Kanal

Mengapa Ada Kesan Indonesia Dipinggirkan dalam Perhelatan US-ASEAN Summit?

Jika sekilas saja kita membaca agenda KTT Amerika Serikat-ASEAN (US-ASEAN Summit) yang Kamis ini (12/5) mulai digelar di Washington DC, AS, wajar bila tiba-tiba terbersit pikiran betapa tuan rumah AS seolah meminggirkan peran Indonesia dalam perhelatan tersebut. Padahal, dengan posisi Indonesia yang saat ini menjabat pimpinan dalam presidensi G20, hal tersebut tidak selayaknya mereka lakukan.

Hal itu setidaknya tercermin dalam agenda yang telah disusun dan disebar resmi Kementerian Luar Negeri AS (US Departmen of State) tersebut.  Dalam agenda disebutkan, pada hari pertama, selain akan berbicara Ketua DPR AS, Nancy Pelosi, dua pemimpin ASEAN didaulat untuk juga berbicara di hadapan audiens. Mereka adalah Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong  dan Perdana Menteri Vietnam, Phạm Minh Chính.

Masih di hari pertama, Kamis, pada pertemuan para pemimpin ASEAN dengan pimpinan dunia bisnis AS, dua kepala negara ASEAN juga diberi kesempatan untuk berbicara. Sayangnya, yang berdiri nanti salah satunya bukan Presiden Joko Widodo, sebab keduanya adalah kepala negara Brunei Darussalam, Sultan Hassanal Bolkiah dan Perdana Menteri Malaysia, Ismail Sabri Yaakob.

Hari pertama akan ditutup dengan makan malam seluruh peserta—yakni para kepala negara ASEAN, dengan Presiden AS, Joseph Biden, di Gedung Putih.

Jika kita berharap Indonesia akan mendapatkan kesempatan lebih baik di hari kedua, hari terakhir pertemuan, pada sesi yang lebih mungkin mencatatkan kesan di benak para peserta, hal itu juga tak terjadi. Pada hari kedua, Jumat (13/5), usai sesi pertemuan para kepala negara ASEAN dengan Wakil Presiden Kamala Harris, yang terfokus pada kerja sama maritim dan upaya recovery pasca-pandemi, kepala negara ASEAN juga diberi kesempatan untuk berbicara.

Pada sesi diskusi yang difokuskan pada transformasi energi bersih, agenda aksi iklim dan pembangunan infrastruktur berkelanjutan itu, yang didaulat berbicara tidak hanya dua, melainkan bahkan tiga kepala negara. Sayangnya, kembali Presiden Joko Widodo kita tidak berada pada daftar pembicara. Yang diminta bicara dan terdaftar dalam agenda justru Perdana Menteri Laos, Phankham Viphavanh (yang barangkali namanya saja baru kali ini Anda dengar);  Perdana Menteri Thailand, Prayuth Chan-o-cha, serta Presiden Filipina, Rodrigo Duterte.

Sesi hari kedua itu diakhiri dengan pertemuan dan diskusi para kepala negara ASEAN dengan Presiden Biden.

Tak tercatat ada kesempatan yang diberikan pihak penyelenggara, Kementerian Luar Negeri AS, kepada Presiden Joko Widodo untuk berbicara. Setidaknya dari dua halaman agenda acara US-ASEAN Summit yang disebar Kemlu AS.

Saya tak ingin berspekulasi—apalagi kapabilitas saya untuk bicara politik luar negeri pun sangat terbatas—mengapa AS memperlakukan Indonesia sedemikian buruknya. Padahal, dengan ukuran apa pun, baik saat ini maupun dalam sejarah ASEAN, peran Indonesia terlalu signifikan untuk diabaikan. Boleh saja kita mengajukan kemungkinan terdekat, yakni sikap Indonesia yang terlalu ‘abu-abu’ soal invasi Rusia di Ukraina, atau posisi Indonesia yang mungkin bagi AS dianggap terlalu dekat ke Cina, sementara hubungan AS-Cina tidak sedang dalam era bulan madu, bisa saja kita inventarisasi.

Tetapi apa pun alasan sejatinya, mengabaikan Indonesia dengan kesan seolah tak memandang sebelah mata, tampaknya akan menjadi batu sandungan AS pada saatnya. Mungkin tidak dalam lima-sepuluh tahun. Tetapi dalam 25 tahun ke depan, hal itu tidak boleh, dan jangan terjadi lagi.

Pasalnya, mengabaikan Indonesia saat itu hanya akan merugikan AS. Berdasarkan prediksi kantor pusat PricewaterhouseCoopers (PWC), pada 2050-an itu Indonesia sudah merupakan negara ekonomi terbesar keempat di dunia.  Dalam laporan PWC berjudul “How will the global economic order change by 2050?” itu disebutkan, Indonesia, dengan GDP yang diproyeksikan tercatat 7.275 miliar dolar, Indonesia hanya dua tingkat di bawah ekonomi AS—kedua terbesar di dunia saat itu, yang mencatat GDP 34.102 miliar dolar AS. Sementara ekonomi terbesar dunia saat itu sudah dipegang Cina yang mencatatkan prediksi GDP 49.853 miliar dolar AS.

Bahkan, PWC sama sekali tidak menutup kemungkinan, negara ekonomi terbesar kedua itu boleh jadi bukan AS. Dengan tingkat pertumbuhan GDP negara-negara E-7 (emerging 7), yakni Cina, India, Brasil, Turki, Rusia, Meksiko, dan Indonesia, yang rata-rata 3,5 persen, sementara ekonomi negara-negara G-7 justru mengalami penurunan rata-rata 1,6 persen setahun, boleh jadi India-lah yang pada 2050 itu menjadi negara ekonomi terbesar kedua setelah Cina. AS akan membuntutinya di tempat ketiga. Hanya satu peringkat saja di atas Indonesia.

Tetapi tentu saja, sebuah masalah bisa dilihat dari banyak sisi. Sisi lainnya, bila kepada negara terbesar di ASEAN, yakni Indonesia, AS bisa melakukan pengabaian yang menyakitkan seperti itu, itu boleh juga diartikan bahwa apa yang (telah) dilakukan Indonesia dipandang sangat berarti oleh AS. Sekali lagi, mungkin itu soal hubungan dengan Cina, sikap abu-abu dalam krisis di Ukraina, atau yang lain yang tak sempat kita inventarisasi. [dsy]

Oleh: Darmawan Sepriyossa

 

 

Back to top button