Kanal

Langkah Berbahaya ‘Lord’ Luhut

“Bahasa politik dirancang untuk membuat kebohongan terdengar jujur, dan pembunuhan menjadi dihormati”

— George Orwell

 

Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menjadi sorotan publik. Setelah ramai soal langkahnya mengomandoi tiga ketua umum Parpol untuk menggaungkan wacana penundaan Pemilu 2024, kali ini tanpa malu-malu Luhut terjun ke gelanggang pertarungan.

Dalam program podcast Deddy Corbuzier, Luhut mengklaim bahwa ada 110 juta warganet yang mewacanakan agar Pemilu 2024 ditunda. Luhut menyebut rakyat menginginkan penundaan pemilu satu hingga tiga tahun, dan aspirasi tersebut harus didengar partai politik.

Luhut mengklaim punya big data. “Dari data tersebut grab 110 juta warganet, mulai dari Facebook, Twitter, macam-macam. Di Twitter saja, ada 10 juta yang membicarakan isu ini,” ungkap Luhut.

Bekas Kepala Staf Presiden itu mengklaim publik mempertanyakan untuk apa menghabiskan dana lebih dari Rp100 triliun agar pemilu di tengah kondisi pandemi COVID-19.

Sebelumnya, Luhut disorot karena disebut-sebut meminta sejumlah ketua umum parpol agar menggaungkan isu pemilu ditunda. Seperti dibahas di Majalah Tempo pekan lalu dengan sampul berjudul ‘Malu-Malu Menunda Pemilu’.

Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto disebut terancam dicopot dari posisi sebagai Menko Perekonomian bila mengabaikan instruksi untuk menggaungkan perpanjangan masa jabatan Jokowi. Airlangga memang diketahui merupakan salah satu ketum parpol yang ikut mewacanakan agar Pemilu 2024 ditunda.

Selain Airlangga, Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan pun turut dalam orkestrasi wacana penundaan pemilu.

* * * * *

Luhut Binsar Pandjaitan mengklaim hasil analis big data menunjukan mayoritas warganet tertarik dengan wacana penundaan pemilu. Tapi, pandangan berbeda disampaikan oleh empat lembaga survei.

Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA mengatakan bahwa mayoritas responden yang puas dengan kinerja Presiden Joko Widodo menolak wacana penundaan penyelenggaraan Pemilu 2024.

Dari survei itu diperoleh hasil sebesar 65,1 persen responden yang puas dengan kinerja Jokowi menentang penundaan Pemilu 2024. Sedangkan di pemilih yang menyatakan tak puas dengan kinerja Jokowi, angka yang menentang penundaan pemilu jauh lebih besar, yaitu sebesar 87,3 persen.

Sedangkan survei Indikator Politik menyatakan mayoritas publik setuju Pemilu 2024 tetap digelar meski dalam keadaan pandemi COVID-19. Dalam survei akhir tahun 2021 itu menunjukkan 67,2 persen responden memilih Pemilu 2024 tetap dilaksanakan meski tengah pandemi. Sementara 24,5 persen responden memilih pemilu ditunda hingga 2027. Dan 8,3 persen sisanya tak menjawab.

Sementara Lembaga Survei Indonesia (LSI) juga mengungkapkan mayoritas masyarakat menolak wacana penundaan Pemilu 2024 maupun perpanjangan masa jabatan presiden. Survei LSI menunjukkan bahwa sebanyak 75,5 persen responden menolak usulan perpanjangan masa jabatan presiden maupun penundaan Pemilu 2024 karena alasan apapun juga.

Terakhir, Lembaga Survei Nasional (LSN) menyatakan sebanyak 68,1 persen atau mayoritas publik tidak setuju terhadap usulan penundaan Pemilu 2024 sekaligus perpanjangan masa jabatan presiden.

Tak cuma lembaga survei, ahli IT ‘Drone Emprit’, Ismail Fahmi, menyatakan klaim dukungan penundaan Pemilu 2024 dari 110 juta orang di media sosial seperti yang disampaikan Luhut Binsar Pandjaitan dinilai mustahil. Mengutip Laboratorium Indonesia 2045 (Lab45), Ismail yang juga pendiri Drone Emprit dan Media Kernels Indonesia itu berujar hanya 10.852 akun Twitter yang terlibat baik secara langsung atau tidak langsung dalam pembicaraan jabatan presiden tiga periode dengan mayoritas menolak.

Ismail menambahkan, dari 18 juta pengguna Twitter di Indonesia, hanya sekitar 10 ribu atau 0,055 persen yang aktif bicara mengenai perpanjangan masa jabatan presiden. “Padahal user Twitter paling cerewet soal politik. Apalagi user kanal lain seperti IG, FB, persentase bisa lebih sedikit. 110 juta sepertinya impossible,” ujarnya dalam akun Twitter pribadinya @ismailfahmi.

Ismail mengungkap pengguna Facebook di Indonesia tahun lalu mencapai 140 juta. Dengan asumsi 0,055 persen aktif bicara mengenai perpanjangan masa jabatan presiden, maka diperoleh 77 ribu pengguna Facebook terlibat dalam pembicaraan isu tersebut.

* * * * *

Mereka yang merasakan udara Rezim Orde Baru pasti mengenal sosok satu ini: Harmoko. Dia adalah salah satu menteri paling lama menjabat selama Pemerintahan Soeharto.

Harmoko didapuk menjadi menteri penerangan tiga kali berturut-turut pada periode 1983 hingga 1997. Ketika itu hampir setiap hari wajah Harmoko masuk di layar kaca, khususnya TVRI. Keahlian komunikasi tokoh yang dibesarkan dalam dunia wartawan ini memang mumpuni. Dia tahu benar bagaimana cara menyampaikan pesan, dan kerap mengatakan pernyataan ‘menurut petunjuk Bapak Presiden’.

Soeharto sebetulnya sudah menunjukan gelagat tak ingin kembali menjadi presiden di Sidang Umum MPR tahun 1998. Soeharto memang terlihat ingin beristirahat, terutama sepeninggal mendiang sang istri, Siti Hartinah, pada tahun 1996.

Harmoko, pada acara Munas Golkar, menyampaikan bahwa rakyat masih menghendaki Soeharto menjadi presiden kembali. Dan Soeharto mengikuti saran Harmoko, yang ketika itu juga menjadi Ketua MPR/DPR. Dalam Sidang Umum 1998 secara aklamasi MPR menyatakan kembali memilih dan mengangkat Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia.

Kisah selanjutnya sudah kita ketahui. Rakyat marah. Digerakan elemen mahasiswa, Gedung MPR/DPR diduduki massa demonstran. Pelbagai persoalan politik, hukum dan ekonomi menjadi gunungan jerami yang mudah dibakar percikan api. Terjadi kerusuhan massa di mana-mana. Bahkan beredar kabar setimen negatif terhadap etnis Tionghoa telah menyulut aksi penjarahan dan perkosaan massal.

ABRI, yang pada awalnya berhadapan dengan massa Mahasiswa, belakangan mengambil posisi di tengah. Puncaknya, Ketua MPR/DPR Harmoko, didampingi para pimpinan lainnya, menggelar konferensi pers yang meminta Soeharto lengser dari jabatan Presiden Indonesia. Sejak itu, sampai akhir hayatnya, Soeharto tak mau bertemu dengan Harmoko.

* * * * *

Gerakan wacana penundaan Pemilu 2024 tentu saja sah dalam konteks demokrasi. Suka atau tak suka, kita tak bisa melarang diskursus yang dibangun di masyarakat –apapun alasan yang ada di belakangnya. Bahkan, jika pun wacana ini akhirnya bergulir menjadi upaya amandemen UUD 1945, dan berujung pada perubahan pasal-pasal terkait pemilu dan masa jabatan presiden, itu harus diterima dengan lapang dada.

Tapi upaya itu sungguh tak mudah. Terlebih hingga saat ini konstelasi politik di parlemen masih didominasi partai politik yang tetap menginginkan pergantian presiden pada 2024.

Tak mudah merealisasikan gagasan penundaan pemilu. Partai yang terang-terangan mendukung hanya tiga: Partai Golkar (85 kursi), Partai Kebangkitan Bangsa (58 kursi) dan Partai Amanat Nasional (44 kursi). Sedangkan partai yang menolak, setidaknya hingga saat ini, yaitu: PDI Perjuangan (128 kursi), Gerindra (78 kursi), Nasdem (59 kursi), Demokrat (54 kursi), Partai Keadilan Sejahtera (50 kursi), dan Partai Persatuan Pembangunan (19 kursi).

Itu artinya kubu partai pendukung kalah jauh dari kubu yang menentang. Sedangkan peta suara di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) belum bisa diprediksi.

Terlepas bahwa wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden merupakan konsekuensi demokrasi, langkah itu bukan tanpa risiko. Beberapa bahaya mengintai jika gerakan ini terus digulirkan.

Rezim Jokowi, dan para pendukungnya, dapat saja dicap haus kekuasaan. Rakyat akan sulit menerima logika politk yang dibangun atas wacana itu. Bukan tak mungkin gerakan ini memicu gerakan massa yang menjatuhkan penguasa. Kita tentu masih ingat bagaimana Soeharto tumbang pada 1998 setelah memaksakan diri kembali menjadi Presiden, di tengah situasi politik dan ekonomi yang centang perenang.

Jika pandemi COVID-19 dijadikan alasan penundaan Pemilu 2024, pun menimbulkan pertanyaan dan syak wasangka. Rakyat tentu mengingat Pilkada 2020 tetap diselenggarakan, meskipun pandemi COVID-19 sedang tinggi. Akan tersebar hembusan sentimen bahwa Pilkada saat itu tetap digelar karena anak dan menantu Presiden Jokowi menjadi kandidat. Rumor tersebut tentu berdampak buruk bagi peninggalan catatan politik Presiden Jokowi.

Tumpukan jerami kekecewaan bisa meninggi –akibat pelbagai kondisi, seperti: kelangkaan minyak goreng, harga-harga membubung, dan utang luar negeri yang terus menggunung. Itu situasi buruk yang rentan dengan percikan api kemarahan rakyat untuk membakarnya. Dan jika itu terjadi, apakah Luhut Binsar Pandjaitan tetap setia di sisi Jokowi? Atau justru seperti Harmoko yang menjadi gong palugada yang meminta Soeharto lengser?

* Setiyardi Budiono
Pemred Obor Rakyat, pernah mendekam di LP Cipinang

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button