Friday, 28 June 2024

Koalisi Perempuan Ungkap Kekerasan Gender Masih Terjadi di Pemilu 2024

Koalisi Perempuan Ungkap Kekerasan Gender Masih Terjadi di Pemilu 2024


Organisasi masyarakat sipil, Kalyanamitra menemukan masih adanya kasus kekerasan berbasis gender selama proses pemilihan umum (Pemilu) 2024.

Hal ini berdasarkan hasil kajian pemantauan di wilayah Aceh, Makasar, Ambon, dan DKI Jakarta yang menunjukkan adanya berbagai bentuk kekerasan berbasis gender.

Kekerasan tersebut terjadi seperti ancaman fisik, psikologis, dan online yang dialami oleh perempuan dan kelompok rentan, baik sebagai pemilih, kandidat, penyelenggara pemilu, jurnalis pemilu, hingga pendamping.

Direktur Eksekutif Kalyanamitra, Ika Agustina, mengatakan kekerasan berbasis gender dalam Pemilu 2024 di Indonesia tidak hanya merugikan korban secara individu, tetapi juga merusak integritas demokrasi.

“Kekerasan berbasis gender di masa pemilu menghambat partisipasi perempuan dalam politik, bahkan hasil kajian kami menunjukan membuat perempuan mundur untuk berkontestasi dalam pemilu,” kata Ika di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Senin (24/5/2023)

Hal ini, lanjut dia, menjadi kontraproduktif dengan upaya gerakan perempuan untuk mendorong peningkatan partisipasi perempuan yang sampai kini masih belum menyentuh 30 persen.

“Pemerintah perlu membuat mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender di masa pemilu untuk menciptakan iklim pemilu yang adil, inklusif, dan bebas kekerasan,” ujarnya.

Hasil pemantauan menemukan bahwa kekerasan yang paling banyak dialami oleh perempuan dan kelompok rentan yakni dalam bentuk ancaman fisik, pelecehan verbal, kekerasan seksual, ujaran kebencian, ungkapan seksis dan misoginis.

Ancaman seperti ini katanya, menciptakan rasa takut serta mempengaruhi kinerja mereka sebagai kandidat yang berkontestasi dalam pemilu.

Tidak hanya itu, media sosial pun menjadi alat brutal yang dipakai untuk menyerang kandidat perempuan dalam bentuk serangan personal, fitnah, dan pelecehan seksual yang bertujuan untuk mendiskreditkan dan membungkam hak politik perempuan.

Sementara itu, koalisi lainnya yakni SAFEnet menyatakan bahwa kekerasan berbasis gender dalam pemilu juga merenggut hak konstitusi seseorang dalam berpolitik di media sosial.

“Penyebaran konten intim tanpa izin terjadi sebelum Pemilu 2024 kepada Bacaleg di daerah Nusa Tenggara Timur. Hal tersebut menyebabkan bacaleg batal maju menjadi caleg hingga mengundurkan diri dari platform. Upaya intimidatif juga terjadi pada komentar yang merendahkan di hampir semua platform sosial media,” jelas perwakilan SAFEnet, Nabillah Saputri.