Market

Menunggu Jurus Pamungkas Mendag Lutfi ‘Jinakkan’ Harga Kedelai

Lapak pedagang tahu dan tempe di pasar se-Indonesia tutup tiga hari. Lantaran tak ada produksi tahu atau tempe karena harga bahan bakunya, kedelai begitu ‘liar’ mahalnya.

Ya, betul. Terhitung sejak Senin (21/2/2022), perajin tahu dan tempe melakukan mogok tiga hari. Karena itu tadi, harga kedelai yang ugal-ugalan naiknya. Terkini, harga kedelai impor mencapai Rp12.000 per kilogram (kg). Jauh di atas normal di rentang Rp9.500-Rp10.000 per kg.

Kenaikan harga tersebut sudah diperingatkan Kementerian Perdagangan sejak awal Februari 2022. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Oke Nurwan menyebut, kenaikan harga kedelai impor terjadi karena melonjaknya harga kedelai internasional.

Dalam sebuah konferensi pers, Oke menyampaikan bahwa penyebab lainnya yakni inflasi di negara pengimpor kedelai ke Indonesia, yakni Amerika Serikat, mencapai 7 persen yang berdampak pada kenaikan harga daripada input produk kedelai.

Dalam hal ini, diperkirakan harganya akan terus mengalami kenaikan hingga Mei 2022 yang bisa mencapai 15,79 dolar AS per bushel. Selanjutnya, akan terjadi penurunan pada Juli 2022 ke angka 15,74 dolar AS per bushel di tingkat importir.

Untuk itu, Oke mengatakan bahwa kenaikan harga kedelai dunia itu akan berdampak pada kenaikan harga kedelai di tingkat perajin tahu dan tempe di dalam negeri.

Seminggu setelah konferensi pers tersebut, tahu dan tempe masih dapat ditemui di pasar-pasar tradisional dengan harga normal. Namun, sebelum terjadi kenaikan harga di pasaran, kedua makanan kegemaran rakyat Indonesia itu sudah tak dapat ditemui di pasaran.

Meskipun menjadi makanan rakyat, namun sekitar 86,4 persen kebutuhan kedelai berasal dari impor. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, produksi kedelai Indonesia pada 2021 hanya 200 ribu ton. Sementara permintaan kedelai untuk memproduksi tahu tempe sekitar 1 juta ton per tahun. Hingga 2020, BPS mencatat impor kedelai sebesar 2,48 juta ton dengan nilai mencapai 1 miliar dolar AS.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah dikutip dari Antara, menyampaikan, Indonesia masih bergantung pada impor kedelai karena produksi di dalam negeri belum mencukupi.

Selain itu, lidah rakyat Indonesia yang terbiasa mengonsumsi tempe dan tahu dari kedelai impor membuat sulit beradaptasi dengan bahan baku dari kedelai lokal.

 

 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Iwan Purwantono

Mati dengan kenangan, bukan mimpi
Back to top button