News

Lord Luhut di Belakang Rencana Penundaan Pemilu 2024?

Jagad politik Indonesia tegah menghangat. Tanpa angin dan hujan, partai politik menggoreng gagasan berbahaya: penundaan pemilu. Ide itu juga secara otomatis memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi, yang sedianya berakhir pada Oktober 2024 mendatang.

Awalnya Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa, yang secara terbuka melempar bola panas ini. Alasannya untuk perbaikan ekonomi pascapandemi COVID-19.

Mungkin anda suka

Bola panas ini disambar elite politik Nasional. Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, dan Presiden PKS Ahmad Syaikhu menolak wacana itu. Bahkan, Ketua Umum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) bersuara lebih keras.

“Gagasan itu mengkhianati semangat reformasi 1998. Ini hanyalah gerakan orang-orang yang ingin melanggengkan kekuasaan dengan menabrak konstitusi,” ujar AHY.

Bola panas ini menyisakan tanda tanya besar, siapa dalang di balik gagasan penundaan pemilu ini? Ada bocoran menarik di kalangan wartawan. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia kabarnya berada di belakangnya.

Luhut yang juga orang kepercayaan Jokowi itu secara senyap meminta partai politik mendukung gagasan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Bahkan Luhut mengklaim Presiden Jokowi setuju dengan langkahnya menjaring dukungan partai politik untuk mengaminkan penundaan pemilu.

Sementara itu Juru Bicara Luhut Binsar Pandjaitan, Jodi Mahardi menjawab pertanyaan media. Dia mengakui bahwa Luhut memang sering bertemu dengan tokoh politik. Namun, ia menampik Luhut yang juga tangan kanan Presiden Jokowi itu mendesain usulan penundaan Pemilu 2024.

Pakar Tata Negara Tentang Penundaan Pemilu 2024

Bola panas penundaan pemilu membuat tak sedikit orang yang membahasnya. Mayoritas reaksi publik tak sejalan dengan para penggagas ide ini.

Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra, misalnya, menilai penundaan Pemilu 2024 akan menjadi bahan perbincangan dan pertanyaan seluruh pihak. Pasalnya, mekanisme penundaan Pemilu tidak memiliki dasar hukum yang tertuang dalam Konstitusi atau Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Yusril menjelaskan, Pasal 22E UUD 1945 secara imperatif menyatakan bahwa pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden serta DPRD pelaksanaannya setiap lima tahun sekali.

“Jadi, jika Pemilu ditunda melebihi batas waktu lima tahun, maka atas dasar apakah para penyelenggara negara itu menduduki jabatan dan menjalankan kekuasaannya? Tidak ada dasar hukum sama sekali,” kata Yusril.

Penundaan Pemilu disinyalir akan membuat timbulnya pemerintahan yang ilegal. Sebab, dilakukan oleh penyelenggara negara yang tidak memiliki dasar hukum. Adapun penyelenggara negara yang dimaksud Yusril adalah mereka yang seharusnya dipilih oleh rakyat setiap lima tahun sekali dalam Pemilu.

“Kalau tidak ada dasar hukum, maka semua penyelenggara negara mulai dari Presiden dan Wakil Presiden, anggota MPR, DPR, DPD dan DPRD semuanya ‘ilegal’ alias ‘tidak sah’ atau ‘tidak legitimate’.” jelas Yusril.

Penundaan Pemilu Dapat Legitimasi Hukum?

Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana mengkritik pedas wacana penundaan pemilu. Menurutnya, wacana itu merupakan bentuk pelecehan terhadap konstitusi.

Denny menganggap wacana ini sebagai hal yang memalukan sekaligus membahayakan. Ia mengajak semua elemen menanggapinya dengan serius dan cepat.

“Wacana penundaan pemilu, sebenarnya adalah bentuk pelanggaran konstitusi yang telanjang alias pelecehan atas konstitusi,” kata Denny

Denny menjelaskan dalam teori ketatanegaraan pelanggaran atas konstitusi hanya memungkinkan dalam situasi sangat darurat. Kondisi itu hanya demi menyelamatkan negara dari ancaman serius yang berpotensi menghilangkan negara. Oleh karena itu, Denny menilai wacana ini tergolong pelanggaran konstitusi berjamaah. Sebab menurutnya wacana itu lebih berlandaskan pada hasrat kekuasaan semata dan bukan berdasarkan perjuangan tegaknya negara hukum.

“Tidak boleh konstitusi diubah untuk melegitimasi pelanggaran konstitusi, apalagi disalahgunakan untuk memperbesar kekuasaan, yang justru seharusnya dibatasi oleh konstitusi itu sendiri,” tutup Denny.

 

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button