Friday, 28 June 2024

Mengikis Dominasi Dollar AS dengan Mata Uang Digital dan Lokal

Mengikis Dominasi Dollar AS dengan Mata Uang Digital dan Lokal


Mengurangi dominasi dolar memiliki banyak tantangan. Namun hal itu terus diupayakan organisasi negara-negara BRICS yang fokus pada peningkatan perdagangan dalam mata uang lokal untuk mengurangi ketergantungan pada dolar. Termasuk membuka peluang penggunaan mata uang digital.

Sebuah opini yang diterbitkan di Business Insider oleh penulis Huileng Tan mengungkap upaya yang dipimpin kelompok ekonomi BRICS dalam mengadvokasi peralihan dari dominasi dolar AS. BRICS beranggotan Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan.

Tahun lalu, Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva mengusulkan mata uang bersama BRICS, meskipun gagasan ini mendapat respons keraguan dari para ekonom. Kepraktisan dalam menetapkan mata uang bersama merupakan sebuah tantangan. Blok tersebut juga berfokus pada peningkatan perdagangan dan pinjaman dalam mata uang lokal untuk mengurangi ketergantungan pada dolar.

Christopher Granville, direktur pelaksana penelitian politik global di GlobalData TS Lombard, menyatakan bahwa diskusi mengenai pengurangan ketergantungan terhadap dolar mungkin mendapatkan momentum selama KTT BRICS di Kazan, Rusia, yang dijadwalkan berlangsung pada 22-24 Oktober.

Hal ini terjadi di tengah meningkatnya ketegangan antara AS dan Tiongkok, dan sanksi sekunder oleh Washington terhadap bank-bank yang memproses pembayaran melibatkan Rusia, bahkan dalam mata uang lokal seperti yuan China.

Transfer Mata Uang Digital

Perkembangan signifikan dalam konteks ini adalah minat bank sentral terhadap transfer mata uang digital. Granville mencatat bahwa solusi sistemik potensial melibatkan platform dari Bank for International Settlements (BIS) yang memfasilitasi penyelesaian faktur komersial dan perdagangan valuta asing secara langsung serta peer-to-peer menggunakan mata uang digital bank sentral (CBDC).

Mata uang ini mirip dengan mata uang kripto tetapi diterbitkan dan didukung oleh bank sentral. Pada tahun 2022, bank sentral dari China, Hong Kong, Uni Emirat Arab (UEA), dan Thailand berpartisipasi dalam uji coba BIS terhadap sistem ini, meskipun sistem tersebut belum beroperasi.

Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov telah mempromosikan sistem penyelesaian berbasis mata uang digital, yang ditafsirkan Granville sebagai indikasi bahwa bank sentral sedang mempertimbangkan solusi yang mengisolasi AS.

Solusi ini tampaknya sangat relevan bagi China di tengah konflik perdagangannya dengan AS, karena Tiongkok telah memiliki mata uang digital dengan perkembangan cukup baik, yuan digital, yang digunakan di dalam negeri untuk berbagai pembayaran.

Namun, BIS menangguhkan keanggotaan bank sentral Rusia setelah negara itu meluncurkan operasi militer khusus di Ukraina pada tahun 2022, sehingga menciptakan ketidakpastian tentang bagaimana Rusia akan berpartisipasi dalam platform mata uang digital. Meskipun demikian, Granville berpendapat bahwa keterlibatan bank sentral lain dalam sistem CBDC dapat menantang dominasi dolar AS dalam pembayaran internasional.

Dolar AS menyumbang 60% pembayaran internasional di luar zona euro pada tahun 2023, turun dari 80% porsinya dalam pembiayaan perdagangan dan 60% dalam cadangan devisa global.

Laporan lain baru-baru ini oleh Business Insider merinci bahwa negara-negara Barat tidak dapat sepenuhnya mengisolasi bank-bank Rusia dari jaringan pesan SWIFT. Ini mengingat dampak buruknya terhadap pembiayaan perdagangan dan mengurangi bagian dolar AS dalam pembayaran internasional melalui platform CBDC non-dolar. 

Terlepas dari potensi manfaatnya, penerapan mata uang digital bank sentral menghadapi tantangan. Bahkan China, dengan salah satu mata uang digital tercanggih, menerapkan sistem “dua tingkat” di mana bank bertindak sebagai agen pemegang dompet untuk mencegah gangguan pada sektor keuangan sekaligus menjaga stabilitas.