News

Megawati Sebut PDIP Tidak Pernah Beroposisi, Minta Istilah Koalisi Diluruskan

Jumat, 16 Sep 2022 – 22:33 WIB

Fauzilamboka 20220915 233755 - inilah.com

Mungkin anda suka

Presiden Kelima RI Megawati Soekarnoputri menjadi pembicara kunci di Jeju Forum for Peace and Prosperity tahun 2022, di Jeju, Korea Selatan, Kamis (15/9/2022). Foto: Antara

Ketum PDI Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri meminta media untuk meluruskan istilah oposisi-koalisi dalam berpolitik. Dia menilai terminologi itu keliru untuk diterapkan pada sistem politik Indonesia, dan membantah jika disebut PDIP beroposisi selama dua periode pemerintahan Presiden SBY.

Presiden ke-5 RI menilai, istilah koalisi-oposisi membuat rancu sistem politik kita yang presidensial. Pengertian koalisi-oposisi menurutnya hanya berlaku pada pemerintahan parlementer dengan perdana menteri sebagai pemimpin pemerintahan. Namun, Indonesia juga pernah menerapkan sistem parlementer dengan perdana menteri sebagai kepala pemerintahan, sehingga tidak sedikit pihak yang menyebut sistem politik Indonesia semipresidensial.

“Saya kan enggak pernah mau dibilang oposisi ketika pemerintahan Pak SBY. Kan dibilang PDI Perjuangan menjadi oposisi, endak. Saya bilangnya apa? PDI Perjuangan, tidak ada dalam kabinet,” ucapnya, di Seoul, Korea Selatan, sebagaimana siaran pers yang diterima di Jakarta, Jumat (16/9/2022).

Mega meminta istilah koalisi-oposisi diganti menjadi kerja sama politik lintas parpol. Indonesia dianggapnya jauh berbeda dengan negara-negara barat yang akrab dengan koalisi-oposisi karena sistem pemerintahannya memang mendukung.

Menurut Mega, sistem politik yang dipakai di Indonesia tidak memungkinkan membuat adanya koalisi parpol, sebagaimana yang telah ia jelaskan berulang kali, kendati konstitusi mengatur gabungan parpol untuk mengusung capres-cawapres pada pilpres.

“Indonesia itu tidak memakai sistem koalisi, jadi kalau mau bilang kerja sama boleh,” tuturnya.

Ia menjelaskan bahwa Indonesia menganut sistem presidensial, sehingga berbeda dengan sejumlah negara di Barat yang memakai sistem parlementer. Di mana kepala pemerintahannya bukan seorang presiden tetapi perdana menteri.

“Sistem pemilunya itu. Kenapa saya bisa berkata begitu? Karena saya pernah waktu anggota DPR itu diundang ke Amerika, antara lain untuk melihat cara kerja sistem Amerika melaksanakan cara pemilunya,” ujarnya.

Sebagai mekanisme internal parpol, menurutnya sah saja apabila ada parpol yang hendak melakukan konvensi untuk mencari calon presidennya. Namun bila disebut koalisi, ujarnya lagi, seharusnya dilakukan benar-benar dari tingkat bawah atau tingkat pengurus parpol terendah di antara partai politik yang berkoalisi.

“Jadi kerancuan ini saya bilang tolong betul dihentikan dan harus dijelaskan kepada masyarakat dan semua mereka yang bekerja politik bahwa tak ada koalisi. Karena koalisi itu nantinya benar-benar saya bilang, dengan kerja sama itu, begini (berbeda),” tuturnya.

Megawati menyebut kerja sama seperti itu hanya seperti kesepakatan saja atau semacam memorandum of understanding (MoU). Ia kemudian menyontohkan sejumlah pemberitaan televisi yang mengabarkan pertemuan antara Prabowo Subianto dengan Puan Maharani melahirkan tiga kesepakatan.

“Nah itu kan begitu kan. Maksudnya, pertanyaannya ini dapat dirubah atau tidak, yang kerja sama bisa. Tapi kalau yang koalisi, kemungkinannya sulit. Karena sudah dari bawah,” kata Megawati.

“(Kalau sistem koalisi) Jadi kalau partai A itu di bawah saja sudah kemenangan besar, di sini ada, dan juga kan pemerintahan mereka, itu kan ada yang namanya oposisi,” ujarnya menambahkan.

Megawati berharap media massa dapat membetulkan kesalahpahaman soal istilah koalisi tersebut. “Kalau tidak, itu menurut saya tidak mendewasakan kehidupan berbangsa dan bernegara,” katanya.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button