Hangout

“Kun Ana Wa Anta”: Biarkan Film Anak Memakai Logika Mereka Sendiri

Oleh   : Darmawan Sepriyossa

Meski telah menjadi ceruk pasar tersendiri, film anak-anak tetap saja tergolong barang langka. Tak hanya di sini, melainkan pula dari ‘pabriknya’ nun di sana, Hollywood. Buktinya, mari menengok sejenak ke tahun lalu, 2022.

Selama 2022, ‘film anak’ yang beredar di bioskop tampaknya masih kalah dibandingkan jumlah jemari di tangan kita. Ada beberapa judul, misalnya, “Turning Red” buatan Walt Disney Pictures dan Pixar Animation Studios, “Hotel Transylvania 4: Transformania”, “Lightyear”, “Paws of Fury: The Legend of Hank”, “Minions: The Rise of Gru”, “The Bad Guys”, “Puss in Boots: The Last Wish”, “DC League of Super-Pets”, dan ”Strange World”.

Dari sembilan film tersebut, Anda benar, tidak ada satu pun film anak-anak nasional, alias buatan kita sendiri. Tetapi bukan soal lokal atau tak lokal benar yang menjadi persoalan, sejatinya. Toh, saya yakin kita semua berpikiran terbuka yang akan mengambil hikmah dan mutiara hidup dari mana pun datangnya.

Persoalannya, film-film anak khas Hollywood selalu harus kita beri tanda petik (“…”) sebagai ‘film anak’. Tak hanya cerita, logika yang dipakai pun umumnya senantiasa logika orang dewasa. Salah? Mungkin tidak.

Tapi paling tidak, pemakaian logika orang dewasa untuk film anak, tidakkah laiknya gaya pendidikan ala bank, yang menurut paedadog terkemuka Paolo Freire, hanya mampu mengubah penafsiran anak-anak, tanpa mampu mengubah realitas dirinya sendiri? Manusia hasil didikannya hanya jadi penonton dan peniru, bukan pencipta. Generasi yang lahir dari sistem pendidikan ‘’penindas’’ bergaya bank hanya memunculkan generasi penindas baru. Kejauhan ya?

Okelah, paling tidak begini. Barangkali anak-anak pun tidak meminta kita–orang dewasa–untuk membikin karya yang sangat demokratis buat mereka: dari, untuk, dan buat mereka. Hanya, bukankah dalam diamnya anak-anak, barangkali benar kata penyair kelahiran Libanon, Kahlil Gibran, bahwa “…mereka putra-putri Sang Hidup, yang rindu akan diri sendiri..”  Kekhasan anak-anak itu, tampaknya, yang membuat ‘’pendiktean’’ kita dengan memproduksi karya-karya buat mereka yang sebenarnya lebih sesuai dengan keinginan dan logika kita, menjadi bukan sebuah perbuatan bijak. Pengalaman bahkan mengajarkan, itu justru bisa mengerdilkan jiwa-jiwa mereka yang tengah mekar. Sebagaimana Kahlil, saat dia mengata-kan,”…Patut kau berikan rumah bagi raganya. Namun tidak bagi jiwanya…”

Tahun 2023 pun tak memberikan banyak harapan untuk datangnya film-film anak yang membawa kebaruan. Bila mengintip rencana para kapitalis perfilman, tahun ini akan datang beberapa film anak, termasuk “Wish”, yang dibuat untuk menandai ulang tahun ke-100 Walt Disney. Ada pula “The Super Mario Bros. Movie”, “Doraemon: Nobita’s Sky Utopia (Doraemon: Nobita to Sora no Utopia)”, “Elemental”, dan “The Little Mermaid”.

Jadi, manakala Rina Novita dan Ustadz Erick Yusuf datang menghadirkan “Kun Ana Wa Anta” di layer-layar bioskop, mulai 9 Maret mendatang, susah membantah bahwa itu sebuah berkah. Apalagi, kedua produser film yang memang menyasar anak-anak tersebut sudah lama terlibat dalam proyek-proyek pengembangan paedagogi anak. Begitu pula sutradaranya, Rully Manna.

Erick dan Rina datang dengan keprihatinan. Mereka menilai film anak sangat kurang, hingga anak pun kehilangan tontonan yang sesuai usia mereka. “Banyak film superhero sebenarnya film dewasa, jadi anak sudah lama kehilangan film yang sesuai,” kata Ustadz Erick dalam peluncuran film “Kun Ana Wa Anta” di Jakarta, Rabu (22/2). Belum lagi sejak bertahun lalu pun sudah gampang tertengarai masuknya narasi dan karakter lesbian gay biseksual dan transgender (LGBT) ke dalam film anak-anak, seolah sengaja untuk membuat mereka “bengkok”.

Menurut Rina Novita, “Kun Ana Wa Anta” menceritakan kehidupan anak-anak yang menyenangkan, dengan memakai sudut pandang usia mereka. “Dalam film ini, anak-anak ditunjukan untuk banyak berinteraksi dengan alam sekeliling, juga dengan sesama manusia, tanpa membesar-besarkan perbedaan.

“Film ini memuat nilai-nilai persahabatan, budi pekerti, cinta lingkungan hidup, dan toleransi,”kata Rina.

Tentu saja, semua itu merupakan nilai-nilai filosofis yang berat, yang membuat negeri ini bahkan harus membangun sebuah institusi khusus, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Untung saja, produser, sutradara dan terutama acting para pemainnya film ini membuat cerita menjadi rangu dan enak dinikmati. Dan tentu saja, dengan penceritaan berlogika anak-anak yang tak ruwet dan berbelit.

Semua pelakon memainkan peran mereka dengan ciamik. Namun ada beberapa yang boleh dibilang luar biasa. Menurut saya, yang tergolong jarang menonton film nasional—seingat saya, film nasional terakhir sebelum ini yang saya tonton adalah “Laskar Pelangi”, saat diputar di Alun-alun Gantung, Belitung, Oktober 2008—tiga aktor layak dikasih tabik khusus.  Mereka adalah Abe Moor, gadis cilik yang dalam film ini memainkan peran seorang bocah santri, Hafiz; Balgis Balfas, pemeran Khanza, santriwati jagoan yang persahabatannya dengan Firman–protagonis yang dimainkan aktor cilik Muzaki Ramdhan–di pesantren itu menjadi penuh warna; serta Andy Boim, pemeran ayah Khanza, bos para antagonis dalam film ini.

Andy yang mengaku baru kali ini mendapatkan peran “serius””, bukan sebagai komedian, memang merasa mendapatkan tantangan tersendiri saat diminta memainkan peran tersebut. Menurut dia, pada sesi meet and greet setelah pemutaran, tampaknya hal itu berperan dalam penjiwaannya atas film tersebut.

Namun rasa salut kepada ketiganya tidak berarti mengurangi simpati pada andil para aktor lain yang berhasil memerankan karakter mereka di “Kun Ana…”. Sebagai orang tua Firman, Mathias Muchus dan Decynta bermain apik. Mathias mengingatkan generasi saya pada permainannya yang juga bagus sebagai orang tua Sherina pada “Petualangan Sherina”, 2000 lalu.  Peran yang dimainkan Kayla Haryo, Austyn Senduk, Mario Irwinsyah, Donny Alamsyah juga layak diacungi jempol. Juga Nadira Octova, yang perannya sebagai Ustadzah Fatimah, telah membuat layar kian cerah.

Ada dua hal lain yang saya pujikan untuk Rina Novita, yang tak hanya produser, tapi juga pemilik ide cerita film ini. Pertama untuk pemakaian judul “Kun Ana Wa Anta”, merujuk sinetron berserinya yang sukses di sebuah stasiun tv, “Kun Anta”. Saya sepakat, ibarat “What is in a name”-nya Shakespeare, pemberian nama apa pun untuk film tersebut, kecuali dengan melibatkan “Kun Anta”, tak akan banyak membawa dampak. Film itu bisa dijuduli apa pun, dan judul yang dipakai saat ini, adalah yang terbaik.

Kedua, pada pilihannya untuk memakai logika kanak-kanak pada film yang memang dibuat untuk konsumsi mereka dan keluarga. Sudah saatnya anak-anak mendapat kepercayaan untuk memilih apa yang mereka mau. Sebab pada dasarnya, kita yang juga pernah mengalami masa kanak-kanak, akan setuju dengan gumam Pangeran Kecil dalam buku klasik yang ditulis Antoine de SaintExupéry tersebut. Hanya anak-anak yang tahu, apa yang sesungguhnya mereka cari.”

Selamat menonton di 9 Maret dan seterusnya. [  ]

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button