Kanal

Menteri Johnny G. Plate, Tebang Pilih dan Kemunduran Penegakan Hukum Kita

Mungkin kepedulian Jokowi tergolong telat, tapi tentu bukan tak bermanfaat. Setidaknya, Presiden sudah mengingatkan. Apalagi, bayang-bayang kemuraman legacy dalam soal penegakan hukum kian membayang-bayangi kemunduran konstitusional beliau seiring habisnya masa jabatan di 2024. Dengan hanya satu tahun ke depan yang tersisa, kepedulian yang kuat disertai tekanan kepada jajaran institusi penegakan hukumnya menjadi keniscayaan yang mesti dilakukan.

Oleh   :  Darmawan Sepriyossa

Di negara tempat hukum terkesan dijalankan dengan gaya tebang pilih, penegakan hukum kepada pihak yang diduga bersalah senantiasa memunculkan rumor dan sas-sus. Maka ketika penyelidikan terhadap Menteri Kominfo, Johnny G. Plate, dalam kasus korupsi Base Transceiver Station (BTS) Kominfo disebut-sebut akan segera dilakukan, dan berita itu tersebar bersama info aksesorisnya yakni karena partai sang menteri seolah tak lagi mendukung penguasa, ketakutan menyergap saya. Apakah negeri ini juga termasuk negara yang melakukan tebang pilih dalam menjalankan law enforcement?

Kita berharap tidak. Namun kekuatiran bahwa negara ini pun tergolong negara lembek (soft state) dalam penegakan hukum, khususnya kasus BTS Kominfo tersebut, bukan tanpa kausa. Pertama karena tengara urgennya pemeriksaan terhadap Menteri Johnny sudah cukup terang sejak awal Januari lalu. Segera setelah adanya penetapan tersangka kasus itu, publik mulai ramai mempertanyakan mengapa penyelidikan belum juga mencapai para dirjen, yang tentu memiliki tanggung jawab langsung?

Saat itu bahkan berbagai informasi terkait Menteri Johnny beredar. Sehari setelah penetapan tersangka, Menteri Johnny disebut-sebut mengundurkan diri. Kabar lain mengatakan Sang Menteri sudah dikirimi surat panggilan, bahkan rumahnya digeledah. Seluruh informasi itu kemudian dibantah.

Pertanyaan publik kemudian jadi tuntutan, saat Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, menyatakan pemanggilan Johnny G Plate untuk menjalani pemeriksaan harus dilakukan. Semua itu demi membuat kasus jadi terang benderang. Alasan dia, menteri asal Partai Nasdem itu memiliki fungsi pengawasan dalam setiap program yang dijalankan. Baru sebulan kemudian–dua pekan lalu– seorang dirjen Kementerian Informasi dan Komunikasi diperiksa. Saat itu pun suara-suara yang menuntut Menteri Johnny diperiksa kembali bergaung. Jika kemudian baru hari ini Menteri Johnny diperiksa, tidakkah lamanya waktu itu membuat publik wajar menghubungkan fakta itu dengan terma ‘’tebang pilih” dalam dunia hukum kita?

Yang kedua, pernyataan Presiden Jokowi sendiri baru-baru ini membuat khalayak patut-patut saja manakala berpikir “tebang pilih” itu memang terjadi.  Dalam sebuah pernyataan resmi yang dinyatakan melalui sebuah konferensi pers yang sengaja digelar di Istana Negara, Selasa (7/2) lalu, Jokowi mewanti-wanti agar aparat hukum bekerja sebagaimana harusnya. “Saya ingatkan kembali kepada jajaran aparat penegak hukum untuk menegakkan hukum yang seadil-adilnya tanpa pandang bulu dan tidak tebang pilih,”ujar Jokowi, dua hari lalu.

Mungkin kepedulian Jokowi tergolong telat, tapi tentu bukan tak bermanfaat. Setidaknya, Presiden sudah mengingatkan. Apalagi, bayang-bayang kemuraman legacy dalam soal penegakan hukum kian membayang-bayangi kemunduran konstitusional beliau seiring habisnya masa jabatan di 2024. Dengan hanya satu tahun ke depan yang tersisa, kepedulian yang kuat disertai tekanan kepada jajaran institusi penegakan hukumnya menjadi kemestian untuk dilakukan.

Bayangkan kegundahan beliau di saat Corruption Perception Index atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) negara kita tahun 2022 merosot signifikan dari 38/100 ke 34/100 berdasarkan pengukuran Transparency Internasional. Dengan angka tersebut, kini Indonesia menjadi seolah jauh lebih ‘biadab’ dalam soal korupsi dibanding bahkan Timor Leste (42), Vietnam (42), dan Thailand (36). “Ini legacy buruk pemerintahan Presiden Jokowi,”kata peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (UGM), Zaenur Rohman, mengingatkan sekaligus menyemangati “suheng”-nya sesama alumnus UGM itu.

Tetapi bagaimana tidak akan turun bila melihat kondisi yang berkembang di masyarakat. Tidak hanya pemberlakuan UU Cipta Kerja yang secara legal meminggirkan berbagai aturan, jalin kelindannya pemberlakuan UU tersebut pun memberikan dampak signifikan terhadap melemahnya penegakan hukum.

Untuk hal itu, pengakuan Deputi Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII), Wawan Heru Suyatmiko, menggambarkan hal tersebut. Menurut Wawan, skor IPK yang disusun lembaganya merupakan himpunan penilaian dari para pebisnis serta analis terhadap penegakan hukum dan kebijakan yang diambil pemerintah. Wawan mengatakan, banyak kalangan menilai penegakan hukum selama tahun 2022 merosot dari tahun-tahun sebelumnya. Sebab, kata dia, acapkali aparat penegak hukum ikut cawe-cawe, selain terjerat tindak pidana korupsi.

Soal kinerja institusi penegak hukum itu, Indonesia Corruption Watch (ICW) membuat standar penilaian sendiri. Ada lima kategori nilai kinerja yang dibuat ICW berdasarkan persentase capaian target. Kategori tersebut yaitu 81-100 untuk kategori A atau sangat baik, 61-80 kategori B atau baik, 41-80 kategori C atau cukup, 21-40 kategori D atau buruk, dan 0-20 kategori E atau sangat buruk.  Institusi aparat penegak hukum yang dinilai ICW adalah Kepolisian, Kejaksaan, dan KPK dalam penindakan kasus korupsi.

Dalam laporan “Tren Penindakan Kasus Korupsi Semester 1 Tahun 2022” yang dikeluarkan ICW, dari target sebanyak 1.387 kasus korupsi pada Semester 1 tahun 2022, seluruh APH hanya mampu merealisasikan 252 kasus korupsi atau cuma sekitar 18 persen. Angka itu membuat kinerja penindakan kasus korupsi di Indonesia hanya mendapat nilai E.

Lebih detil, Kejaksaan memiliki target penanganan kasus selama semester I 2022 sebanyak 514 kasus dengan anggaran yang dikelola sebesar Rp 138,9 miliar. Sepanjang semester I tahun 2022 itu Kejaksaan tercatat hanya menangani 183 kasus dengan 413 orang tersangka. Persentase kinerja penindakan kasus korupsi Kejaksaan sekitar 36 persen, atau Cukup (C).

Penanganan kasus korupsi oleh KPK selama semester I tahun 2022 lebih buruk lagi. KPK tercatat hanya menangani 15 kasus korupsi, atau sekitar 25 persen dari target semester I 2022 yang tercatat 60 kasus. Untuk kinerja tersebut kinerja KPK masuk dalam kategori D atau Buruk.

Kepolisian bahkan lebih anjlok lagi hingga bisa disebut ambyar. Pada semester I 2022 Kepolisian memiliki target penanganan 813 kasus dengan anggaran sebesar Rp291,7 miliar. Mereka selama waktu itu tercatat hanya mampu menangani 54 kasus alias tujuh persen saja! Dengan kinerja seperti itu Kepolisian masuk dalam kategori E atau Sangat Buruk. [  ]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button