Market

Mimpi BSI Jadi Bank Papan Atas, Layanan Transaksinya Sering Gangguan

Terkait jebloknya layanan Bank Syariah Indonesia (BSI), Rektor ITB Ahmad Dahlan, Jakarta, Mukhaer Pakkanna meminta manajemen BSI, minta maaf. Atas kasus ini, jangan mimpi BSI menjadi bank papan atas di masa depan.

Dalam surat terbuka yang diterima Inilah.com, Kamis (11/5/2023), Mukhaer menuliskan, nasabah dibuat panik atas gagal transaksi di BSI, sejak Senin pagi (8/5/2023). Begitu mudahnya transaksi online BSI sebagai bank syariah terbesar di Indonesia, tidak terkoneksi ke seluruh nasabah.

“Nasabah pun panik dan resah, terutama nasabah yang memang hanya mengandalkan rekening satu-satunya di BSI, bukan bank lain. Mereka tidak bisa bertransaksi, padahal gaji, upah, honor, dan transaksi lainnya tidak bisa diproses alias mentok,” ungkap Mukhaer.

Kata Mukhaer, nasabah BSI kebanyakan kaum rendahan. Mulai dari nasabah ultramikro, mikro, dan kecil yang penghasilannya tergolong rendah. “Padahal mereka memiliki anak, saudara, dan keluarga yang butuh pembayaran. Berapa kerugian mereka? Berapa dampak sosial dan psikologis mereka akibat tidak bisa bertransaksi? Sampai kapan mereka hilang kesabarannya,” ungkapnya.

Hingga Kamis pagi (11/5/2023), Mukhaer sangat menyayangkan, belum ada permintaan maaf secara terbuka dan transparan dari manajemen BSI. Bahkan, pihak pemerintah sebagai inisiator pendirian BSI bisanya hanya diam seribu bahasa.

Dia juga menyesalkan petinggi Kementerian BUMN, selaku operator merger 3 bank syariah menjadi BSI. Bisanya hanya ‘mengambinghitamkan’ para hacker , atau pelaku serangan siber. Padahal, dampak dari down-nya sistem transaksi cukup merugikan nasabah. “Manajemen BSI hanya ngomong akan diselesaikan bertahap,” tandasnya.

“Padahal mereka digaji tinggi, honor besar dengan berbagai fasilitas yang diterima dari nasabah-nasabah kecil dan miskin. Kalau mereka tidak memiliki rasa malu, pasti akan terus menerus mencari ‘kambing hitam’ dan tidak mau tanggungjawab, serta tidak akan mau mengalkulasi berapa besar kerugian finansial, sosial, dan psikologis nasabah,” imbuhnya.

Pasal 4 UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, lanjut Mukhaer, menjelaskan hak nasabah (konsumen) harus dilindungi. Begitu pula peraturan turunannya, di mana pelaku usaha, termasuk manajemen bank, harus melindungi dan bertanggungjawab terhadap nasib konsumen yang dirugikan.

Lebih teknis, aturan Otoritas Jasa Keuangan dalam POJK No. 6/POJK.07/2022 eksplisit menjelaskan, perlindungan konsumen dan masyarakat di sektor jasa keuangan. Begitu juga dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 22/20/PBI/2020 tentang Perlindungan Konsumen Bank Indonesia.

“Saya sebagai pimpinan di salah satu Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) yang memiliki ratusan dosen, karyawan, dan staf serta mitra yang bertransaksi loyal sebagai nasabah BSI yang terhormat, hampir tiap saat, mereka minta pejelasan ke saya tentang masalah dan keberadaan BSI ini. Demikian juga, AUM-AUM yang lain dan lembaga-lembaga keagamaan yang lain atau dunia usaha dan industri yang lain yang menjadi nasabah. Tentu sebagai nasabah, pasti mereka resah. Keluarga mereka resah, karena tidak bisa bertransaksi. Maka saya harus menyuarakan ini ke pada pemerintah, terutama ke Menteri BUMN, dan petinggi BSI serta pihak terkait dengan BSI,” bebernya.

Sebagai nasabah loyal, Mukhaer sebelumnya merasa bangga dengan BSI. Karena punya mimpi besar, menjadi Bank Islam terbesar ke-10 di dunia. dan, masuk 5 bank terbesar di Indonesia. Impian ini sejalan dengan modal aset BSI yang terus menumpuk hingga Rp277 triliun. Dengan ekuitas sebesar Rp26 triliun.

Namun kini, semuanya sirna karena terganggunya layanan perbankan dari BSI. Bak pepatah gara-gara nila setitik, rusak susu sebelanga. “Dengan kejadian ini, kami mulai ragu terhadap kapasitas manajemen BSI. Sebagai bagian komponen ummat, masalah ini harus segera dituntaskan, secepatnya. Karena bagian dari ihtiar dan jihad kita semua,” pungkasnya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button