan menteri, jurnalis, hingga mantan pemain timnas sepak bola Indonesia.

“Segera menindak pihak manapun yang terbukti dari hasil penyidikan perkara,” katanya.

Menurut Riko, kasus di Kanjuruhan menjadi pelajaran berharga bagaimana dimensi sosial suporter seharusnya menjadi pertimbangan di dalam melakukan pola penanganan suporter. Panitia pelaksana dan PSSI sudah saatnya tidak hanya sekedar mengejar keuntungan komersial dengan melupakan aspek-aspek sosial.

“Tim gabungan pencari fakta tidak hanya fokus pada kasus nya saja. Juga mampu melihat kronologi dan kesiapan panitia sekaligus melihat kondisi keluarga yg menjadi korban,” katanya.

“Dengan demikian tragedi stadion Kanjuruhan jadi pembelajaran bagi pihak manapun,” pungkasnya.

 

Ibnu Naufal

 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button