Kanal

Menggandeng Kembali Romahurmuziy, PPP Bergantung Pada Akar Lapuk?

Memangnya apa penghargaan kita terhadap–salah satunya– pesan Bung Hatta, misalnya, selain hanya menilai pesan itu indah sebagai kata-kata mutiara? Bung Hatta pernah berpesan,”Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur, itu sulit diperbaiki.” Kita tahu, tapi tampaknya menganggap pengetahuan itu tak mungkin diaplikasikan dalam kehidupan saat ini.

Oleh   : Darmawan Sepriyossa

Pernah melihat seseorang terperosok ke tubir jurang? Selain kaki mencari pijakan, dipastikan tangan korban akan gerayangan mencengkeram dahan, akar pepohonan, atau apa pun agar selamat. Tampaknya hanya metafora itu yang bisa membuat kita memahami mengapa Partai Persatuan Pembangunan (PPP) kembali meraih tangan Romahurmuziy dan mendapuknya sebagai ketua Majelis Pertimbangan Dewan Pimpinan Pusat PPP baru-baru ini.

Romahurmuziy, dikenal dengan panggilan Romy, adalah bekas ketua umum partai politik berlambang Kakbah tersebut. Namun sebagaimana ketua umum sebelumnya, Suryadharma Ali, Romy pun tidak lengser dengan “baik-baik saja”. Pada 15 Maret 2019, alumnus Institut Teknologi Bandung itu ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Surabaya.

Dalam prosesnya, Romy yang didakwa menerima uang sebesar Rp 325 juta dari mantan kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Timur dan Rp 91,4 juta dari mantan Kakanwil Kabupaten Gresik, itu ditetapkan sebagai tersangka. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada 20 Januari 2020 memvonis dirinya dua tahun penjara dan denda Rp 100 juta, subsider tiga bulan penjara. Beruntung, permohonan bandingnya dikabulkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, sehingga vonis politisi muda yang cepat melejit itu dikurangi menjadi satu tahun penjara saja. Romy resmi bebas pada 29 April 2020, usai menjalani hukuman sesuai putusan banding.

Pada 23 Maret tahun ini, Romy memang kembali diperiksa KPK untuk dimintai keterangan sebagai saksi, terkait pengurusan Dana Alokasi Khusus (DAK) APBN tahun anggaran 2018. Namun tampaknya dalam kasus yang menyeret rekan separtainya, Puji Suhartono dan Irgan Chairul Mahfiz sebagai tersangka itu, Romy dianggap bersih.

Dengan catatan tersebut, jelas ada setitik nila dalam belanga susu karir politik Romy. Namun, secara hukum tak ada aturan apapun yang bisa menyerimpungnya dari peluang untuk kembali membangun karir politik. Benar kata Ketua DPP PPP,  Achmad Baidowi, yang menyatakan kembalinya Romy ke jajaran elit PPP sama sekali tidak menjadi soal. Apalagi, Romy pun sudah bebas sejak tiga tahun lalu.

Selain itu, kata Baidowi, putusan pengadilan juga tidak menyebutkan bahwa hak politik Romy dicabut. Apalagi dengan hukuman Romy yang di bawah lima tahun, tak ada hak politiknya yang tereliminasi. “Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), putusan yang di bawah lima tahun itu boleh mencalonkan sebagai calon anggota DPR, apalagi menjadi pengurus partai,”kata dia.

Persoalannya tinggal soal moral, sesuatu yang karena begitu relatif, semakin lama kian alpa kita temukan dalam politik Indonesia yang terasa makin dan terus tambah pragmatis ini. Memangnya apa penghargaan kita terhadap–salah satunya– pesan Bung Hatta, misalnya, selain hanya menilai pesan itu indah sebagai kata-kata mutiara? Bung Hatta pernah berpesan,”Kurang cerdas dapat diperbaiki dengan belajar. Kurang cakap dapat dihilangkan dengan pengalaman. Namun tidak jujur, itu sulit diperbaiki.” Kita tahu, tapi tampaknya menganggap pengetahuan itu tak mungkin diaplikasikan dalam kehidupan saat ini.

Meraih kembali Romy pun sebenarnya bukan sama sekali tak memungkinkan munculnya persoalan. Paling tidak di mata rakyat, tumpukan sekian juta suara yang hendak digali dan diambil partai di Pemilu 2024 nanti. Ada dua persepsi publik yang mungkin muncul seiring direkrutnya kembali Romy oleh PPP.

Pertama, sangat mungkin publik menilai PPP kekurangan kader, hingga untuk posisi ketua Majelis Pertimbangan yang strategis itu harus diberikan kepada Romy dengan segala catatannya. Bukan tidak boleh, tentu. Ini soal bagaimana publik melihat sisi moralitas menjadi prioritas di mata elit partai tersebut.

Kedua, seperti dikatakan mantan penyidik KPK, M. Praswad Nugraha, yang mengaku tidak kaget ketika mengetahui kabar direkrutnya kembali Romahurmuziy oleh PPP. “Ini sangat biasa dan tidak mengejutkan, mengingat bahwa saat ini komitmen Indonesia dalam pemberantasan korupsi memang sudah pada titik kritis, sangat mengkhawatirkan. Tidak ada komitmen serius pemberantasan korupsi hampir di semua lini kehidupan sosial,”kata Praswad kepada wartawan, Senin (2/1/2023).

Artinya, sangat masuk akal kalau pada gilirannya publik pun menganggap PPP tidak punya cukup komitmen dalam pemberantasan korupsi. Mengingat makin dekatnya Pemilu, peluang munculnya citra itu tak bijak untuk disepelekan. Bukankah sangat tidak elok jika semakin dekat kepada hari “H” Pemilu, alih-alih gigih memeranginya, yang timbul justru boleh jadi citra partai Kakbah di mata publik, katakanlah, “corruption-friendly”?

Itu bukan tak mungkin, mengingat saat ini pun mulai muncul pikiran seperti itu. Paling tidak dari kesangsian Praswad yang menyebut PPP hanya sekadar mengikuti arus.  “Kalau boleh dilihat, PPP hanya mengikuti arus tanpa mau berbuat lebih dalam pemberantasan korupsi, dengan menunjukan komitmen abnormal dengan situasi yang ada,”ujar Praswad.

Tetapi seberapa urgenkah kehadiran Romy di PPP, sehingga elit (baru) partai itu memintanya kembali bergabung? Tentu saja yang bisa menjawabnya dengan tepat hanya kalangan elit PPP sendiri.  Masuknya kembali Romy di kepengurusan partai konon telah mereka pikirkan masak-masak. Minimal seperti diakui Baidowi. Kata dia, Romy dinilai masih punya kemampuan untuk membesarkan partai, sesuatu yang pasti tengah sangat diperlukan PPP.

Sebagai outsider, kita hanya bisa melihat bahwa PPP memang terus mengempis dari waktu ke waktu.  Pada Pemilu 2004, seiring keluarnya banyak warga NU karena munculnya partai baru yang lebih mewakili mereka, Partai Kebangkitan bangsa (PKB), suara PPP langsung turun pada kisaran  9.248.764 atau 8,15 persen suara, di bawah PKB yang mengumpulkan 11.989.564 (10,56 persen) suara. Meski demikian, saat itu kursi PPP di DPR adalah 58, lebih besar daripada kursi PKB yang 52.

Setelah itu suara PPP terus nyemplung ke bawah. Pada Pemilu 2009, PPP hanya memperoleh 5.544.332 suara atau setara 5,33 persen. Dari angka itu, PPP berada di posisi ke-6. Sementara pada Pemilu 2014, posisi PPP kembali turun dan harus berada di tempat ke-9 dari nomor urut partai parlemen. Saat itu PPP memiliki suara 8.152.957 setara dengan 6,53 persen.

Pada Pemilu 2019, walaupun sudah berebut masuk gerbong pemerintah dan ikut mendukung Jokowi, PPP harus menelan pil pahit dengan menjadi kian kerdil. Partai Kakbah itu hanya memperoleh 6.323.147 suara alias meraup 4,52 persen suara saja. Sejak itulah PPP berada di tubir jurang, karena hanya 0,52 persen suara saja yang membuatnya tidak terdepak keluar Parlemen.

Belakangan urusan itu kian membuat elit PPP ketar-ketir. Pasalnya, berbagai hasil survei yang digelar aneka lembaga senantiasa meramalkan terdepaknya PPP keluar DPR. Misalnya, hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA tahun lalu, yang menyebut partai itu tidak lolos parliamentary threshold atau syarat minimal perolehan suara parpol di parlemen pada Pemilu 2024. Hasil survey LSI itu menyatakan, tiga partai politik, yaitu NasDem, PPP, dan PAN, hanya meraih suara 3,9 persen, PPP 2,3 persen, dan PAN 2,1 persen.

Dengan posisi ibarat telur di ujung tanduk itu, wajar PPP melakukan apapun untuk bertahan dan menyintas. Termasuk meraih Romy. Apalagi, dalam posisi PKB yang terlihat limbung dengan kepengurusan PBNU yang cenderung diisi kelompok pro-keluarga Gus Dur, peran Romy akan sangat signifikan. Bagaimanapun, Romy merupakan anak Prof. Dr. K.H. M. Tolchah Mansoer, pendiri sekaligus ketua pertama Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), serta Rais Syuriah PBNU periode 1984-1986, dan pengasuh Pondok Pesantren Sunni Darussalam di Sleman. Romy juga cicit dari salah satu pendiri NU, K.H. Abdul Wahab Hasbullah, dan cucu dari Menteri Agama RI ketujuh, K.H. Muhammad Wahib Wahab. Kuat secara geneologis, ke-NU-an Romy itu akan sangat diperlukan partai.

Sementara, meski tidak fresh from oven, dan lingkupnya pun hanya lokal, tesis master yang ditulis Zamroni, mahasiswa Magister Ilmu Politik Program Pascasarjana Universitas Diponegoro, Semarang, pada 2007 lalu masih bisa menjadi acuan. Tesis berjudul “Pemetaan Tipologi Pemilih PPP Kabupaten Jepara; Sebuah Strategi Pemenangan Pemilihan Umum” itu menegaskan bahwa tiga faktor yang mempengaruhi pemilih dalam memilih PPP (di Jepara), adalah karena berasas Islam, akibat pengaruh kiai dan pengaruh keluarga. Hubungan kuat Romy ke jaringan kyai itu yang tampaknya hendak dimanfaatkan PPP.

Soal pengangkatan itu, Romy sendiri tampaknya tak terganggu dengan sas-sus apa pun yang mungkin beredar. Ia bahkan terkesan menyambut amanah tersebut dengan bungah. “Kuterima pinangan ini dengan Bismillah,” tulis Romy di akun Instagramnya @romahurmuziy. “Tiada lain kecuali mengharap berkah, agar warisan ulama ini kembali merekah.”

Namun dengan segala catatan Romy, mungkinkah PPP menempatkan harapan itu pada sosok yang salah? Ibarat peribahasa, apakah pemberian amanah kepada Romy itu sejatinya sekadar bergantung pada akar lapuk?  Tentu waktu dan hasil usaha Romy yang nanti akan menjawab. Saat ini, publik maksimal baru dapat menera, atau bahkan hanya mengira-ngira, betapa gawatnya PPP dan keresahan yang bergulung akibat posisi kritis yang begitu tipis dari standard 4,0 persen suara itu. [  ]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button