Kanal

Metaverse Buat Ibadah, Ini Penjelasan UAH Soal Dasar Hukumnya

Perbincangan mengenai metaverse menjadi tren saat ini, banyak perusahaan teknologi hingga Presiden Jokowi kepincut membahas teknologi realitas digital tersebut. Penceramah Kondang Ustadz Adi Hidayat (UAH) kini ikut menyoroti dunia masa depan tersebut dari sudut pandang Islam.

Menurut UAH, metaverse adalah semua yang diimajinasikan menjadi kreasi tertentu.

“Jadi secara sederhana metaverse itu adalah virtualisasi kehidupan yang bersumber dari pancaran imajinatif yang di-support oleh data-data yang real” jelas UAH mengutip dari tayangan akun Youtube Adi Hidayat Official berjudul ‘Muslim dan Metaverse’, Kamis (13/01).

Karena itu, UAH menyebut jika kita sebagai pengguna metaverse, dan menggunakanya dengan kebaikan disertai keridhoan Allah SWT maka disitu masih diperbolehkan. Ustadz kelahiran Pandeglang, Banten itu  juga menekankan jika kita menggunakan Metaverse berlebihan dan melupakan dunia nyata, bahkan membawa dunia nyata kita kedalam Metaverse. Hal itu sebaiknya jangan dilakukan.

“Jangan sampai hal negatif yang mesti kita jauhi melupakan aspek virtual di dunia nyata dilupakan seperti mengaji dan Sholat malah berfantasi ria (metaverse),” tegas UAH.

Lalu bagaimana hukum Islam memandang metaverse? UAH mengatakan jika dunia imersif nan mengasyikkan seperti metaverse memang berpotensi menimbulkan adiksi — dan bisa saja melalaikan seseorang dalam urusan beribadah.

Seperti yang kita tahu, saat ini ada banyak “pengalih” yang cenderung bisa melalaikan manusia dalam beribadah — yang artinya malah melakukan hal yang sia-sia. Sebut saja, seperti televisi, komputer, game, media sosial, dan lain sebagainya.

Tidak hanya metaverse, hal-hal duniawi lainnya yang membuat adiksi dan melalaikan kita dalam beribadah, tentu dilarang dalam agama Islam.

“Segala yang bersumber dari setan pasti salah, jadi mengayalkan sesuatu mengijaminasikan sesuatu yang tidak melahirkan manfaat pun itu sudah salah, apalagi menghadirkan yang dosa sekalian,” jelas UAH.

Dalam internet konvensional, teknologi Metaverse hanya bisa bertemu pengguna lain dengan menggunakan nama akun, foto, atau video 2D. Untuk memasuki metaverse, kita harus menggunakan kacamata khusus, kacamata VR (virtual reality). Misalnya, seseorang bisa memasuki pameran dan konferensi ilmiah yang diselenggarakan dalam bentuk metaverse. Setelah mendaftar, dia bisa datang dan memasuki ruang pameran dengan kacamata VR yang dia miliki.

Untuk itu Ustadz lulusan Internasional Islamic Call College Triopoli Libya ini memberikan suatu kesan positif jika perangkat metaverse bisa diterapkan untuk praktik-praktik yang sifatnya mendidik seperti Manasik haji.

” Jadi misal nanti kita dihadirkan lingkungan yang seperti data-data real dan kita bisa sama-sama belajar tentang manasik yang masukkan ke dunia digital support data-data tentang seputaran kondisi di Mekah, Padang Arafah dan seterusnya di Virtualkan tapi datanya kan real maka kita bisa menjelaskan sistem masuk yang informatif,” kata UAH.

Yang terpenting menurut UAH, Islam mengatur untuk ini agar membawa kebaikan kepada seluruh ummat. Bukan sebaliknya teknologi yang dibuat berdampak menjauhkan umat Islam dari Allah dan Islam itu sendiri.

“Fokus utama kita pada yang real (nyata) saja kembalikan pada kurikulum dalam kehidupan yang nyata apa yang kita kerjakan dari bangun tidur sampai tidur lagi. Kemudian ada perangkat (Metaverse) yang kiranya bisa mendukung kegiatan real kita dengan menggunakan metaverse tapi jangan sampai dunia kita yang dibawa ke dunia lain,” Imbuh UAH.

Ibnu Naufal

Menulis untuk masa depan untuk aku, kamu dan kita.
Back to top button