News

Malaysia Tak Serius Patuhi MoU Soal PMI, Awas Main Curang!

Malaysia tampaknya tak serius berkomitmen menerima Pekerja Migran Indonesia (PMI). Padahal negara jiran itu sangat membutuhkan PMI. Masih ada upaya untuk mengabaikan kesepakatan sehingga Pemerintah Indonesia terpaksa menghentikan sementara pengiriman PMI ke Malaysia.

Pada awal April 2022, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah telah meneken nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) tentang Penempatan dan Perlindungan PMI Sektor di Domestik di Malaysia. Penandatangan kerja sama ini memperbarui perjanjian serupa yang berakhir pada 2016.

Dalam MoU ini, ada kesepakatan soal perbaikan upah dan jaminan perlindungan yang lebih baik. MoU tersebut berisi lima kriteria. Salah satu yang masih mengganjal adalah penggunaan sistem satu kanal atau One Channel System (OCS) yang menjadi salah satu poin penting dalam MoU tersebut.

Karena tidak mematuhi MoU ini, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah telah menghentikan sementara penempatan PMI sektor domestik ke Malaysia. Ida beralasan Negeri Jiran itu tidak mengikuti nota kesepahaman untuk menerapkan sistem OCS. MoU itu menyatakan penempatan lewat sistem satu kanal sebagai satu-satunya cara menempatkan PMI sektor domestik ke Malaysia.

Muncul temuan bahwa Malaysia masih membuka sejumlah saluran perekrutan lain selain yang telah disepakati dengan pemerintah Indonesia. “Ini menyulitkan pemerintah untuk memantau dan melindungi pekerja migran,” tambah Rendra Setiawan, Direktur Bina Penempatan dan Perlindungan PMI Kementerian Ketenagakerjaan.

Duta Besar Indonesia untuk Malaysia Hermono juga sudah merekomendasikan moratorium penyaluran pekerja baru. “Kalau MoU tidak ada sanksi, kami minta komitmennya, kalau masih tidak komitmen sesuai MoU, paling tidak kami hanya bisa menutup,” jelas dia.

Menteri Sumber Daya Manusia Malaysia S Saravanan mengungkapkan telah menerima surat dari pihak berwenang Indonesia yang menginformasikan kepadanya tentang rencana moratorium tersebut. Dia mengatakan bahwa dia akan membahas masalah ini dengan Kementerian Dalam Negeri, yang mengawasi departemen imigrasi.

Pukulan Terbaru bagi Malaysia

Penghentian pengiriman PMI ini tentu saja menjadi pukulan baru bagi Malaysia. Negara penghasil minyak sawit terbesar kedua di dunia dan mata rantai utama dalam rantai pasokan global ini bergantung pada jutaan pekerja asing, yang sebagian besar berasal dari Indonesia, Bangladesh, dan Nepal.

Negara tetangga ini menghadapi kekurangan sekitar 1,2 juta pekerja yang dapat menggagalkan pemulihan ekonominya. Pelaku industri di Malaysia menyebutkan mereka kekurangan 600 ribu pekerja, konstruksi membutuhkan 550 ribu, dan industri kelapa sawit melaporkan kekurangan 120 ribu pekerja. Sementara produsen chip kekurangan 15 ribu pekerja dan terpaksa tidak dapat memenuhi permintaan meskipun pasokan chip global mengalami kekurangan. Sedangkan produsen sarung tangan medis mengatakan mereka membutuhkan 12 ribu pekerja.

Sektor kelapa sawit mengalami masalah paling sulit akibat kekurangan tenaga kerja ini. Industri minyak sawit, yang menyumbang 5 persen bagi perekonomian Malaysia, memperingatkan bahwa 3 juta ton panen bisa hilang tahun ini karena buah busuk gara-gara tidak dipetik, yang berarti mengalami potensi kerugian lebih dari US$4 miliar.

Apa penyebabnya? Ada kekhawatiran yang berkembang dalam beberapa tahun terakhir atas perlakuan terhadap pekerja migran di Malaysia. Ini penting karena menjadi penghambat dalam mencari pekerja migran. Terkait hak pekerja ini, AS telah melarang tujuh perusahaan Malaysia selama dua tahun terakhir atas apa yang disebut Washington sebagai ‘kerja paksa’.

Malaysia Dituduh Main Curang

Pemerintahan Malaysia dalam kasus penerimaan PMI ini seringkali mau untung sendiri. Mereka sangat membutuhkan tenaga kerja dari luar tapi masih terkesan masih setengah-setengah dalam memberikan perlindungan dan pemberian hak-hak pekerja.

“Dulu kita pernah moratorium, tetapi kemudian Malaysia main curang dengan menampung teman-teman PMI yang datang ke sana tanpa dokumen, lalu diterbitkan visa, tanpa ada MoU dengan kita,” ungkap Anis Hidayah, Ketua Pusat Studi Migrasi Migrant Care.

Karena itu, ia mendukung langkah moratorium penyaluran pekerja migran ke Malaysia sebagai salah satu sikap tegas Indonesia. Namun, Anis mengingatkan bahwa pemerintah harus memastikan kebijakan moratorium berjalan.

Dia mengkhawatirkan pihak Malaysia masih merekrut PMI tanpa pemberitahuan ke Indonesia, seperti tertuang pada MoU yang ditandatangani April 2022. Selain itu, pemerintah perlu menyediakan alternatif bagi PMI yang ingin bekerja di Malaysia dan terdampak oleh kebijakan moratorium.

Anggota Komisi IX DPR RI Saleh Partaonan Daulay yang juga mendukung kebijakan moratorium pengiriman PMI ke Malaysia mengingatkan pengawasan dan jaminan bahwa tidak ada pengiriman PMI secara ilegal dan non-prosedural ke Malaysia. Ia menegaskan jangan sampai keputusan moratorium ini malah membuat PMI berangkat tanpa melalui jalur formal ke Malaysia.

“Moratorium seperti ini kan sudah dilakukan ke negara-negara Timur Tengah. Faktanya, PMI tetap berangkat secara informal dan non-prosedural. Saya mendapat informasi, jumlahnya sangat banyak,” kata dia. Artinya, moratorium itu tidak memperbaiki keadaan sebagaimana yang diinginkan. Justru, ada masalah baru di mana perlindungan PMI semakin tidak tertangani karena tidak terpantau.

Jika PMI berangkat menggunakan jalur ilegal maka haknya sebagai pekerja tidak terjamin, seperti jam kerja, gaji hingga rawan menjadi korban kejahatan. Sementara jika di kemudian hari muncul masalah, barulah pemerintah kesulitan.

Peringkat Keempat Pengiriman PMI

Per Juni 2022, Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) mencatat bahwa Malaysia menduduki peringkat keempat dengan PMI terbanyak yakni 812 orang, atau 5,2 persen dari 15.641 orang.

Sementara secara akumulatif Januari-Juni 2022, PMI di Malaysia juga terbanyak keempat dengan total 1.200 orang. Namun, jumlah PMI di Malaysia selama Januari-Juni 2022 masih lebih sedikit dari Hong Kong (24.753 orang), Taiwan (17.890 orang), dan Korea Selatan (3.030 orang).

Berdasarkan sektor, PMI yang bekerja di sektor formal tercatat sebanyak 9.638 penempatan atau 61 persen, atau lebih banyak dari informal sebanyak 6.003 penempatan atau 31 persen.

Pada periode sebelumnya, jumlah PMI yang bekerja di sektor formal dan informal masih cukup seimbang yakni 5.539 penempatan di sektor informal (50,2 persen) dan 5.484 penempatan pada sektor formal (49,8 persen).

Kendati demikian, pada semester I-2022, asisten rumah tangga (ART) atau housemaid masih menjadi pekerjaan paling banyak yang dilakukan oleh PMI. Selama Januari-Juni 2022, sebanyak 25.012 dari total 62.187 PMI bekerja menjadi ART di luar negeri.

Selain menjadi negara tujuan terpopuler, Malaysia juga merupakan negara dengan jumlah pengaduan pekerja migran Indonesia terbanyak sepanjang 2021. Bahkan, pada Januari 2022 sudah muncul 64 pengaduan baru. Masalah perlakuan terhadap PMI inilah yang sering memicu perdebatan kedua negara selama ini.

Indonesia sebelumnya sudah melakukan moratorium pengiriman TKI ke Malaysia. Apa yang terjadi terakhir ini menjadi gambaran tentang sikap Malaysia yang mau untung sendiri, dengan menghindari memperlakukan hak-hak pekerja sebaik-baiknya. Padahal mereka sangat membutuhkan PMI dari Indonesia untuk menggantikan warganya yang ‘manja’ tak mau bekerja keras.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button