Hangout

Langkah Visioner Malaysia Tekan Perokok, Beranikah Indonesia Melakukannya?

Malaysia mengusulkan langkah visioner tentang pengendalian tembakau untuk melindungi kaum muda. Keputusan ini jika disetujui bisa mempercepat penurunan prevalensi merokok. Beranikah Indonesia mengikuti langkah negara tetangganya ini?

Undang-undang Pengendalian Produk Tembakau dan Rokok 2022 yang diusulkan Pemerintah Malaysia, merupakan sebuah undang-undang omnibus tentang pengendalian tembakau. Tujuannya untuk menghentikan kebiasaan merokok dan produk vape dengan melarang penggunaan dan penjualannya kepada semua orang yang lahir mulai tahun 2007 dan seterusnya.

RUU tersebut telah menerima banyak pujian karena visioner. Tetapi ada yang mengatakan bahwa itu akan melanggar kebebasan pribadi dan mengkriminalisasi anak di bawah umur.

Upaya terpadu Malaysia dalam pengendalian tembakau dimulai pada 1990-an dengan Peraturan Pengendalian Produk Tembakau, yang telah diperkuat melalui beberapa amandemen. Langkah-langkah ini termasuk membangun ruang publik bebas asap rokok, mensyaratkan peringatan kesehatan bergambar pada bungkus rokok dan larangan menyeluruh terhadap iklan, promosi, dan sponsor tembakau.

Mary Assunta, Penasihat Kebijakan Senior dan Yen Lian Tan, Manajer Pengetahuan dan Informasi di Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA) dalam tulisannya di Forum Asia Timur mengungkapkan, meskipun telah dilakukan lebih dari dua dekade, penurunan prevalensi merokok di negri jiran itu berjalan lambat.

Data menunjukkan penurunan prevalensi merokok di Malaysia menurun tipis dari 29,5 persen di 2000 menjadi 21,3 persen pada 2019. Prevalensi merokok pria tetap tinggi, dengan hanya sedikit penurunan dari 49,5 persen pada tahun 2003 menjadi 40,5 persen pada 2019. Tingkat remaja yang merokok sekitar 13,8 persen.

Campur tangan dari industri tembakau telah merusak upaya pemerintah untuk mengendalikan tembakau dan menerapkan larangan iklan, promosi, dan sponsor tembakau termasuk menentang pengemasan polos dan menggagalkan upaya pemerintah untuk menaikkan pajak. “Konsekuensinya, Malaysia bernasib buruk dalam peringkat negara-negara Asia yang menghadapi tingkat campur tangan industri yang tinggi,” ungkap Assunta, yang juga dimuat di Channel News Asia.

Cegah kecanduan generasi berikutnya

Pengendalian tembakau membutuhkan dorongan dan solusi jangka panjang dengan lebih dari 28.600 kematian terkait rokok di Malaysia setiap tahunnya. RUU yang baru ini, seperti sebuah permainan akhir generasi, merupakan proposal berwawasan ke depan dari Kementerian Kesehatan untuk meningkatkan pengendalian tembakau dan mencegah kecanduan tembakau pada generasi berikutnya.

Sejak pengumuman RUU tersebut oleh mantan Menteri Kesehatan Khairy Jamaluddin pada bulan Januari, baik pendukung maupun penentang telah merilis banyak pernyataan media, jajak pendapat, laporan dan surat tanggapan. Perbedaannya jelas antara komunitas kesehatan pro-publik yang mendukung RUU tersebut dan industri rokok yang menentangnya.

RUU ini telah banyak diperdebatkan meskipun pihak pro-vape mengklaim menentang penggunaan produknya untuk kaum muda. Brunei, Kamboja, Laos, Singapura, dan Thailand telah melarang vape dan produk tembakau yang dipanaskan. Kementerian Kesehatan Malaysia telah mempertimbangkan pelarangan produk ini sejak 2015 tetapi menghadapi tentangan dari industri dan kelompok pro-vaping.

Merokok pada anak sekolah

Perusahaan rokok untuk mendongkrak penjualannya, selalu menargetkan anak muda baru dengan menggunakan influencer di media sosial seperti Instagram dan TikTok. Di Malaysia, vaping di kalangan anak sekolah sudah menjadi masalah, dengan lebih banyak anak perempuan mulai melakukan vape.

Saat ini, sekitar 10 persen remaja, terdiri dari 17 persen remaja laki-laki dan 3 persen remaja perempuan, menggunakan vape. Angka-angka ini akan meningkat di tahun-tahun mendatang dengan akses penjualan online yang mudah ke produk-produk ini.

Negara-negara yang mengizinkan produk vape tetapi melarang penjualannya ke anak di bawah umur tidak bernasib baik dalam mencegah penggunaan kaum muda. Di Inggris Raya, vaping di kalangan remaja telah meningkat di kalangan gadis berusia 15 tahun dari 10 persen pada 2018 menjadi 21 persen pada 2021, sementara di Selandia Baru 27 persen anak muda melakukan vape.

Kelompok pro-vaping telah mengabaikan ini dan bahkan meminta pembuat kebijakan Malaysia untuk mengikuti permainan akhir Selandia Baru dengan menghapus larangan vape seperti RUU tersebut.

Ada yang berpendapat bahwa RUU itu akan mengkriminalkan anak. Tetapi tampaknya pemerintah Malaysia masih berpegangan pada Konvensi Kerangka Kerja Organisasi Kesehatan Dunia tentang Pengendalian Tembakau Pasal 16, yang menyerukan larangan penjualan ke dan oleh anak di bawah umur.

Klausul ini juga sesuai dengan Konvensi Hak Anak, di mana Malaysia menjadi salah satu pihaknya dan karenanya berkewajiban untuk melindungi anak-anak dari bahaya. Pada tahun 2025, mereka yang lahir pada tahun 2007 akan berusia 18 tahun, dan berdasarkan RUU yang diusulkan tidak akan dapat lagi membeli produk tembakau dan vape.

“Kelompok lobi yang berbasis di Amerika Serikat, Consumer Choice Center, yang telah menerima dana dari British American Tobacco, Philip Morris International dan Japan Tobacco International, telah menentangnya dan mengklaim bahwa hal itu tidak sesuai dengan kebebasan pribadi,” tambahnya.

Tetapi pemerintah telah mengesampingkan kebebasan pribadi dalam kasus lain untuk melindungi warga negara, seperti kewajiban penggunaan sabuk pengaman dan helm, serta melarang bahan bakar bertimbal dan kantong plastik, karena membahayakan kesehatan masyarakat dan lingkungan.

Sejumlah negara yang prevalensi merokoknya rendah sebenarnya telah menerapkan langkah-langkah pengendalian tembakau yang ketat. Australia, misalnya, memperkenalkan produk tembakau kemasan polos. Meskipun ditentang oleh industri tembakau di pengadilan dan Organisasi Perdagangan Dunia, mereka memenangkan hak untuk melindungi kesehatan masyarakat dengan langkah inovatif ini.

Australia juga secara signifikan mengurangi tunjangan bebas bea untuk tembakau. Demikian pula, Hong Kong tidak lagi mengenakan status bebas bea untuk produk tembakau dan telah melarang vape serta produk tembakau yang dipanaskan. Singapura juga telah menaikkan usia legal untuk membeli rokok menjadi 21 tahun.

Bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia juga terus melakukan upaya menurunkan jumlah perokok. Kebijakan utama yang dipilih adalah kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok. Kebijakan tarif ini terus dilakukan hampir setiap tahun. Untuk 2023 dan 2024, pemerintah telah menentukan kenaikan tarif CHT rata-rata tertimbang 10 persen dan untuk golongan sigaret kretek tangan (SKT) maksimal 5 persen.

Seperti Malaysia dan banyak negara lainnya, Indonesia juga melakukan langkah-langkah pembatasan dengan membangun ruang publik bebas asap rokok, mensyaratkan peringatan kesehatan bergambar pada bungkus rokok dan larangan menyeluruh terhadap iklan, promosi, dan sponsor tembakau.

Tapi hasilnya tetap saja tidak signifikan menurunkan jumlah perokok. Indonesia, mengutip National Geographic, mencatat ‘rekor global’ karena prevalensi tingkat merokok penduduknya merupakan yang tertinggi di dunia. Tingginya prevalensi merokok di Indonesia didominasi oleh laki-laki.

Data terakhir yang dikutip oleh para peneliti dari Monash University menunjukkan bahwa prevalensi merokok laki-laki Indonesia adalah 76,1 persen. Adapun prevalensi merokok perempuan Indonesia adalah 2,8 persen.

Artinya perlu kebijakan yang lebih progresif dari pemerintah untuk menurunkan tingkat konsumsi rokok di Indonesia. Sementara ini, Pemerintah Indonesia belum serius atau hanya bergurau dalam menghadapi masalah rokok. Perlu kebijakan lebih berani untuk menekan prevalensi atau tingkat konsumsi rokok dari sekadar melakukan kenaikan tarif cukai setiap tahunnya.

Idealnya dengan kenaikan tarif cukai yang otomatis mengangkat harga rokok di tingkat pengecer menjadi lebih mahal dapat menekan daya beli. Masyarakat diharapkan berpikir ulang untuk membeli rokok.

Namun yang terjadi adalah rokok menjadi salah satu komponen terbesar dalam pengeluaran rumah tangga dan malah mengenyampingkan kebutuhan lain, seperti makanan bergizi. Artinya masyarakat tetap mengutamakan belanja dan konsumsi rokok dengan mengorbankan alokasi untuk belanja kebutuhan rumah tangga lainnya.

Berdasarkan data Susenas Maret 2022 Badan Pusat Statistik (BPS), rokok merupakan komponen pengeluaran rumah tangga tertinggi kedua. Di perkotaan, komponennya mencapai 12,21 persen sedangkan di pedesaan mencakup 11,63 persen. BPS mencatat rumah tangga miskin rata-rata mengeluarkan Rp246.382 per bulan untuk belanja rokok. Padahal, uang itu dapat digunakan untuk belanja bahan pangan bergizi, sehingga kualitas rumah tangga bisa lebih baik.

“[Tingginya konsumsi rokok ini] dilema bagaimana agar bisa memegaruhi konsumsi rumah tangga agar lebih memprioritaskan barang-barang yang lebih bergizi, terutama dibutuhkan oleh anak-anak, sehingga mereka bisa lebih sehat dan lebih baik,” ucap Menteri Keuangan Sri Mulyani, Senin (12/12/2022).

Rancangan undang-undang yang diusulkan Malaysia adalah langkah berani untuk melindungi generasi mudanya dan memantapkan pengendalian tembakau menuju penurunan penggunaan tembakau yang lebih cepat.

Beranikah Indonesia menyusun langkah yang lebih progresif untuk menekan konsumsi rokok?

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button