Kanal

Menerawang Kecurangan Pemilu yang Terus Berulang

Tanpa proses pemilu yang jujur, maka kekuasaan yang dihasikan pun dapat dipastikan akan menyimpang. Orang yang terpilih nanti sesungguhnya bukanlah sosok yang layak berkuasa. Dengan begitu, pelaksanaan kekuasaan juga akan berjalan penuh kecurangan dan manipulatif.

Oleh Wiguna Taher

Mungkin anda suka

Frasa “Kecurangan Pemilu yang Terstruktur, Sistematis dan Masif” pernah begitu populer tatkala kontestasi Pilpres dihelat tahun2019 silam. Kubu Prabowo-Sandiaga Uno yang kalah dalam penghitungan suara, begitu gencar mengamplifikasi dugaan kecurangan pemilu. Langkah hukum pun ditempuh melalui Mahkamah Konstitusi. Hasilnya, gugatan yang diajukan seolah membentur tembok dan sama sekali tidak efektif dalam mengungkap dugaan kecurangan, apalagi mengubah hasil pemilu.

Sepertinya, praktik curang dalam Pemilu kali ini justru berlangsung lebih dini. Bukan mustahil nantinya akan muncul lagi frasa yang kurang lebih sama. “Lebih Terstruktur, Lebih Sistematis dan Lebih Masif”.

Sama sekali tidak bermaksud untuk suudzan (berprasangka buruk), tetapi realitas politik mutakhir memang sudah menuju ke arah itu.

Ikhwalnya adalah pernyataan Ketua Majelis Syura Partai Ummat Amien Rais yang menyebut bahwa dirinya mendapatkan informasi yang valid bahwa partai besutannya tidak lolos varifiaksi faktual KPU.

“Video ini kami buat setelah kami mendapatkan informasi A1 yang valid. Bahwa pada tanggal 14 Desember 2022 nanti, seluruh partai baru dan partai nonparlemen akan diloloskan oleh KPU, kecuali Partai Ummat,” kata Amien Rais dalam sebuah video yang diterima Inilah.com di Jakarta pada Selasa (13/12/2022).

Mantan Ketua MPR itu juga merasa bahwa keputusan KPU terhadap hal ini sangat bias dan penuh kejanggalan. “Tampaknya atas perintah kekuatan yang besar, Partai Ummat di-single out atau satu-satunya yang disingkirkan sehingga Partai Ummat tidak bisa mengikuti Pemilu 2024,” terangnya.

Benar saja, saat KPU mengumukan partai politik peserta pemilu, Rabu (14/12/2022) lalu, hanya Partai Ummat yang tidak lolos. Dari 34 provinsi sebagai syarat wajib menjadi peserta pemilu, Partai Ummat dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) di dua provinsi, yakni Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Timur.

Atas keputusan itu, Partai Ummat mengajukan gugatan sengketa proses pemilu ke Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) pada Jumat, 16 Desember lalu. “Kita kerahkan semua bukti-bukti itu, tidak akan terbantahkan,” tukas Amien.

Belakangan, KPU dan Partai Ummat menggelar mediasi sengketa verifikasi faktual yang difasilitasi Bawsalu. Dalam proses mediasi yang berlangsung lima jam, Selasa (20/12/2022) itu KPU dan Partai Ummat mencapai kesepakatan. Partai Ummat mendapat kesempatan verifikasi ulang di 16 kota/kabupaten, di mana keanggotaan Partai Ummat sebelumnya dinyatakan tidak memenuhi syarat minimal.

Lepas dari bagaimana hasil akhir sengketa Partai Ummat dan KPU, rentetan peristiwa politik terkini itu paling tidak mengkonfirmasi dugaan telah terjadi kecurangan sejak dini dalam proses pemilu 2024.  Apa motif di balik semua ini, hanya KPU dan tangan tangan tersembunyilah yang tahu.

Praktik Curang Elit KPU

Dugaan kecurangan pada proses verifikasi faktual itu celakanya melibatkan elit KPU. Berdasarkan laporan yang masuk ke Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih, petinggi KPU “memaksa” KPU Daerah untuk mengubah data beberapa partai politik dari Tidak Memenuhi Syarat (TMS) menjadi Memenuhi Syarat (MS) sebagai peserta Pemilu 2024 dalam Sistem Informasi Partai Politik (Sipol).

Mereka diiming-imingi akan dipilih lagi menjadi anggota KPU pada tahun 2023.

“Apa iming-imingnya? Iming-iming untuk nanti akan dipilih pada proses pemilihan calon anggota KPU provinsi kabupaten kota yang akan digelar tahun 2023,” kata Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana dalam konferensi pers secara daring, Minggu (18/12/2022).

Nah, bagi mereka yang tidak mematuhi instruksi, petinggi di KPU Pusat mengancam memutasi pegawai tersebut.

Praktik kecurangan ini bermula pada tanggal 7 November 2022. Pada hari itu, hasil rekapitulasi verifikasi faktual parpol oleh KPU Provinsi dijadwalkan akan diserahkan kepada KPU Pusat.

Anggota KPU Pusat melalui video call mendesak KPU Provinsi untuk mengubah status verifikasi faktual sejumlah parpol dari TMS menjadi MS dalam Sipol. Untung saja, tidak semua anggota KPU Daerah, baik provinsi kabupaten/kota, sepakat menjalan instruksi.

KPU Pusat pun tidak tinggal diam. Lewat Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPU Pusat Bernad Darmawan Sutrisno, semua sekretaris KPU Provinsi diminta untuk memerintahkan pegawai operator Sipol kabupaten/kota datang ke KPU Provinsi dan mengubah status verifikasi parpol.

Konon Sekjen KPU sempat berkomunikasi melalui video call lagi untuk menginstruksikan secara langsung disertai dengan ancaman mutasi bagi pegawai yang menolak.

Bernad sendiri membantah dirinya terlibat dugaan rekayasa hasil verifikasi faktual keanggotaan partai politik calon peserta Pemilu 2024.

“Tuduhan bahwa saya melakukan intimidasi dan ancaman melalui video call pada tanggal 7 November 2022 itu tidak benar. Karena setiap kegiatan sudah ada tim teknis yang memiliki tugas untuk menjelaskan substansi,” ujar Bernad Minggu (18/12/2022).

Dia berkilah, sekretariat di setiap tingkatan KPU berfungsi sebagai supporting system. Artinya, sekretariat KPU hanya berwenang memfasilitasi terlaksananya setiap tahapan pemilu, termasuk tahapan verifikasi partai politik.

“Kebijakan dan keputusan di setiap tahapan merupakan wewenang ketua dan anggota KPU (pusat, provinsi dan kabupaten/kota),” ujar dia.

Soal bantah membantah dalam praktik politik adalah hal yang lumrah. Esensi persoalannya bukan pada soal siapa yang betul atau yang salah, karena proses pembuktiannya memang belum ada.

Sebagai penyelanggara pemilu, KPU sudah sepantasnya memosisikan dirinya di tempat yang semestinya. Tidak boleh berpihak, tidak bisa condong ke peserta pemilui tertentu, apalagi berperilaku korup seperti beberapa anggota KPU periode sebelumnya.

Apa yang dipertontonkan petinggi KPU belakangan ini menjadi cermin betapa proses pemilu nanti akan berjalan pincang, dan pada akhirnya akan menghasilan produk yang tertatih-tatih.

Itu sebabnya, kita setuju dan mendukung penuh gerakan yang diinisiasi puluhan tokoh seperti Busyro Muqodas, Novel Baswedan, Feri Amsari, Abraham Samad, Djohermansyah Djohan dan Hadar Nafis Gumay, yang melayangkan teguran terbuka kepada KPU melalui lewat surat berjudul “Jangan Curang dan Pastikan Pemilu Berlangsung Tepat Waktu 2024”

Kita tidak ingin pemilu 2024 nanti akan mengulang catatan kelam pemilu 2019, yang oleh sebagian kalangan dipandang sebagai pemilu paling brutal dalam sejarah demokrasi Indonesia.

Seperti harapan Presiden Jokowi, agar KPU meghadirkan pemilu tanpa rasa was-was. Tentu saja harus tetap menganut asas jujur dan adil. Tidak curang. Tanpa proses yang jujur, maka kekuasaan yang diperoleh dapat dipastikan juga akan menyimpang. Orang yang terpilih nanti sesungguhnya bukanlah sosok yang layak berkuasa. Dengan begitu, pelaksanaan kekuasaan juga akan penuh kecurangan dan manipulatif.

Wiguna Taher – Pemimpin Redaksi Inilah.com

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button