Market

Masalah Ayam Bikin Pening Malaysia

Ketika Indonesia sibuk dengan tingginya harga minyak goreng, lain lagi di Malaysia. Negara tetangga serumpun Melayu ini tengah mengalami kekurangan pasokan ayam di dalam negerinya. Malaysia pun melakukan beberapa langkah seperti yang dilakukan Indonesia ketika menghadapi fenomena minyak goreng.

Masih ingat film kartun anak ‘Upin dan Ipin’ yang diproduksi di Malaysia dan diputar di TV di Indonesia? Anak kembar berkepala plontos ini menjadikan ayam goreng sebagai makanan favoritnya. Ini menjadi gambaran umum bahwa warga Malaysia menjadikan daging ayam sebagai komoditas penting.

Di Malaysia, harga apa saja bisa naik tapi warganya tidak akan mengeluh, kecuali harga ayam. Karena itu, ketika harganya naik dan mengalami kekurangan pasokan ayam utuh dan potong, konsumen Malaysia pun mulai berteriak. Beberapa pengecer terpaksa menjatah penjualan mereka.

Malaysia juga akan membatasi ekspor hingga 3,6 juta ayam per bulan mulai 1 Juni 2022, sebagai salah satu langkah untuk mengatasi kekurangan pasokan domestik. Mirip seperti Pemerintah Indonesia yang sempat melarang ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan turunannya menyusulnya tingginya harga minyak goreng di dalam negeri.

“Prioritas pemerintah adalah rakyat kita sendiri,” kata Perdana Menteri Ismail Sabri Yaakob dalam sebuah pernyataan, baru-baru ini.

Kelangkaan ayam di Malaysia ini disebabkan beberapa faktor, terutama kenaikan biaya pakan. Juga perubahan iklim, infeksi penyakit, kurangnya pekerja, penggunaan kandang terbuka, serta proses vaksinasi ayam yang tidak terjadwal. Hampir 80 persen peternak ayam di Malaysia menggunakan kandang unggas terbuka. Hanya sedikit peternak yang menggunakan sistem kandang ayam tertutup dengan teknologi yang optimal.

Selain menghentikan ekspor, Malaysia akan menambah stok ayam dan mengoptimalkan fasilitas penyimpanan dingin yang ada di bawah Kementerian Pertanian dan Industri Makanan dan lembaga terkait.

Pemerintah Malaysia juga membahas kemungkinan peninjauan kembali kebijakan ekspor bungkil inti sawit yang dapat digunakan sebagai pakan ternak, dalam upaya menstabilkan pasokan ayam di negara tersebut. Saat ini, bungkil inti sawit Malaysia banyak yang diekspor untuk industri peternakan Eropa.

Pakan ayam biasanya terbuat dari biji-bijian dan kacang kedelai, yang diimpor Malaysia. Tetapi invasi Rusia ke Ukraina dan pola cuaca yang tidak menentu telah menciptakan kekurangan global. Akibatnya, ayam diberi makan lebih sedikit, menyebabkan ternak tumbuh lebih lambat dari biasanya, dan dalam prosesnya membatasi pasokan unggas.

Seperti di Indonesia, ketika terjadi kelangkaan dan lonjakan harga minyak goreng, tudingan pun mengarah kepada mafia. Perdana Menteri Ismail Sabri Yaakob juga tidak mengeyampingkan kemungkinan hal itu. Pihak berwenang juga akan menyelidiki tuduhan harga kartel. Hanya saja di Malaysia belum terlihat aksi penegakan hukum seperti yang dilakukan Kejaksaaan Agung RI yang meringkus pejabat dan pengusaha yang dituding ikut bermain di kasus minyak goreng ini.

Tentukan Batas Harga Ayam

Jika harga dibiarkan mengikuti pasar, harga ayam di Malaysia saat ini bisa mencapai RM12 (sekitar Rp40.000) per kilogram. Karena itu gejolak harga dan pasokan ini mendapat perhatian luas.

Malaysia saat ini memberlakukan batas harga RM8,90 per kg (hampir Rp30.000) untuk ayam standar. Ini akan berlaku hingga 30 Juni. Peternak dan pedagang ayam mengeluhkan margin keuntungan yang tipis, dengan alasan harga pakan yang mahal sebagai salah satu faktor kenaikan biaya operasional. Beberapa pedagang malah menjualnya di atas batas harga yang ditetapkan pemerintah.

“Dalam upaya untuk memastikan bahwa masyarakat tidak terbebani, pemerintah mensubsidi petani untuk menjaga harga pada RM8,90. Untuk ini, pemerintah menghabiskan RM720 juta,” katanya PM Ismail Sabri.

Sama seperti Indonesia, ketika menghentikan subsidi minyak goreng, pemerintah Malaysia juga menghentikan pemberian subsidi kepada peternak ayam mulai Juli. Sebaliknya, subsidi akan disalurkan langsung ke masyarakat.

“Tidak hanya untuk ayam, tetapi juga makanan lain jika harganya naik. Uang itu akan digunakan untuk menampung selisih harga… Yang membedakannya adalah apa yang akan kita berikan kepada masyarakat,” ujar PM Ismail.

Direktur Jenderal Departemen Pelayanan Kesehatan Hewan Malaysia Dr Norlizan Mohd Noor menyebutkan, kekurangan pasokan ayam di Malaysia diperkirakan akan teratasi dalam sebulan. Akan ada cukup pasokan untuk memenuhi permintaan perayaan Hari Raya Haji bulan depan, kata Norlizan. Pemerintan akan melibatkan banyak pihak termasuk pelaku industri untuk mengetahui masalah yang mempengaruhi pasokan. “Mereka berkomitmen untuk meningkatkan produksi. Kami sedang dalam proses pemulihan,” ujarnya.

Mengapa Indonesia Tak Bisa Bantu?

Apa yang terjadi dengan bisnis ayam Malaysia ini membuat beberapa negara yang biasa menerima ayam utuh dan potong dari negara jiran itu kelimpungan. Mereka sulit mendapatkan daging ayam, kalaupun ada harganya juga sangat tinggi.

Menurut statistik di situs web Federasi Asosiasi Peternak Malaysia, ekspor unggas hidup Malaysia meningkat dari 40,19 juta ekor pada 2007 menjadi 59,08 juta pada 2020. Malaysia mengekspor daging unggas senilai US$18,9 juta pada tahun 2020, menjadikannya pengekspor produk terbesar ke-49 di dunia.

Menurut platform data Observatory of Economic Complexity, pasar ekspor utamanya adalah Thailand, Singapura, Jepang, Hong Kong, dan Brunei Darussalam.

Singapura saja, mengimpor sekitar 34 persen ayamnya dari Malaysia, yang hampir semuanya didatangkan sebagai ayam hidup kemudian dipotong dan didinginkan secara lokal. Singapura juga mengimpor 52 persen pasokan telurnya dari Malaysia sepanjang tahun lalu.

Para importir ayam ini berebut mencari alternatif selain Malaysia. Mengapa Indonesia tidak memanfaatkan peluang ini? Pasokan ayam Indonesia yang sangat besar lebih banyak digunakan untuk konsumsi dalam negeri. Industri perunggasan Indonesia sulit meningkatkan produksinya untuk menggantikan pasokan ayam ke negara-negara yang dipasok Malaysia.

Ketua Umum Persatuan Peternak Rakyat Nasional Indonesia (PPRN), Alvino Warjiantono mengatakan bahwa akan sulit bagi petani Indonesia untuk meningkatkan produksi karena ekspor ayam Indonesia kecil.

“Ekspor kami sangat kecil karena belum mampu menjaga harga agar tetap kompetitif,” kata Alvino mengutip CNA.

Menurut data Kementerian Pertanian RI, Indonesia saat ini menghasilkan 3,4 juta ton daging ayam setiap tahun, 500 ton atau 15 persennya diekspor ke negara-negara seperti Timor Leste dan Papua Nugini. Masalah utama sulitnya peternak ayam Indonesia untuk memperluas ekspor adalah fluktuasi harga pakan ayam yang membuat harga ayam Indonesia tetap tinggi.

Indonesia masih mengandalkan pakan impor seperti jagung dan kedelai. Akhir-akhir ini, harga komoditas tinggi karena situasi global. Itulah sebabnya banyak produsen enggan mengekspor ayam mereka karena setelah ditambah biaya logistik, harga penjualan mereka tidak akan mendapat untung.

Artinya Indonesia tak bisa mengisi peluang kekosongan pasar ayam ini. Namun sebaiknya, kalaupun tak bisa memanfatkan peluang ekspor, rasanya Indonesia harus mulai berhati-hati dengan kebijakan soal perunggasan ini. Jangan sampai apa yang terjadi di Malaysia juga terjadi di Tanah Air. Kita tahu, masyarakat Indonesia sudah sangat tergantung dengan daging dan telur ayam. [ikh]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button