Belum genap sebulan menjabat Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero/GIAA) Tbk, Wamildan Tsani Panjaitan sesumbar menambah armada pesawat hingga 20 unit. Padahal, keuangan maskapai penerbangan pelat merah ini masih berdarah-darah.
“Dan target kami nanti di tahun 2025 kita akan menambah pesawat lagi, 15-20 pesawat lagi. Ya tentunya ini membutuhkan kerja sama, komunikasi, dan koordinasi dengan kementerian-kementerian terkait,” kata Wamildan di Jakarta, dikutip Sabtu (7/12/2024).
Wamildan menyebut, GIAA membutuhkan tambahan pesawat untuk membawa penumpang. Saat ini, Garuda sudah mendapat tambahan 1 unit pesawat. Menyusul 2 unit pesawat anyar yang dijadwalkan tiba pada Januari 2025.
“Dan kami sampaikan kabar gembira bahwa di Garuda Indonesia, nanti satu pesawat sudah datang, saat ini sedang dalam proses painting dan juga refurbishment interior pesawat. Kemudian direncanakan nanti di akhir bulan ini juga datang satu pesawat lagi dan dua pesawat nanti di Januari. Ya itu yang sudah pasti dan kemudian sudah ada tanggal delivery date-nya,” sambung Wamildan.
Staf Khusus (Stafsus) Menteri BUMN, Arya Sinulingga membenarkan adanya kekurangan jumlah pesawat di Garuda. Saat ini, armada Garuda Group yang aktif susut dari 150 unit menjadi 90 unit.
“Sebelum pandemi itu kita punya berapa ya? 150 sebelum pandemi, saat ini 90, berarti kan kurang memang pesawat kita. Nah, karena kurang pesawat, wajar kalau misalnya BUMN juga mencari celah, apakah bisa ada penambahan pesawat,” ujar Arya.
Sah-sah saja bos anyar Garuda punya ambisi menambah pesawat besar-besaran. Tapi, dari mana uangnya? Saat ini, keuangan Garuda sedang dirundung masalah hebat.
Dikutip dari laporan keuangan semester I-2024, utang jangka panjang yang harus ditanggung Garuda mencapai US$ 661,62 juta atau Rp10,1 triliun.
Utang itu berasal dari sejumlah bank, yakni Bank Panin sebesar US$ 25,84 juta dan Bank Permata senilai US$ 11,95 juta.
Serta Bank of China Co. Ltd senilai US$3,93 juta dan Bank of China Limited yakni US$3,61 juta. Ditambah utang jangka panjang dari pihak ketiga yaitu Bank Maybank Indonesia senilai US$ 35 juta, Bank CTBC Indonesia US$ 15,34 juta, Bank KEB Hana US$ 6,3 juta, dan Bank Central Asia atau BCA senilai US$ 890,79 juta.
Eh, masih adalagi utang jangka pendk yang harus ditanggung Garuda senilai US$958,4 ribu atau setara Rp14,63 miliar. Utang jangka pendek GIAA itu, berasal dari PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA).
Selain utang, Garuda juga harus memikul kerugian akibat berat ongkos di sejumlah pos. Misalnya, beban operasional sepanjang semester I-2024, mencapai US$ 839,12 juta, setara Rp12,81 triliun. Angka ini meningkat 15,02 persen dibandingkan paruh pertama di 2023 yang mencapai US$ 729,49 juta.
Secara rinci, biaya bahan bakar yang paling berat, yakni US$535,51 juta, meningkat dari sebelum US$439,2 miliar (year on year/yoy). Ditambah beban penyusutan US$168,86 miliar dari US$163,04 miliar (yoy). Lalu pos pemeliharaan dan perbaikan senilai US$257,57 juta. Atau naik US$ 159,49 juta (yoy).
Beban umum dan administrasi GIAA juga meningkat menjadi US$ 123,05 juta dari sebelum US$97,15 juta (yoy). Beban tiket, penjualan dan promosi US$84,1 juta dari sebelumnya US$ 72,3 juta dan beban pelayanan penumpang US$107,16 juta. Sementara untuk beban keuangan US$246,45 juta dari sebelumnya US$222,77 juta (yoy).