News

Merasa Dituduh Anak Buah Lakukan Pemerasan, SYL Ngaku Kerja untuk Negara


Eks Mentan Syahrul Yasin Limpo (SYL) merasa dituduh oleh bawahannya terkait ditudingkan melakukan dugaan kasus korupsi berupa pemerasaan dan penerimaan gratifikasi dari pejabat Kementrian Pertanian (Kementan).

SYL mengklaim selama menjabat Menteri telah bekerja atas kepentingan negara dan kebutuhan 287 juta jiwa rakyat Indonesia.

Hal ini dirinya sampaikan saat bertanya ke ahli hukum pidana dari Universitas Pancasila, Prof Agus Surono dalam persidangan di PN Tipikor Jakarta, Rabu (12/6/2024). Agus dihadirkan sebagai ahli meringankan oleh SYL dalam persidangan tersebut.

“Ini kan ada UU No 2 yang membenarkan Perpu No 1 Tahun 2020 tentang Kedaruratan yang menjadi pendekatan. Maafkan saya Pak JPU (Jaksa KPK). Saya harus jelaskan ini, saya siap dihukum, cuman memang saya berharap ini harus dilihat dalam konteks kepentingan nasional. Bapak adili saya dalam Indonesia yang lagi normal, sementara pendekatan yang saya lakukan pada saat saya menjadi menteri adalah kepentingan negara, kepentingan rakyat yang 287 (juta) yang terancam dan semua bisa selesai,” kata SYL dalam ruang sidang.

SYL heran para pegawai Kementan itu tidak melaporkan permasalahan tersebut awalnya kepada lembaga pengaduan pemerintah seperti Komisi ASN, Komisi PTUN hingga Komisi Ombudsman.

Ia pun mempertanyakan anak buahnya itu tidak mengkonfirmasi langsung kepada dirinya terkait permintaan uang yang menjual nama dirinya.

“Maafkan saya, oleh karena itu katakanlah kalau ada yang mengatakan dipaksa, kalau bawahan tidak mau melakukan dia harus diganti kan ada Komisi ASN, ada Komisi PTUN, ada Komisi Ombudsman yang bisa tempatnya untuk seseorang lari untuk melakukan bahwa saya tidak mau dengan itu. Atau minimal, maaf ini kalau agak masuk, minimal dia konsultasi atau kembali bertanya sama saya, kalau dia tidak menanyakan, katakan kalau dia, dia yang dikatakan karena seragam ini jawaban, maaf ini,” tuturnya.

Ia melihat hingga dirinya diproses hukum dengan dugaan melakukan tindak pidana korupsi berupa pemerasaan dirinya merasa difitnah oleh pegawainya. Eks Mentan itu menegaskan sekali terkait permintaan uang tersebut ‘atas nama kemauan menteri’ itu didengar oleh pegawainya dari orang lain bukan dari dirinya langsung.

“Seakan-akan tinggal menuduh ini pimpinan, ini kemauan menteri, kenapa nggak konsultasi sama saya? dan selalu saja ada katanya katanya, tidak pernah langsung dengar sama saya,” tegasnya.

SYL menanyakan ke ahli terkait pendekatan hukum pidana dengan kondisi tersebut. Dia bertanya pertanggungjawaban hukum dengan kondisi itu dibebankan ke pimpinan atau bawahan.

“Pada pendekatan pidana itu termasuk delik pidana atau itu sesuatu yang harus dikaji lebih jauh? apakah ini masuk pada pendekatan yang pertanggung jawaban pidana ke saya, kepada pimpinan, ataukah ini sesuatu yang katakanlah tadi harus mendapatkan pendekatan hukum yang berbeda? Itu yang saya mau tahu,” tanya SYL.

Prof Agus kemudian memberikan penjelasan. Prof Agus mengatakan parameter pertanggungjawaban itu berpatokan pada itikad baik pada perintah yang diberikan yakni kode etik dan Peraturan Perundang-undangan.

“Mohon izin Yang Mulia, tadi intinya yang ingin saya tegaskan dan saya sampaikan kembali bahwa terkait dengan pertanggungjawaban pimpinan ataukan bawahan bapak, itu tadi saya sudah sampaikan patokannya adalah ketika ada perintah dari pimpinan dan bawahan sudah melaksanakan perintah dengan itikad baik maka ini sudah bergeser,” kata Prof Agus.

Maka itu, pandang Agus, tanggung jawab perbuatan bawahan tak bisa digeser pada atasannya. Apalagi perbuatannya di luar perintah.

“Tentu bawahan tidak bisa dimintai pertanggung jawaban. Sebaliknya kalau ternyata perintah yang disampaikan oleh pimpinan itu A misalkan, tapi ternyata bawahan tidak melaksanakan perintah yang disampaikan oleh pimpinan A itu menjadi B misalkan dan tidak sesuai dengan itikad baik tadi maka bergeser pertanggung jawabannya menjadi pertanggung jawaban bawahan,” jelasnya.

Dalam dakwaan JPU KPK, SYL memerintahkan Kasdi dan Hatta untuk melakukan pengumpulan uang secara paksa dari para pejabat eselon I dan jajarannya di Kementan. Dalam rentang waktu 2020 hingga 2023, mereka dapat mengumpulkan uang upeti sebesar Rp 44,5 miliar.

“Terdakwa juga menyampaikan adanya jatah 20 persen dari anggaran di masing-masing Sekretariat, Direktorat, dan Badan pada Kementan RI yang harus diberikan kepada terdakwa,” ucap JPU KPK.

Apabila para pejabat eselon I tidak dapat memenuhi permintaan SYL tersebut, JPU mengatakan bahwa SYL akan menyampaikan kepada jajaran dibawahnya bahwa jabatan mereka dalam bahaya, dapat dipindahtugaskan, atau diberhentikan.

Selain itu, jika ada pejabat yang tidak sejalan dengan hal yang disampaikan SYL tersebut, terdakwa meminta pejabat itu agar mengundurkan diri dari jabatannya.

Jaksa merincikan penerimaan uang saweran SYL Cs dari masing-masing instansi di Kementan dalam rentang waktu tahun 2020 hingga 2023 yakni Setjen Kementan Rp4,4 miliar, Ditjen Prasarana dan Sarana Rp5,3 miliar, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Rp1,7 miliar, dan Ditjen Perkebunan Rp3,8 miliar, Ditjen Hortikultura Rp6,07 miliar.

Selain itu, Ditjen Tanaman Pangan Rp6,5 miliar, Balitbangtan/ BSIP Rp2,5 miliar, Rp282 juta, Badan Karantina Pertanian Rp6,7 miliar, dan Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian (BPPSDMP) Kementan Rp6,8 miliar.

Uang tersebut digunakan untuk keperluan pribadi dan keluarga SYL. Adapun rinciannya untuk kebutuhan pribadi SYL sebesar Rp3,3 miliar, untuk keluarganya Rp 992 juta dan istrinya, Ayu Sri Harahap Rp 938 juta.

Selain itu, untuk partai Nasdem Rp 40 juta, kado undangan Rp381 juta, kebutuhan lain-lain Rp 974 juta, acara keagamaan, operasional menteri dan pengeluaran lain yang tidak termasuk dalam kategori yang ada Rp16,6 miliar, dan charter pesawat Rp3,03 miliar. Serta, bantuan bencana alam/ sembako Rp3,5 miliar, keperluan ke luar negeri Rp6,9 miliar, umroh Rp1,8 miliar dan hewan kurban Rp 57 juta.
 

Back to top button