Hangout

Lawan Varian Corona Butuh Kombinasi Monoklonal Antibodi

Lawan varian corona dengan beragam cara. Salah satunya, menurut Dr. Ceva Wicaksono Pitoyo, SpPD, K-P, FINASIM, KIC dari Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia menjelaskan adanya kombinasi monoklonal antibodi diperlukan sebagai strategi penanganan dalam varian baru SARS-CoV-2 termasuk Omicron.

“Strategi penanganan bila bertemu varian baru yakni menggunakan kombinasi, jadi tidak menggunakan satu antibodi monoklonal,”ujar dia dalam webinar bertajuk “Indonesian Congress Symposium on Combating COVID-19 Pandemic without Boundaries” ditulis di Jakarta, Senin, (17/01/2022).

Kombinasi Monoklonal antibodi bekerja turunkan jumlah virus

Dokter Ceva yang berpraktik di RSUPN Ciptomangunkusumo, Jakarta itu mengatakan, monoklonal antibodi kombinasi bekerja untuk menargetkan RBD spike protein dan menurunkan jumlah virus dengan efektivitas hingga 70 persen untuk mengurangi beratnya penyakit.

“Ini mungkin yang bisa kita pertimbangkan ke depan,” tambahnya.

Masih menurutnya, Bamlanivimab dengan Etesevimab masih mungkin diharapkan bekerja karena bisa menyerang virus dari dua sisi dan ini akan lebih baik pada hasilnya.

Selain itu, ada juga Sotrovimab yang sebelumnya bekerja pada varian Alpha, Beta, Gamma dan Delta.

Sementara untuk Omicron, para peneliti belum memiliki datanya, tetapi tampaknya menurunkan kemampuannya.

“Kalau pun diberikan tampaknya dia membutuhkan dosis yang cukup tinggi, dan mungkin tidak sebagus terhadap varian sebelumnya. Kalau pun masih bisa diberikan untuk lebih baik daripada enam antibodi monoklonal lain,” kata Dr. Ceva.

“Tetapi peningkatan kemampuan daya hambatnya hanya meningkat 3 kali lipat, tidak setinggi apa yang kita harapkan,” sambung dia.

Pemberian obat untuk tangani infeksi akibat virus

Selain terapi antibodi monoklonal, penanganan infeksi penyakit untuk lawan varian corona bisa juga dengan mengandalkan obat-obat penekan imun pada level yang menguntungkan.

Saat ini, beberapa negara sudah mendapatkan persetujuan tentang Molnupiravir untuk menurunkan risiko penyakit memberat dan rawat inap di rumah sakit, kemudian kombinasi obat Ritonavir dan Nirmatrelvir yakni dalam bentuk oral sehingga bisa diberikan dini.

“Bisa diberikan pada pasien gejala ringan sampai sedang, menurunkan mortalitas hingga 80 persen,” kata Ceva.

Sementara itu, ada sejumlah antivirus yang awalnya dipakai namun saat ini tercatat sudah tidak lagi direkomendasikan antara lain Hydroxychloroquine dan Ivermectin.

Lebih lanjut, Ceva mengatakan, setelah memberikan antivirus dokter juga harus mempertimbangkan strategi memberikan obat untuk merangsang antibodi atau berupa antibodi seperti plasma konvalesen yakni plasma dari orang sudah sembuh yang sudah memiliki antibodi terhadap penyakit.

Menurut dia, hasil pengobatannya bisa bervariasi, salah satunya bisa memperkecil risiko kematian pasien dengan catatat titer imunoglobulin antibodi di dalam serum harus sangat tinggi.

Di sisi lain, antiperadangan untuk menekan reaksi berlebihan tubuh termasuk immunodobulator serta terapi-terapi suportif untuk mempertahankan hidup pasien seperti cairan, nutrisi, oksigenisasi dan seterusnya juga tak bisa dikesampingkan perannya dalam pengobatan COVID-19 saat ini.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Mia Umi Kartikawati

Redaktur, traveller, penikmat senja, musik, film, a jurnalist, content creator enthusiast, food lovers, a mom who really love kids. Terus belajar untuk berbagi dan bersyukur dalam jalani hidup agar bisa mendapat berkah.
Back to top button