Hangout

Mengunjungi Ukraina di Saat Damai [1]: ‘Tercekik’ di Kegelapan Gua Biara Lavra

Seperti orang Indonesia meyakini ada lorong dari Gua Pamijahan ke Mekkah, mereka yang percaya meyakini bahwa katakombe Lavra membentang ratusan kilometer, mencapai Moskow dan Novgorod

Oleh  : Darmawan Sepriyossa

Jauh sebelum negara Ukraina terbentuk, kota Kyiv adalah wilayah penting bagi Gereja Ortodoks Timur (Eastern Orthodox Church). Salah satu buktinya, patriark yang berkuasa di Byzantium saat kekaisaran itu jatuh diserbu Sultan Mehmet II dari Kekhalifahan Usmani pada 1453, dipegang oleh Kardinal Isidore of Kiev, seorang rohaniwan asal Kota Kyiv.

Konon, kejatuhan Byzantium membuat Sang Kardinal terpukul dan meninggal di Roma dalam kondisi kejiwaan kurang sehat. Penulis buku best-seller ‘1453’, Roger Crowley, menulis,”…Kardinal Isidore of Kiev…dilantik sebagai Patriark Konstantinopel in absentia oleh Paus, namun tak memiliki otoritas legitim. Dia akhirnya lupa ingatan (senile dementia) dan meninggal di Roma pada 1463.”

Wajar bila suasana keseharian Kyiv masa kini pun masih kental diwarnai cara-cara Ortodoks. Tidak hanya Natal yang jatuh pada 7 Januari—bukan 25 Desember sebagaimana Gereja Katolik Romawi, kebanyakan gereja yang ada di Ukraina merujuk pada Gereja Ortodoks Timur. Sebagaimana laiknya suasana Lebaran di Indonesia, pada 7 Januari itu mereka berkumpul bersama keluarga (besar), menikmati hidangan yang mereka masak bersama.

Saat Natal yang tentu saja berada di musim dingin, biasanya mereka menikmati borshch, sup khas Ukraina yang terbuat dari buah bit, kubis, kentang, tomat, wortel, bawang bombai, bawang putih,dan aneka bumbu lain. Seringkali borshch diberi potongan daging atau ikan. Menurut Syafrizal Rambe, dosen Universitas Nasional yang betah berlama-lama di Kyiv, ia sempat membaca ada lebih dari 30 jenis borshch di Ukraina.

“Jangan tertukar dengan Kapusniak, sup daging babi dengan salo (lemak babi), yang disajikan dengan kubis dan saus krim asam yang disebut smetana,” kata Alan Maulana Al Kautsar, mahasiswa Indonesia yang pada awal 2020 itu tengah menimba ilmu di National Aviation University, Kyiv, mewanti-wanti.

Saya sempat menikmati hangat dan meriahnya rasa borshch. Bukan pada waktu Natal, tetapi beberapa hari sebelum itu. Pagi itu saya membeli semangkuk dari seseorang yang menjajakannya via foodtruck di pinggir taman Taras Shevchenko. Kalau tak salah harganya 30 Hryvnia atau sekitar Rp 15 ribu.

Biasanya selain borshch, di waktu Natal warga Kyiv menikmati Olivier (salad kentang yang telah dimasak berisi acar dill, potongan telur rebus, daging ayam atau ham, bawang dan ercis, yang disiram mayones), Kalach (roti berbentuk cincin khas Natal), Vareniki (pangsit goreng berisi daging), Pechenya (daging panggang) dan lain-lain, tergantung keadaan ekonomi keluarga tersebut.

Biasanya makan akan diakhiri cuci mulut berupa Kutia–kue manis berbahan kaskas (poppy seed), gandum, berisikan kacang atau almon dan madu. Orang Kyiv punya masakan kebanggaan mereka, Kotleta po-Kyivsky atau chicken Kiev; ayam fillet yang dimasak dengan bumbu bawang putih, mentega dan berbagai bumbu lain, lalu dibungkus dengan tepung roti.

Tak hanya Isidore of Kiev yang ‘mengeratkan hubungan’ Kota Kyiv dengan Istanbul. Sebagaimana di Konstantinopel yang sampai Istanbul hari ini berdiri Katedral Saint Sophia (kini museum Hagia Sofia, atau bahkan kalau tak salah Masjid Aya Sofia), di Kyiv pun terdapat katedral dengan nama sama. Hanya sesuai dengan budaya setempat, katedral itu dikenal masyarakat sebagai Sobor Sviatoyi Sofiyi. Saint Sophia sendiri merujuk nama seorang yang dianggap suci, baik oleh Gereja Katolik maupun Gereja Ortodoks Timur, Sophia. Wanita Milan, Italia, ibu dari Faith, Hope dan Charity, itu meninggal dalam penyiksaan di era Kaisar Diokletianus pada abad ke-3 Masehi.

Menurut Dr. Nadia Nikitenko, seorang sejarawan yang telah 30-an tahun meneliti katedral tersebut, dalam bukunya “From Constantinople to the Frontier: The City and the Cities”, katedral itu didirikan pada 1011, di masa  penguasa agung Kerajaan Kievan Rus, Vladimir the Great. Katedral yang memang ‘meniru’ katedral serupa di Byzantium—kini Istanbul, itu memerlukan dua puluh tahun pembangunan.

Berdiri hampir seribu tahun mustahil katedral itu sama sekali anteng tanpa gangguan. Kyiv pernah dijarah pasukan yang dipimpin Andrei Bogolyubsky yang datang untuk menyatukan Kyiv ke dalam kerajaannya pada 1169. Penjarahan yang dilakukan pasukannya begitu massif, mencuri, merampok dan menghancurkan  banyak karya seni. Andrei yang sempat memimpin Kyiv itu mati di tempat tidurnya pada 28 Juni 1174, oleh pengikutnya yang kecewa.

Belakangan Gereja Ortodoks Rusia membeatifikasinya sebagai santo. Katedral itu pun dirusak serbuan Tatar-Mongol pada 1240, oleh kekuatan Polandia pada abad ke-16 ketika terjadi desakan penyatuan gereja-gereja Katolik dan Ortodoks, serta seiring kampanye anti-agama pasca-Revolusi Bolsevik, sekitar tahun 1920-an. Setelah restorasi berkelanjutan yang dimulai pada 1930-an dan di era Soviet tahun 1980-an, pada 21 Agustus 2007, UNESCO menetapkan Katedral Saint Sophia sebagai salah satu dari Tujuh Keajaiban Dunia dari Ukraina. Sayang, pada saat kami mengunjungi katedral tersebut pada Minggu, 5 Januari 2020, katedral tersebut tengah ditutup dari kunjungan publik.

Namun selain Katedral Saint Michael, kami juga sempat mengunjungi Biara Gua Lavra (Lavra Cave Monastery). Awalnya—karena tak sempat melakukan riset atau setidaknya baca-baca–saya berpikir hanya akan menemui bangunan katakombe bawah tanah di sini. Ternyata salah. Meski kata ‘gua’ terasa dominan karena penamaan, sejatinya itu hanya bagian kecil dari luasnya area yang hingga kini masih dihuni seratusan lebih biarawan tersebut.

Area Kyiv Pechersk Lavra (demikian sebutan setempat untuknya) berisikan banyak gedung dan monumen yang dibangun seiring waktu. Mulai dari Menara Lonceng, Dormition Cathedral, Gereja Refectory, Gereja Semua Orang Suci, Gereja Juruselamat di Berestove, Gereja Pemuliaan Salib, Gereja Tritunggal, Gereja Kelahiran Perawan Maria, Gereja Konsepsi St. Anne, Gereja Kehidupan, Biara Saint. Nicholas, Seminari Teologi Kiev, konstruksi gua di bawah tanah, hingga Tembok Debosquette.

Menurut sebuah kronik awal, area peribadatan itu dibangun mulai abad ke-11 oleh  Anthony, seorang biarawan Ortodoks dari Biara Esphigmenon di Gunung Athos. Begitu kembali ke Kievan Rus, ia memohon izin Pangeran Iziaslav I dari Kyiv untuk tinggal dan membangun area peribadatan di Gunung Berestov, di tepian Sungai Dnieper. Pangeran Iziaslav meluluskan permohonan itu dan  menyerahkan seluruh gunung itu kepada Anthony. Setelah kematiannya, Anthony di-beatifikasi (ditetapkan sebagai orang suci) oleh Paus.

Terlalu banyak hal untuk bisa menjelaskan dengan detil bagaimana komplek Biara Gua Lavra seiring banyaknya gedung dan monumen. Namun, bagaimana pun dua hal haruslah ditulis manakala menyebutkan area ini: gua bawah tanah dan Great Lavra Belltower.

Great Lavra Belltower yang memiliki tinggi 96,5 meter adalah menara lonceng yang dibangun pada 1731–1745, dan dirancang arsitek Johann Gottfried Schädel. Diameter menara terendahnya 28,8 meter dengan ketebalan dinding lapis pertama adalah 8 meter. Pondasi menara lebih dari tujuh meter. Menara ini dihiasi dengan banyak pilar. Tingkat kedua dihiasi dengan 32 pilar Dorian, tingkat ketiga dihiasi 16 pilar Ionik, dan yang tingkat empat dengan delapan pilar Korintus.

Sebelum dihilangkan, tingkat ketiga digantung beberapa lonceng. Hingga hari ini, hanya tiga lonceng kecil abad ke-18 yang dipertahankan: lonceng Balyk, Voznesenskyi, dan Bezymiannyi.

Bekas lonceng utama menara itu, Uspenskyi, memiliki berat satu ton dan dicetak pada 1732 oleh Ivan Motorin, yang juga bertanggung jawab dalam pembuatan lonceng di istana Tsar, Kremlin. Di tingkat keempat ada jam dentang, diproduksi pada 1903, yang memiliki berat 4,5 ton. Jam yang dipakai saat ini dirancang seorang master asal Moskow, A. Enodin dengan mengacu jam Kremlin. Jam itu hanya berhenti sekali selama keberadaannya, pada bulan September 1941 ketika Katedral Tidur Pechersk Lavra diledakkan musuh selama Perang Dunia Kedua.

Satunya adalah gua bawah tanah. Saya dan istri tak sadar saat ikut mengantre, mengikuti rombongan lain, menuju gua di bawah tanah. Kami luput tak membeli lilin yang disediakan di pintu masuk gua: sebuah lobang kecil yang hanya bisa dimasuki seorang-seorang, tak memungkinkan dua orang berjajar dalam satu waktu. Sebenarnya sempat mau membeli, harganya hanya 5 Hryvnia sebatang, namun seruan istri yang memanggil di depan mengurungkan saya.

Dan benar, hanya melangkah sekitar 10 langkah ke dalam, suasana sudah remang, cenderung gelap. Hanya ada kelap kelip beberapa lilin di setiap ceruk gua yang menjadi tempat penyimpanan jenazah entah sekian ratus tahun lamanya.  Sebenarnya, bila saja rombongan tur di depan bisa kami kejar, itu tak masalah, tetapi kecilnya terowongan dalam gua itu menyulitkan kami mengejar. Belakangan, saya baca koridor bawah tanah itu hanya memiliki lebar sekitar 1 hingga 1,5 meter dengan tinggi sekitar 2 meter. Belum lagi saya terlambat sadar bahwa saya mengidap klaustrofobia, alias ketakutan berada di ruang sempit!

Untunglah meski dada mulai sesak saya ingat akan telepon genggam yang saya bawa. Lamaaa sekali rasanya untuk menemukan tuts dan memijatnya sampai tempat itu cukup terang dengan cahaya senter dari HP saya.

Namun justru dengan adanya cahaya, meski remang saya bisa melihat jenazah-jenazah yang sudah sekian ratus tahun usianya itu di kanan-kiri terowongan yang kami jelajahi. Jujur, suasana yang ada rasanya tak akan mudah saya lupakan. Istri saya setengah berlari ke depan, menyusul rombongan tur yang suaranya lambat-lambat kian terdengar. Setelah beberapa menit berlari, kami pun bertemu mereka dan menggabungkan diri.

“Kalau ke sini lagi, saya nggak mau ikut masuk gua,” kata istri saya, segera setelah berada di luar. Wajahnya masih menampakkan sisa-sisa pucat. Mungkin istri saya akan lebih pucat lagi kalau tahu bahwa di dalam koridor gua sempit itu di’makamkan’ lebih dari 100 orang tokoh sepanjang sejarah Biara Lavra.

Sebagaimana Gua Pamijahan di Jawa Barat, sekian cerita pun dilekatkan orang kepada gua bawah tanah Lavra. Bila Gua Pamijahan dipercaya sebagian kalangan memiliki ujung yang sampai ke Mekkah, nyaris begitu pula gua bawah tanah Lavra. Para pelancong asing  yang mengunjungi gua itu pada abad 16 menulis bahwa katakombe Lavra membentang ratusan kilometer, mencapai Moskow dan Novgorod!  [ ]

Back to top button