News

Korban Pemerkosaan di KemenkopUKM: Pernikahan Tidak Menghapus Pidana

Kamis, 27 Okt 2022 – 15:53 WIB

Korban Pemerkosaan di KemenkopUKM: Pernikahan Tidak Menghapus Pidana

Ilustrasi Kekerasan Seksual

Korban pemerkosaan di Kementerian Koperasi dan UKM menolak tegas anggapan pernikahan yang terjadi dengan pelaku menggugurkan seluruh proses pidana.

Asnifriyanti Damanik dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Apik Jawa Barat selaku pendamping korban menyebut proses pemidanaan terhadap empat pelaku pemerkosaan tak bisa berhenti begitu saja dengan dalih restorative justice.

“Penyelesaian perdata tidak menghapus tuntutan pidana,” kata Asnifriyanti kepada Inilah.com, Kamis (27/10/2022).

Meski korban dan salah satu pelaku berdamai serta melanjutkan ke jenjang pernikahan sebagai bentuk tanggungjawab, tiga pelaku lain tak seharusnya ikut bebas.

Asnifriyanti juga menyoroti penerbitan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) Polresta Bogor padahal keluarga korban tidak pernah mencabut laporan.

Selain itu, proses penerbitan SP3 dari kepolisian, juga tak diketahui korban maupun kelurganya.”Iya, informasi tersebut baru diketahui keluarga pada tahun 2021 (setelah 1 tahun sejak ada SP3),” ungkapnya.

Untuk itu, Asnifriyanti bakal mendampingi korban membuat gugatan praperadilan terhadap penerbitan SP3 kepolisian.

“Untuk menyatakan SP3 tidak sah dan meminta penyidikan wajib dilanjutkan,” tegasnya.

“Gugatan praperadilan karena SP3 dan tidak sesuai dengan KUHAP,” sambungnya menegaskan.

Gugatan itu lanjut Asni rencananya akan dilakukan pada November mendatang. Namun, Asni tak merinci tanggal pasti penyampaian gugatan tersebut.

Kasus kekerasan seksual terhadap pegawai KemenkopUKM ini terjadi pada 6 Desember 2019 saat mengadakan Rapat Di Luar Kantor (RDL).

Pemerkosaan terjadi di hotel tempat rapat berlangsung, 4 orang pegawai memperkosa yaitu: Z, W, M,E dan 2 orang menjaga pintu dan 1 orang ikut sampai lokasi. Ketiga orang ini adalah: N, T, A.

Setelah kejadian tersebut, N (korban) justru mendapat tekanan dan ancaman dari para pelaku.

Merasa tak mendapat perlindungan, N memilih mengadu ke Polresta Bogor Kota. Di sana, setelah melakukan visum dan melakukan penyelidikan sampai menyita rekaman CCTV Hotel, polisi menangkap pelaku dan langsung ditahan.

Di sinilah pelaku melalui keluarga melakukan pendekatan kepada korban untuk mencabut laporan dan berdamai. Korban direkomendasikan untuk menikah dengan salah satu tersangka yang masih single.

Pendekatan keluarga pelaku dilakukan sebelum proses penyidikan sampai ke pengadilan. Keluarga korban akhirnya luluh, salah satu tersangka (Z) akhirnya menikah dengan N difasilitasi kepolisian.

Setelah sepakat menikah dan berdamai, para pelaku keluar dari tahanan. Namun setelahnya, Z yang sudah sah jadi suami N malah menghilang dan tak ada perhatian. Bahkan Z tercatat hanya sekali datang ke rumah N.

Melihat gelagat semacam ini, keluarga N merasa pernikahan tersebut hanya menjadi cara bagi pelaku untuk lepas dari konsekuensi hukum.

Kasus perkosaan tersebut dihentikan penyidikannya oleh kepolisian dengan keluarnya SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan) dengan alasan restorative justice.

Setelah kejadian tersebut, status N sebagai pegawai honorer tidak diperpanjang. Sementara dua pelaku masih berstatus pegawai di KemenkopUKM. Keduanya diklaim sudah diberi sanksi, tapi dinilai tak sebanding dengan perbuatannya.

Terakhir, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki memutuskan membentuk tim investigasi internal untuk membuka kembali kasus tahun 2019 ini. Teten juga berjanji akan mengakomodir kepentingan korban dalam investigasi kementerian.

Beri Komentar (menggunakan Facebook)

Back to top button