News

Malaysia Kelimpungan, TKI Tak Kunjung Datang, Warganya Malas Bekerja

Malaysia kelimpungan gara-gara kekurangan pekerja migran terutama dari Indonesia. Perekonomian negara jiran pun terancam tersendat. Sementara warganya sendiri tak mau mengisi kekosongan karena dianggap pekerjaan yang kotor, kasar, dan berbahaya.

Perusahaan Malaysia dari sektor perkebunan kelapa sawit hingga pembuat semikonduktor terhambat penjualannya. Mereka menolak pesanan dan mengabaikan potensi pendapatan yang masuk. Hal ini karena kekurangan lebih dari satu juta pekerja. Pemulihan perekonomian negara itu pun terancam.

Meskipun telah mencabut pembekuan COVID-19 pada perekrutan pekerja asing pada Februari lalu, Malaysia belum melihat kembalinya pekerja migran yang signifikan. Lambatnya persetujuan pemerintah dan negosiasi yang berlarut-larut dengan Indonesia dan Bangladesh mengenai perlindungan pekerja menjadi batu sandungan.

Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau Pekerja Migran Indonesia (PMI) ke Malaysia sempat dibekukan dalam dua tahun terakhir. Masa berlaku MoU Penempatan dan Perlindungan Pekerja Domestik di Malaysia pada 2016 memang sudah habis. Pemerintah Indonesia kemudian meminta adanya pembahasan ulang terkait regulasi perlindungan pekerja tersebut.

Selama pembahasan, pemerintah menutup pintu untuk pengiriman PMI ke Malaysia. Pada 1 April 2022, pemerintah Indonesia dan Malaysia telah menandatangani nota kesepahaman tentang Penempatan dan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia di Malaysia, memperbarui perjanjian serupa yang berakhir pada 2016.

Dalam MoU ini, ada kesepakatan soal perbaikan upah dan jaminan perlindungan yang lebih baik terhadap PMI di Malaysia. Pemerintah Indonesia meminta Malaysia agar upah minimun PMI naik dari 1.200 ringgit menjadi 1.500 ringgit.

Menurut data Bank Indonesia (BI) dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI), Malaysia menjadi tujuan utama pekerja migran Indonesia pada tahun 2021. Pada 2021 ada sekitar 1,62 juta orang atau 50,03 persen dari total pekerja migran Indonesia berada di Malaysia.

Selain menjadi negara tujuan terpopuler, Malaysia juga merupakan negara dengan jumlah pengaduan pekerja migran Indonesia terbanyak sepanjang 2021. Bahkan, pada Januari 2022 sudah muncul 64 pengaduan baru. Masalah perlakuan terhadap PMI inilah yang sering memicu perdebatan kedua negara.

Bergantung pada Tenaga Kerja Asing

Malaysia yang bergantung pada ekspor ini sangat mengandalkan pada jutaan orang asing untuk pekerjaan di pabrik, perkebunan, dan jasa yang dijauhi oleh penduduk setempat karena dianggap kotor, berbahaya, dan sulit. Sudah sejak lama warga Malaysia sendiri malas untuk mengisi kekosongan pekerjaan ini.

Saat menjabat Perdana Menteri, Mahathir Mohamad beberapa kali menyebut orang Malaysia tidak mau bekerja keras. Warga Malaysia bergantung kepada bantuan finansial seperti Bantuan Rakyat 1Malaysia (BR1M) yang dibentuk di masa pemerintahan Barisan Nasional. Akibatnya Malaysia mendatangkan pekerja asing untuk melakukan pekerjaan yang tak ingin dilakukan warganya.

Saat ini, Malaysia kekurangan setidaknya 1,2 juta pekerja di bidang manufaktur, perkebunan dan konstruksi. Kekurangan ini semakin memburuk setiap hari karena permintaan tumbuh dengan meredanya pandemi. Selain mengandalkan pekerja dari Indonesia, Malaysia juga banyak berharap kedatangan pekerja migran asal Bangladesh.

Pelaku industri di Malaysia menyebutkan mereka kekurangan 600.000 pekerja, konstruksi membutuhkan 550.000, dan industri kelapa sawit melaporkan kekurangan 120.000 pekerja. Sementara produsen chip kekurangan 15.000 pekerja dan terpaksa tidak dapat memenuhi permintaan meskipun pasokan chip global mengalami kekurangan. Sedangkan produsen sarung tangan medis mengatakan mereka membutuhkan 12.000 pekerja.

Ancaman bagi Perusahaan

Gara-gara kekurangan tenaga kerja ini, para produsen, yang mengambil bagian hampir seperempat dari perekonomian nasionalnya, kehilangan peluang dari negara lain di tengah tingginya permintaan.

“Meskipun optimisme yang lebih besar dalam prospek dan peningkatan penjualan, beberapa perusahaan sangat terhambat terkait kemampuan mereka untuk memenuhi pesanan,” kata Soh Thian Lai, Presiden Federasi Produsen Malaysia, yang mewakili lebih dari 3.500 perusahaan, mengutip Reuters.

Sektor kelapa sawit yang mengalami masalah paling sulit akibat kekurangan tenaga kerja ini, kata Carl Bek-Nielsen, direktur eksekutif penanam kelapa sawit United Plantations.

“Situasinya mengerikan dan sangat mirip harus memainkan permainan sepak bola melawan 11 orang tetapi hanya diizinkan memainkan tujuh orang,” katanya.

Industri minyak sawit, yang menyumbang 5 persen bagi perekonomian Malaysia, memperingatkan bahwa 3 juta ton panen bisa hilang tahun ini karena buah busuk gara-gara tidak dipetik, yang berarti mengalami potensi kerugian lebih dari US$4 miliar.

Adapun industri sarung tangan karet memperkirakan pendapatan yang hilang tahun ini sebesar US$700 juta jika kekurangan tenaga kerja terus berlanjut.

Sementara perusahaan pembuat chip menolak permintaan dari pelanggannya setelah penduduk setempat tidak tertarik bekerja di industri ini dan banyak yang akan bergabung cuti dalam waktu kurang dari setengah tahun, kata Wong Siew Hai, Presiden Asosiasi Industri Semikonduktor Malaysia.

Belum ada pengumuman yang pasti tentang pengaruh kekurangan pekerja ini terhadap perekonomian nasional. Namun Purchasing Managers’ Index manufaktur Malaysia turun menjadi 50,1 pada Mei dari 51,6 pada April. Artinya hampir tidak ada ekspansi, karena sektor ini kehilangan sebagian besar pekerja sejak Agustus 2020, menurut data dari S&P Global.

Hak-hak Pekerja

Pada bulan April, Menteri Sumber Daya Manusia Malaysia M Saravanan mengatakan bahwa perusahaan telah meminta untuk mempekerjakan 475.000 pekerja migran tetapi kementerian hanya menyetujui 2.065. Alasannya, mereka menolak banyak pekerja karena informasi yang tidak lengkap atau kurangnya kepatuhan terhadap peraturan.

Saravanan mengatakan pemerintahnya sedang menyelesaikan masalah teknis, prosedur perekrutan dan kesepakatan dengan beberapa negara sumber.

Di sisi lain, Indonesia dan Bangladesh, dua sumber tenaga kerja asing terbesar di Malaysia, selama ini selalu mengingatkan Malaysia tentang pemenuhan hak-hak pekerja. Ini penting karena menjadi penghambat dalam mencari pekerja migran. Terkait hak pekerja ini, AS telah melarang tujuh perusahaan Malaysia selama dua tahun terakhir atas apa yang disebut Washington sebagai kerja paksa.

Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Hermono, sebelumnya mengatakan bahwa kekhawatiran tentang perlindungan pekerja muncul dalam pembicaraan bilateral baru-baru ini.

Sementara Menteri Kesejahteraan Ekspatriat dan Ketenagakerjaan Luar Negeri Bangladesh, Imran Ahmed juga mengatakan fokus utama pemerintahannya adalah kesejahteraan dan hak-hak pekerjanya. “Kami memastikan mereka mendapatkan upah standar, mereka memiliki akomodasi yang layak, mereka menghabiskan biaya minimum untuk migrasi dan mereka mendapatkan semua jaminan sosial lainnya.”

Ketergantungan terhadap asing di sektor ketenagakerjaan di Malaysia ini cukup ironis mengingat peluang bekerja itu tidak dimanfaatkan oleh warga negaranya sendiri. Berbeda dengan di Indonesia, banyak tenaga kerja yang justru ingin mendapatkan pekerjaan kalau perlu harus pergi negara lain untuk mendulang rezeki. [ikh]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button