Market

Menguji Kesaktian Kenaikan Suku Bunga BI Menahan Gempuran Inflasi

Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) menaikkan tingkat suku bunga acuan (7 Days Reverse Repo Rate/BI 7DRR) menjadi sebesar 3,75 persen pada Agustus 2022. Kebijakan ini dikeluarkan untuk meredam ancaman inflasi. Kesaktian suku bunga acuan ini bakal diuji.

Selain memutuskan menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin menjadi 3,75 persen, RDG juga menetapkan tingkat suku bunga deposit facility dan bunga lending facility masing-masing menjadi 3 persen dan 4,5 persen.

“Kebijakan ini diambil setelah mempertimbangkan kondisi ekonomi global maupun domestik,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo, Selasa (23/8/2022).

Dari sisi global, proses pemulihan ekonomi akan terganggu di tengah lonjakan inflasi dan kebijakan moneter di beberapa negara. Ekonomi global berisiko tumbuh lebih rendah dari perkiraan sebelumnya, disertai dengan peningkatan risiko stagflasi dan tingginya ketidakpastian pasar keuangan.

Keputusan menaikkan suku bunga acuan ini sebagai upaya bank sentral dalam memitigasi risiko peningkatan inflasi inti dan ekspektasi inflasi.

Keputusan BI mempertimbangkan inflasi akibat kenaikan berbagai harga bahan pokok yang terjadi belakangan ini. Seperti harga telur, ayam, hingga cabai.

Seperti diketahui, inflasi kembali meningkat pada Juli 2022. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, inflasi pada Juli 2022 mencapai 0,64 persen month on month, atau dan membuat inflasi tahunan sudah hampir tembus 5 persen, atau berada di level 4,94 persen year on year (yoy).

BI memprediksikan inflasi pada akhir tahun ini bisa mencapai level 5,2 persen secara tahunan untuk inflasi headline. Inflasi inti juga akan melampaui target di 4,15 persen year on year dari perkiraan sebelumnya masih akan di dalam rentang target.

“Dampak rambatan dari kenaikan harga BBM non subsidi, tarif angkutan udara dan tingginya volatile food, perkiraan terkini menunjukkan inflasi inti pada akhir tahun akan lebih tinggi dari 4 persen atau kurang lebih 4,15 persen,” kata Perry.

Keputusan BI menaikkan suku bunga ini merupakan kali pertama setelah suku bunga acuan bergerak di level terendahnya, yaitu 3,5 persen, sejak Februari 2021, untuk mendorong pemulihan ekonomi di tengah hantaman pandemi COVID-19.

Suku Bunga BI dan Inflasi

Lalu apakah kenaikan suku bunga ini bakal mampu menekan laju inflasi? Bagaimana sebenarnya mekanisme dari variabel BI rate, inflasi, dan nilai tukar rupiah?

BI rate sebagai salah satu instrumen kebijakan moneter Bank Indonesia juga memiliki tujuan dasar sebagai kebijakan moneter, yakni menjaga kestabilan harga barang.

Jika suku bunga naik, hasrat untuk melakukan konsumsi (propensity to consume) akan berkurang, begitu pula hasrat untuk investasi. Selanjutnya, melemahnya konsumsi dan investasi akan mengurangi permintaan agregat (aggregate demand).

Di sisi lain dengan suku bunga yang lebih tinggi BI ingin menghimpun dana masyarakat dan memperkuat likuiditas dolar AS karena akan banyak pemilik dolar AS konversi ke rupiah dengan bunga bank yang lebih tinggi hingga di akhir akan menguatkan kembali nilai tukar rupiah.

Banyak kalangan menunggu kesaktian kebijakan suku bunga BI kali ini untuk meredam inflasi. Ada yang masih ragu ada pula yang optimistis.

Chief Economist PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Anton Hendranata mengatakan kenaikan suku bunga acuan BI7DRR saat ini dapat menekan inflasi dalam jangka menengah-panjang dengan mendorong penurunan ekspektasi inflasi.

Dengan kenaikan ini, pelaku pasar akan memandang bahwa Bank Indonesia mulai serius untuk mengatasi inflasi sehingga ekspektasi inflasi ke depan akan lebih terjaga. Kontrol yang baik dalam menjaga stabilitas inflasi tentunya dapat berdampak pada harga-harga barang yang terjaga.

Dengan kondisi tersebut, daya beli konsumen akan tetap terjaga sehingga konsumsi masyarakat akan tetap kuat walaupun kemungkinan investasi akan menurun ke depan.

“Terjaganya daya beli masyarakat dapat berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi nasional, mengingat variabel tersebut merupakan penopang utama PDB Indonesia,” kata Anton.

Sementara Chief Economist Permata Bank Josua Pardede menilai, kenaikan suku bunga acuan BI sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 3,75 persen merupakan respons kebijakan moneter dalam menjangkar ekspektasi inflasi dan menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Mengingat, risiko perekonomian global masih tinggi.

Instrumen suku bunga, lanjut dia, pada dasarnya hanya mampu menahan laju dari inflasi inti, dan bukan dari sisi inflasi barang bergejolak atau barang yang diatur pemerintah. Josua memperkirakan kenaikan suku bunga akan menahan permintaan untuk barang dan jasa dalam derajat tertentu, sehingga inflasi inti dapat dikendalikan.

Ia menambahkan, ekspektasi inflasi akan meningkat pada akhir tahun ini. Didorong oleh peningkatan harga yang barang bergejolak (bahan makanan, makanan jadi, minuman, dan tarif transportasi) dan barang yang diatur pemerintah dalam 2-3 bulan terakhir. Belum lagi, pemerintah berpotensi melakukan penyesuaian harga BBM dalam waktu dekat.

“Peningkatan kedua komponen inflasi tersebut berpotensi meningkatkan inflasi inti di akhir tahun sebagai efek dari second round,” ungkap Josua.

Ia memperkirakan BI berpotensi untuk melanjutkan kenaikan hingga akhir tahun ini sebesar 50 bps dan hingga awal tahun depan.

Belajar dari pengalaman yang tidak boleh dilupakan bahwa kebijakan suku bunga tinggi akan membawa Indonesia ke lembah krisis. Tahun 1997/1998 BI sempat menerapkan kebijakan suku bunga tinggi hingga money market sampai dengan 70 persen untuk meredam inflasi.

Efeknya kurang mendorong pertumbuhan ekonomi dan justru terjadi kontraksi yang cepat dan besar.

Dampak yang berat dari kebijakan tersebut ialah banyak dunia usaha yang kesulitan dan bermunculanlah kredit macet. Nilai tukar rupiah melemah sampai dengan di atas Rp15.000 per dolar AS. Bank-bank masuk jurang dengan likuiditas yang kering.

Akhirnya bank-bank masuk perawatan dan tidak sedikit yang gulung tikar. Pemerintah Indonesia pun mem-bailout bank-bank sampai dengan Rp650 triliun.

BI memang memiliki kewenangan untuk menerapkan suku bunga acuan saat terjadi lonjakan inflasi, stabilitas nilai tukar terganggu atau saat tingkat suku bunga global melonjak. Kali ini kredibilitas BI akan diuji jika mampu menjaga sasaran inflasi.

Back to top button