Kanal

Mengunjungi Ukraina Saat Damai [3]: Tak Ada Salju yang Menyambut Kami di Kyiv

Baru kali itu saya menikmati cokelat dengan cara yang khas: menyendok cokelat kental, menelannya ke kerongkongan, lalu mendorongnya dengan air putih. Saya sendiri memilih mendorong dengan minuman cokelat cair tadi. Glek! Dengan tambahan beberapa potong kue, kombinasi itu saya akui membuat tubuh terasa lebih hangat.

Oleh   : Darmawan Sepriyossa

Mungkin anda suka

Tak ada salju yang turun menyambut kami di saat keluar dari Bandara Boryspil, di ibu kota Ukraina, Kiev (warga setempat menulisnya ‘Kyiv’), di hari kedua di tahun 2020 itu. Angin dingin segera menyerbu wajah manakala pintu otomatis bandara terbuka, meniadakan penyekat antara ruang tertutup yang hangat dengan suhu beku di luar ruangan.

Tetapi tetap tak terlihat lapisan salju, tipis sekali pun, di jalanan bandara. Tidak sebagaimana yang kami sangka saat berangkat dari Jakarta.

“Musim dingin kali ini disebut warga Kyiv sebagai winter terhangat dalam beberapa tahun terakhir,” kata Syafrizal Rambe, dosen Universitas Nasional (Unas) yang menjemput kami. Saat itu ia sudah tinggal cukup lama untuk mengerjakan sesuatu di Kyiv. Saya menengok sebuah papan pengumuman cuaca digital di sudut halaman bandara. Tertera angka minus 1 derajat (-1) Celcius di sana.

Di musim dingin, udara Kyiv bisa membekukan. Tak jarang suhu udara mencapai minus 20 (-20) atau lebih dingin lagi. Pada winter 2012 lalu pemerintah Ukraina mengakui setidaknya ada 18 orang tewas akibat udara dingin yang sempat mencatatkan suhu minus 15 dejarat Celcius di malam hari. Di wilayah timur dan utara Ukraina, suhu saat itu bahkan bisa mencapai minus 20 derajat Celsius.

Untunglah, sebagaimana tahun sebelumnya, Rambe bilang musim dingin tahun ini datang lebih lambat. “Salju pertama baru jatuh pada 29 Desember kemarin,” kata dia. Seketika otak saya berputar, mengingat satu petikan sajak penyair Bandung, Budi Godot, yang ia tulis di masa-masa kekejian orang-orang Serbia terhadap Muslim Bosnia, sekitar 1995,”Kucatat semua ini ketika salju pertama jatuh di Sarajevo…”

Salju pertama jatuh pada Desember itu menurut Rambe di luar kelaziman.  Biasanya salju sudah mulai jatuh di akhir Oktober.

Untuk menghangatkan tubuh, Rambe dan Pak Harlan–-salah seorang petugas Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Kyiv, mengajak kami mampir ke sebuah kafe, ‘Lviv Chocolate’. Ini adalah franchising kafe yang banyak tersebar di seluruh Ukraina. Sebagaimana namanya, yang dominan di sini adalah cokelat.

Kami menikmati minuman cokelat yang jauh lebih kental dibanding susu kental manis yang banyak diproduksi di Tanah Air. Mirip lumpur kental yang—ibaratnya, tak akan tumpah walaupun cangkir dibalik. Rambe juga memesankan segelas kakao—minuman cokelat cair, untuk saya. Jadi pelayan membawakan saya secangkir cokelat kental, segelas air putih untuk minuman pendorong cokelat kental, serta segelas kakao—cokelat cair tadi.

Baru kali itu saya menikmati cokelat dengan cara yang khas: menyendok cokelat kental, menelannya ke kerongkongan, lalu mendorongnya dengan air putih. Saya sendiri memilih mendorong dengan minuman cokelat cair tadi. Glek! Dengan tambahan beberapa potong kue, kombinasi itu saya akui membuat tubuh terasa lebih hangat.

“Sebenarnya di sini juga hidup jaringan warung kopi terbesar, Aroma Kava,” kata Rambe. “Hanya teman-teman wajib merasakan minum cokelat gaya Ukraina.”

Nama Aroma Kava segera mengingatkan saya pada sebuah toko kopi legendaris di Bandung, ‘Kopi Aroma’. Arti kedua nama itu memang identik. Selama beberapa hari berkeliling Kyiv, saya membuktikan betapa jawaranya Aroma Kava. Warung kopi itu tersebar hampir setiap 100 meter, dari kafe besar yang bisa menampung ratusan orang, hingga outlet kecil laiknya pedagang gerobak dorong di Indonesia.

Di kawasan Eropa timur, Ukraina—terutama Kyiv, memang dikenal sebagai penghasil produk cokelat. Harganya jauh lebih murah dibanding produk olahan cokelat dari Swiss yang lebih terkenal di dunia. Pabrikan cokelat terkemuka, Roshen Confectionery Corporation, tergolong penghasil devisa yang cukup besar bagi Ukraina. Selain di Kyiv, di dalam negeri Roshen juga mendirikan pabrik di Ivankiv dan Kremenchuk. Di luar negeri, pabrikan Roshen juga terdapat di Budapes, Hungaria, Klaipėda dan Lithuania. Oh ya, Roshen sendiri diambil dari nama pemiliknya, Petro Poroshenko, mantan Presiden Ukraina.

Betapa besarnya Roshen bisa dilihat dari posisinya di jajaran perusahaan sejenis. Pada 2012 lalu, Roshen Corporation tercatat sebagai no 18 dari “Candy Industry Top 100″ dunia. Produksi tahunannya mencapai 410 ribu ton, yang diekspor ke negara-negara kawasan seperti Kazakhstan, Uzbekistan, Kyrgyzstan, Azerbaijan, Georgia, Armenia, Moldova, Estonia, Poland, Latvia, Lithuania, bahkan Amerika Serikat, Kanada, Jerman, Rumania dan Israel.

Sebelum 2013, ekspornya ke Rusia mencapai 40 persen dari total produksi. Juli 2013, seiring meningkatnya tensi anti-Rusia di Ukraina, Negara Beruang Merah itu pun menghentikan impor cokelatnya secara total. Pada awal 2017 lalu Roshen menempatkan diri sebagai no 24 dalam industri gula-gula dunia, dengan perkiraan pemasukan tahunan mencapai 800 juta dolar AS.

Lalu darimana Roshen mendapatkan barang mentah berupa biji kakao sementara tak ada satu batang pun pohon kakao tumbuh di negeri itu, paling tidak di Kyiv?

“Sebagian dari Indonesia,” kata Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk Ukraina, Georgia dan Armenia (saat itu), Yuddy Chrisnandi. Yuddy sendiri mengaku potensi pasar Ukraina untuk kakao masih menjanjikan. Karenanya KBRI senantiasa berusaha menggenjot ekspor kakao Indonesia ke Ukraina. Beberapa terobosan telah dilakukan, di antaranya dengan seringnya mempertemukan para pengusaha industri kakao Indonesia dan Ukraina, misalnya yang dilakukan di Kharkiv, akhir 2019 lalu.

“Indonesia merupakan mitra bisnis paling potensial untuk Ukraina,” kata Presiden Ukrainian Chamber of Commerce and Industry alias Kadin Ukraina, Gennadiy Chyzhykov. Kepada tabloid berita KBRI Kyiv edisi tahun itu, ‘Kabar dari Kyiv’, ia berharap hubungan perdagangan tersebut bisa lebih ditingkatkan lagi dengan segera.

Nilai perdagangan Indonesia dengan Ukraina pun seiring waktu kian menjanjikan. Situs indonesia.mfa.gov.ua menulis, nilai perdagangan Ukraina dan Indonesia pada 2017 mencapai 658 juta dolar AS atau sekitar Rp1 triliun. Angka itu naik 11 persen  dibanding periode yang sama pada 2016. Selain kakao, komoditas unggulan Indonesia antara lain minyak kelapa sawit, kopi, teh, kelapa parut, santan kelapa  dan kayu manis. Sementara dari Ukraina, Indonesia mengimpor biji gandum, jagung, biji bunga matahari, ketumbar dan pakan ternak, yakni sorgum dan millet.

Saat itu, sambil membiarkan kakao cair hangat mengaliri tenggorokan, saya berharap dalam waktu cepat bukan hanya biji kakao yang kita ekspor ke Ukraina. Tetapi lebih pada produk-produk cokelat yang telah menjadi bagian dari kehidupan warga Ukraina. Agar nilai tambah ekspor Indonesia pun bisa meningkat cepat, sehingga memperbesar peluang memberikan kesejahteraan yang lebih banyak kepada warga negara kita.

Bila perang bisa segera usai, semua peluang itu nyata, bukan lagi fatamorgana. [ ]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button