Kanal

Lost in Translation

Oleh   : Zaenal Muttaqin

Sejak mengenal agama, pengetahuan tentang Rukun Islam termasuk hal yang pertama kali dipelajari, seperti tata cara syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji. Demikianlah kita beragama, tenggelam dalam detail praktik, hingga seringkali melupakan esensinya.

Tata cara yang ‘shahih’ tentu saja sangat penting untuk mencapai kesempurnaan ibadah, dan kesempurnaan ibadah akan mengantarkan pada tujuannya, esensinya. Lalu di mana kita menemukan esensi setiap ibadah? Allah memberikan jalan mudah: pada nama setiap ibadah.

Rukun Islam yang pertama, syahadat, makna tertingginya adalah penyaksian (musyahadah) dan menjadi saksi Allah (syahid). Rukun ini berasal dari kata syahada yang artinya: menyaksikan, bersaksi, dan madu. Syahadat adalah Rukun Islam yang pertama sekaligus puncaknya: madu kesaksian, kemanisan dari pertemuan.

Rukun Islam yang kedua, shalat, secara bahasa berasal dari kata shalla yang artinya terhubung, dari kata shala yang artinya: menghubungkan, memanggang, menyalakan api, menghangatkan [sesuatu]. Shalat berarti menghubungkan hamba dan Penciptanya, menghangatkan dialog dua arah, memantik api cinta, seperti tercermin dalam bacaan Al-Fatihah dalam setiap rakaat, “Hanya kepada-Mu hamba menyembah dan hanya kepada-Mu hamba memohon: Tunjukilah hamba Jalan yang Lurus” (Q.S. [1]: 5-6). Mengapa kita perlu berada di Jalan yang Lurus? Karena “sesungguhnya Rabbku di atas Jalan yang Lurus” (Q.S. [11]: 56). Jadi, bila ingin ‘berpapasan’ dengan Sang Kekasih, carilah Jalan yang Lurus karena Dia menunggumu di sana.

 

Karena itu derajat shalat diukur dari khusyunya, yang dalam bahasa Al-Quran dikatakan: “Mohonlah kepada Allah dengan sabar dan shalat; dan hal demikian itu sangatlah berat kecuali bagi orang-orang yang khusyu, yakni mereka yang berprasangka bahwa mereka sedang bertemu dengan Rabbnya” (Q.S. [2]: 45-46).

Jadi sebatas dzhan, prasangka, saja sudah dapat mengantarkan kita untuk khusyu; karena “Sesungguhnya Aku sesuai persangkaan hamba-Ku kepada-Ku” (Hadits Qudsi). Diawali khusyu, dengan prasangka semata, ke ilmul yaqin, ke ‘ainul yaqin, hingga haqqul yaqin. Inilah jalan shãla (terhubung) dengan Allah Ta’ala.

Rukun Islam yang ketiga, shaum, adalah yang paling dirayakan kaum Muslimin sedunia. Shaum (puasa) secara bahasa artinya: abstain, mencegah [dari sesuatu], menolak [sesuatu], kosong, diam. Meski yang wajib di bulan Ramadhan adalah abstain dari makan dan minum serta bersentuhan, namun ada satu contoh lain dalam Al-Quran yaitu shaum bicara: “Sesungguhnya aku telah bernazar bagi Dia Ar-Rahman untuk shaum, maka aku tidak akan bicara dengan seorang manusia pun pada hari ini.” (Q.S. [19]: 26).

Dalam Hadits Qudsi dikatakan: “Semua amalan anak Adam untuknya kecuali shaum; itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.” Manakala hati telah abstain, kosong, dari yang selain Allah, maka Dia akan hadir. Itu sebabnya shaum hanya untuk Allah, milik Allah, seolah kita sedang mempersiapkan dan mempercantik rumah bagi kedatangan Sang Kekasih, dan Dia datang tanpa hadiah atau ganjaran melainkan Dirinya saja.

Itu sebabnya Muhammad saw di masa mudanya kerap abstain, diam, di Gua Hira sepanjang bulan Ramadhan bahkan hingga 40 hari, sejak usia 35 tahun hingga 40 tahun, untuk mengundang kehadiran-Nya: saat diri kosong dari selain-Nya maka Dia hadir. Dan shaum fardlu dilaksanakan sebulan penuh di bulan Ramadhan, bulan pembakaran, yakni pembakaran dari segala unsur yang membuat Sang Kekasih enggan mendekat.

Rukun Islam yang keempat, zakat, punya nama lain yakni: shadaqah. Kata zakat dan shadaqah bisa saling dipertukarkan. Dalam Al-Quran, perintah berzakat menggunakan kedua kata tersebut: “Ambillah dari harta mereka shadaqah yang akan membersihkan mereka dan mensucikan mereka.” (Q.S. [9]: 103), dan di surah lain Allah berfirman: “Dan dirikanlah shakat dan tunaikanlah zakat dan berikanlah kepada Allah pinjaman yang baik” (Q.S. [73]: 20); dan juga firman-Nya: “Sesungguhnya shadaqah itu bagi fuqara, masakin, [dst] .. ” (Q.S. [9]: 60).

Agama mengatur bahwa dalam setiap zakat (shadaqah yang sifatnya wajib) ada nishab dan haul, yang mengatur batas harta dan batas waktu. Bila haul dan nishab tidak terpenuhi maka tidak ada kewajiban zakat baginya. Untuk zakat fitrah, nishab dan haulnya adalah: siapa pun yang masih berkelebihan makan di hari raya Iedul Fitri maka wajib baginya mengeluarkan zakat fitrah sebesar 1 sha (2,5kg) makanan pokok sebelum shalat Iedul Fitri ditegakkan.

Sebagaimana dikemukakan dalam surah At-Taubah ayat 103, tujuan dari zakat adalah membersihkan (thahir) harta dan mensucikan (zakaa) jiwa; dan dalam surah Al-Muzammil ayat 20 dikatakan: “Berikanlah kepada Allah pinjaman yang baik“, karena “kebaikan apa pun yang engkau usahakan bagi jiwamu maka engkau akan mendapatinya di sisi Allah” (Q.S. [2]: 184). Artinya: saat kita mengeluarkan harta maka hakikatnya Allah lah yang menerimanya dan itu bukan bukan saja menyucikan jiwa tetapi juga menjadi pinjaman yang akan dikembalikan lagi saat kita bertemu dengan-Nya.

Rukun Islam yang terakhir, haji, adalah bagi yang berkelapangan. Bukan berarti yang miskin tidak akan sempurna agamanya, karena segala bentuk ritual lahiriah ada rukhsahnya. Seperti musafir bisa menjama’ shalat, orang sakit dapat mengqadha puasa atau diganti fidyah, maka demikian pula untuk yang tidak sanggup berhaji maka Allah memberi jalan keluar (rukhsah) baginya. Dan puncak haji adalah berada di Arafah, dari kata i’tiraf, di mana kita sudah dapat berhujjah (berhaji) akan keberadaan Al-Haq.

Wallãhua’lam bi murãdih, wa huwa yahdi sabīl. [  ]

8 Ramadhan 1443 H / 9 April 2022 M

 

Back to top button