News

Miris, Warga Rohingya Terdampak Badai Tak Dapat Bantuan Karena Kewarganegaraan

Warga Rohingya yang tinggal di negara bagian Rakhine di Myanmar bagian barat, tak bisa mencapai akses bantuan kemanusiaan dan tempat yang aman setelah badai Siklon Mocha menerjang wilayah itu dua pekan lalu. Alasannya, kewarganegaraan mereka sudah dicabut pada 1982.

Hal tersebut dikatakan oleh aktivis hak asasi manusia (HAM) Nay San Lwin dalam wawancaranya dengan kantor berita Anadolu Agency, Kamis (1/6/2023).

Lwin, yang juga merupakan pendiri Koalisi Pembebasan Rohingya mengatakan bahwa sekitar 130 ribu pengungsi terdampak bencana yang terjadi di Myanmar itu. Tak hanya itu, sejumlah warga Rohingya juga dinyatakan hilang akibat bencana tersebut.

PBB menyebut Rohingya sebagai ‘minoritas paling teraniaya di dunia’ setelah badai itu merenggut 400 orang tewas dan menciptakan kerusakan besar.

“Tanpa kewarganegaraan Myanmar, mereka mirip pasien yang lumpuh. Warga Rohingya di Myanmar tidak akan pernah mendapatkan kesempatan yang sama dengan suku-suku lain di Myanmar karena tidak memiliki kewarganegaraan,” kata Lwin.

Dia menambahkan, militer berusaha menyingkirkan warga Rohingya, sampai lebih dari satu juta warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh.

“Junta tidak berniat mengembalikan baik kewarganegaraan Rohingya maupun melindungi hak mendasar manusia,” tambah Lwin.

Menurut dia, warga Rohingya menunggu bantuan kemanusiaan, tapi tak tahu pasti kapan bantuan sampai kepada mereka.

Sembari menuding junta sengaja membiarkan korban jiwa saat terjadi bencana itu, Lwin menegaskan jika seandainya junta membolehkan evakuasi warga Rohingya sehari sebelum badai, maka jumlah korban tewas akan sedikit.

Junta Myanmar baru memerintahkan warga Rohinya meninggalkan kamp mereka beberapa jam sebelum badai itu menerjang dan itu pun tanpa menyediakan alat transportasi atau tempat yang aman, kata dia.

“90 persen kamp pengungsi hancur. Ratusan warga Rohingya tewas, dan banyak yang hilang. Tantangannya besar sekali. Mereka sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan, namun junta tidak memberikan akses kepada organisasi internasional untuk mencapai wilayah-wilayah terdampak,” kata Lwin.

Dia menegaskan semua warga Rohingya yang tinggal di ibukota Rakhine, Sittwe, terdampak badai. Mereka sudah terkurung di kamp sejak 2012.

“Kamp-kamp itu mirip kamp konsentrasi. Warga Rohingya tidak diizinkan keluar dari kamp,” kata dia. Padahal, mereka sudah mendiami kamp-kamp tersebut selama 11 tahun.

“Junta tak mau menunjukkan simpati. Rohingya tak akan diizinkan kembali ke tempat asal mereka yang dipaksa ditinggalkan pada 2012,” tambah dia.

Lwin pun mendesak masyarakat internasional untuk bertindak.

Pada 2017, ratusan ribu warga Rohingya meninggalkan Myanmar menghindari tindakan brutal militer Myanmar terhadap minoritas Muslim di bagian utara negara itu.

Sudah 1,2 juta warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh untuk mendiami kamp pengungsi terbesar di dunia di Cox Bazaar.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button