Hangout

Menimbang Fatwa Haram MUI, NU, dan Muhammadiyah Soal NFT dan Uang Kripto

NFT(non fungible token) dan Cryptocurrency merupakan satu kesatuan ekosistem yang disebut-sebut sebagai platform digital masa depan dimana Aset NFT yakni kripto adalah uang digital yang kehadirannya cukup menarik perhatian kalangan dunia termasuk di Indonesia.

Animo masyarakat untuk mengoleksi uang kripto berbentuk ethereum pada NFT semula sangat kecil, namun sekarang cukup tinggi karena banyaknya permintaan dalam berinvestasi dari aset kripto ini.

Meski begitu, cryptocurrency tak luput dari pro dan kontra. Di Indonesia, sejumlah instansi/lembaga mengeluarkan fatwa terhadap aset kripto. Berikut di antaranya yang sudah mengeluarkan seperti dirangkum inilah.com:

MUI

Forum Ijtima Ulama Majelis Ulama Indonesia (MUI) menetapkan penggunaan uang kripto untuk transaksi pembayaran haram.

Ketua MUI Asrorun Niam Soleh membeberkan alasan forum ulama mengharamkan uang kripto.

“Penggunaan cryptocurrency sebagai mata uang hukumnya haram karena gharar, dharar, dan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2019 dan Peraturan BI Nomor 17 Tahun 2015,” kata Asrorun dalam forum Ijtima Ulama dikutip dari laman MUI.

MUI juga menyatakan uang kripto sebagai komoditi atau aset digital tidak sah diperjualbelikan, karena mengandung gharar, dharar, qimar.

Selain itu, menurut Asrorun hal tersebut juga tidak memenuhi syarat sil’ah secara syar’i, yaitu: ada wujud fisik, memiliki nilai, diketahui jumlahnya secara pasti, hak milik dan bisa diserahkan ke pembeli.

Kendati demikian, MUI menyebut, uang kripto sebagai komoditi atau aset dengan sejumlah syarat sah untuk diperjualbelikan.

“Cryptocurrency sebagai komoditi/aset yang memenuhi syarat sebagai sil’ah dan memiliki underlying serta memiliki manfaat yang jelas sah untuk diperjualbelikan,” ujarnya.

NU

PWNU Jawa Timur juga pernah mengeluarkan fatwa haram uang kripto. PWNU Jatim juga menyebut ada tiga poin utama pertimbangan yang membuat kripto bahaya dan diharamkan.

“Bahwa materi yang diperjualbelikan itu tidak ada. Jadi materinya yang disebut sil’ah itu tidak ada. Lain kalau kita di saham itu ada dananya kemudian ada materinya. Jadi PT apa pabrik apa, nah itu bergerak sehingga ada materi,” jelas Khatib Syuriah PWNU KH Syafruddin Syarif dikutip dari NU Online.

“Tapi kripto ini adalah sudah uangnya jelas tidak ada, hanya nomor-nomornya saja, tetapi diperjualbelikan. Yang kedua tidak ada materinya,” lanjutnya.

Syafrudin menyebut fluktuasi yang terjadi di kripto sangat tinggi, unsur judinya sangat tinggi dan menimbulkan gharar atau ketidakpastiannya.

Selain itu, hukum haram kripto didasarkan pada ketidakjelasan siapa yang bertanggungjawab ketika investor akan menggugat atau menuntut.

Tarjih Muhammadiyah

Terbaru mengenai pandangan hukum muamalah aset kripto datang dari Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengeluarkan fatwa haram pemakaian uang kripto alias cryptocurrency sebagai alat tukar maupun investasi.

Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah memandang mata uang kripto ini dilihat dari dua sisi, sebagai instrumen investasi dan sebagai alat tukar.

Sebagai alat investasi, mata uang kripto dinilai memiliki banyak kekurangan jika ditinjau dari syariat Islam. seperti adanya sifat spekulatif yang sangat kentara. Nilai bitcoin ini sangat fluktuatif dengan kenaikan atau keturunan yang tidak wajar.

Selain sifatnya yang spekulatif menggunakan bitcoin juga mengandung gharar (ketidakjelasan). Bitcoin hanyalah angka-angka tanpa adanya underlying-asset (aset yang menjamin bitcoin, seperti emas dan barang berharga lain).

Sebagai alat tukar sebenarnya mata uang kripto ini hukum asalnya adalah boleh sebagaimana kaidah fikih dalam bermuamalah. Penggunaan mata uang kripto sebenarnya mirip dengan skema barter, selama kedua belah pihak sama-sama rirho, tidak merugikan dan melanggar aturan yang berlaku.

Namun demikian, jika menggunakan dalil sadd adz dzariah (mencegah keburukan), maka penggunaan uang kripto ini menjadi bermasalah.

“Bagi Majelis Tarjih, standar mata uang yang dijadikan sebagai alat tukar seharusnya memenuhi dua syarat: diterima masyarakat dan disahkan negara yang dalam hal ini diwakili oleh otoritas resminya seperti bank sentral. Penggunaan bitcoin sebagai alat tukar sendiri, bukan hanya belum disahkan negara kita, akan tetapi juga tidak memiliki otoritas resmi yang bertanggungjawab atasnya. Belum lagi jika kita berbicara mengenai perlindungan terhadap konsumen pengguna bitcoin,” bunyi Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah dikutip dari situs resmi Muhammadiyah.

Ibnu Naufal

Menulis untuk masa depan untuk aku, kamu dan kita.
Back to top button